Sikap anak dan suami yang begitu tak acuh padanya membuat Aliyah menelan pahit getir segalanya seorang diri. Anak pertamanya seorang yang keras kepala dan pembangkang. Sedangkan suaminya, masa bodoh dan selalu protes dengan Aliyah yang tak pernah sempat mengurus dirinya sendiri karena terlalu fokus pada rumah tangga dan ketiga anaknya. Hingga suatu hari, kenyataan menampar mereka di detik-detik terakhir.
Akankah penyesalan anak dan suami itu dapat mengembalikan segalanya yang telah terlewatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAS 2
Tidak sedikit wanita yang memilih bertahan dalam rumah tangganya meskipun terus disakiti. Entah apa yang menjadi pertimbangan mereka, bisa karena anak, keluarga, atau rasa cinta dan bakti yang begitu besar, yang pasti mereka terus berusaha bertahan sampai batas titik kesabaran mereka.
Terlihat bodoh memang, tapi apa bisa dikata, sebagai sesama manusia kita hanya bisa menghargai dan mendoakan agar pilihannya itu benar dan berhadiah keindahan di kemudian hari.
Begitu pula pilihan yang Aliyah ambil. Ia memilih bertahan meskipun terluka. Tetap berusaha menjadi yang terbaik meskipun tidak dihargai. Tetap berusaha sebaik mungkin, meskipun tak dianggap. Menelan pahit getir seorang diri hanya demi mendapatkan ridho illahi.
Setelah kepergian Amar, Aliyah terpekur seorang diri. Merenungi nasib rumah tangganya yang tak sehangat dulu lagi.
"Bu, Affi hayu mamam," panggil Gaffi yang sudah berdiri di samping Aliyah. Aliyah tersentak. Hampir saja ia lupa kalau Gaffi belum makan. Tadi ia terlalu fokus pada Amar dan Amri sampai lupa pada bocah 5 tahun itu yang sejak tadi berteriak ingin makan dengan ayam goreng.
"Astaghfirullah, maaf ya, Bang. Ibu lupa. Sebentar ya, ibu ambilkan nasi sama ayam gorengnya dulu. Abang Gaffi tunggu di sini, temenin adek Amri ya!" ucap Aliyah lembut.
Gaffi mengangguk kemudian duduk di samping Amri yang tampak makan ayam goreng saja tanpa nasi.
Tak butuh waktu lama, Aliyah pun kembali sambil membawa piring kecil berisi nasi dan ayam goreng untuk Gaffi.
"Ini, dihabisin ya! Jangan ngambur. Kasian nasinya, entar ngambek," seloroh Aliyah membuat mata Gaffi mengerjap bingung. Ia belum paham maksud dari ibunya itu. "Ya udah, makan dulu ya! Ibu mau beresin piring kotor ayah tadi sebentar."
Gaffi pun mengangguk kemudian ia mengambil ayam goreng miliknya dan menggigitnya dengan senyum puas.
"Bu, adek akal abil ayam Abang," teriak Gaffi. Padahal baru beberapa detik Aliyah meninggalkan kedua bocah itu, tapi keduanya tampak sudah ribut rebutan ayam goreng.
Aliyah pun buru-buru menghampiri Gaffi dan Amri. Gaffi tampak menangis karena ayam gorengnya diambil sang adik, sedangkan Amri justru tertawa melihat sang kakak menangis. Entah harus marah atau tertawa, sebab Aliyah justru merasa geli sendiri dengan tingkah keduanya.
Gaffi memang berusia 5 tahun, tapi tingkahnya tak jauh beda dengan sang adik, bahkan lebih cengeng.
"Adek, itu kan ayam Abang, balikin dong!" bujuk Aliyah.
Amri menggeleng cepat, "ndak. Ayam dedek," serunya menolak dan mengatakan kalau ayam itu adalah miliknya.
"Ayam adek kan ini, kalo yang itu ayam Abang. Balikin ya! Kasian Abang tuh, nangis," Aliyah terus berusaha membujuk Amri, tapi Amri terus menolak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Seandainya masih ada sisa ayam goreng lagi, Aliyah lebih memilih memberikannya pada Gaffi untuk menghindari keributan seperti ini. Tapi sayangnya, tidak ada ayam goreng yang tersisa. Tadi memang ada sepuluh potong ayam, tapi gosong 5, hingga hanya bersisa 5. Lalu Amar memakannya dua, sisa tiga untuk Nana, Gaffi, dan Amri.
"Abang jangan nangis ya! Ibu gorengin telur aja, mau?" Aliyah memcoba mengganti ayam dengan telur, berharap Gaffi bisa tenang.
Gaffi terdiam. Kemudian mengangguk. Meskipun cengeng dan belum bisa bicara dengan tegas, sebenarnya Gaffi anak yang bijak. Terkadang ia memilih mengalah saat adiknya justru mengambil apa miliknya. Tapi tak jarang juga mereka ribut sehingga menimbulkan kegaduhan dengan lengkingan tangis yang memekakkan telinga.
Aliyah tidak begitu memusingkan bila keduanya bertengkar, namanya juga anak-anak. Selagi masih wajar, Aliyah hanya perlu menengahi. Tapi hal ini tidak berlaku saat ada Amar di rumah. Amar seolah selalu terganggu saat anak-anaknya membuat kekacauan, berantakan rumah, apalagi menangis kencang. Yang ada bukannya menengahi, tapi malah memarahi. Bukan hanya anak-anak, tapi Aliyah pun jadi ikut terkena imbasnya.
Setelah menggoreng telur, Aliyah pun segera meletakkan telur dadar itu di atas nasi Gaffi.
