Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Gadis Kecil"
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah dan jalanan tanah, hiduplah seorang gadis bernama **Alya Pramudita**. Usianya baru enam belas tahun, namun hidup telah menaruh terlalu banyak beban di pundaknya. Jika ada yang memperhatikannya dengan saksama, mereka akan melihat bahwa Alya jarang tersenyum. Bukan karena ia tidak tahu caranya, tetapi karena senyum adalah kemewahan yang jarang ia miliki.
Ibunya meninggal saat Alya berusia lima tahun. Kenangan tentang sang ibu hanya tersisa dalam potongan-potongan samar: suara lembut yang memanggil namanya, tangan hangat yang mengelus rambutnya, dan aroma masakan sederhana yang kini tak pernah lagi tercium di rumah itu. Sejak