"Gaffi makan di sana aja, ya!" ajak Aliyah agar Gaffi makan di tempat lain demi menghindari percekcokan antara dua bocah.
...***...
Sementara itu, Amar yang baru tiba di kantor memasang wajah masam. Ia kesal karena terpaksa memakai kaos kaki berbeda warna. Anak-anaknya memang gemar memainkan apa saja. Setelahnya lupa meletakkan dimana. Meskipun telah dilarang, tapi tetap saja bocah itu takkan berubah. Terutama Amri, benar-benar membuatnya kesal. Tapi Amar justru lebih marah pada Aliyah sebab baginya Aliyah tidak bisa mengurus rumah tangga dan anak-anaknya dengan baik. Baginya, tak ada satupun pekerjaan Aliyah yang beres.
"Heh, kenapa wajah loe ditekuk gitu? Nggak dapat jatah semalam?" goda salah satu rekan kerja Amar.
Amar mendelik tajam, "nggak usah ngaco deh loe."
"Lho, laki-laki kayak kita ini kan biasanya gitu, kalo nggak dapat jatah, mulai deh, mood anjlok. Rasanya mau nerkam orang aja," seloroh Budi.
"Nggak gitu juga. Cuma lagi bete. Di rumah nggak pernah ada ketenangan. Entah ulah anak-anak, entah kerjaan bini yang nggak ada becusnya, benar-benar bikin bete. Liat nih ... " Amar lantas mengangkat ujung celana bahannya sedikit ke atas, "punya bini nggak becus banget. Masa' nggak tau kaos kaki gua kemana sebelahnya. Sebenarnya kerjaannya apa sih? Cuma di rumah aja sok sibuk sampai nggak tahu anaknya mainin kaos kaki terus diletakkan dimana. Kalo ditanya, jawabnya nggak tau, nggak tau. Mana makin hari makin dekil, bikin sumpek aja," akunya tanpa rasa bersalah apalagi malu di hadapan rekan kerjanya.
Budi terbahak mendengarnya, "yah begitulah perempuan, Am, ngerasa udah laku jadi dia mulai malas urus diri sendiri. Alasannya karena nggak sempat lah, sibuk urus anak lah, hana hini, banyak banget," timpal Budi yang diangguki Amar.
"Nah, ternyata kita sepemikiran. Bete aja, pulang capek-capek eh malah disuguhi pemandangan yang luar biasa menjengkelkan. Dari penampilan yang berantakan, sampai rambut tuh nggak pernah rapi, beda sama sebelum nikah. Rumah juga nggak kalah berantakan. Kadang anak-anak belum pada mandi. Dah lah, stres gua setiap pulang ke rumah."
Budi makin tergelak mendengarnya, "gimana kalo sepulang kerja kita nongkrong? Tuh, ada anak baru, kita ajak juga. Rame-rame gitu, buang suntuk," tunjuknya pada seorang karyawan wanita yang baru saja bergabung di kantor mereka. "Daripada pulang bukannya tenang malah dibuat kesal, mending kita nongkrong dan senang-senang di cafe. Di ujung jalan sana kayaknya ada cafe baru buka. Lagi promo, mayan kan," ajak Budi.
Amar menterinya setuju. Ia pun mengangguk cepat tanpa pertimbangan. Setelahnya mereka pun mulai bekerja sampai jam makan siang tiba.
"Nafisa, gabung makan bareng yuk!" ajak Budi saat melihat karyawan baru bernama Nafisa itu lewat.
"Hai Mas, emang boleh?" ujar gadis bernama Nafisa itu seraya menoleh ke arah Amar.
"Nggak masalah, ya kan, Am?"
Amar mengangguk, mempersilahkan.
"Ayo, duduk aja! Makin rame makin asik!" ujar Amar membuat Nafisa dan dua rekannya tersenyum. Lalu mereka pun menarik kursi dan duduk. Nafisa tersenyum saat mendapatkan tempat duduk di samping Amar.
Mereka lantas memesan makan siang mereka sambil bercengkrama. Amar bahkan mengajak Nafisa berkenalan.
"Kalian entar sore mau ikut kita nongkrong nggak? Di cafe yang di ujung jalan itu. Baru buka, katanya ada promo. Lumayan kan, hemat budget sekalian senang-senang," ajak Budi.
Kedua rekan Budi dan Amar setuju, tinggal Nafisa yang masih terdiam.
"Gimana Sa, kamu mau?" tanya Amar.
Nafisa menatap wajah Amar yang tersenyum, kemudian mengangguk setuju.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
𝐭𝐨𝐢𝐥𝐞𝐭 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐫𝐚𝐡𝐢𝐦 𝐢𝐛𝐮
𝐝𝐨𝐚 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐝𝐨𝐚 𝐢𝐛𝐮
𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐭𝐦 𝐚𝐧𝐤 𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮
𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮 𝐥𝐚𝐡 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐠 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠𝐢 𝐚𝐧𝐚𝐤𝟐𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐬𝐤𝐢𝐩𝐮𝐧 𝐛𝐥𝐦 𝐭𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐮𝐩𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐧𝐲𝐚 😭😭😭😭😭
𝐜𝐢𝐫𝐢𝟐 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐭𝐮𝐫𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐡𝐝𝐮𝐩 𝐦𝐚 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐤 𝐬𝐢𝐟𝐚𝐭 𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐤 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐦𝐞𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐭𝐩 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐩𝐧𝐲 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐭𝐩 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚
𝐦𝐚𝐦𝐚𝐦 𝐭𝐮 𝐚𝐦𝐚𝐫 𝐬𝐮𝐤𝐮𝐫𝐢𝐧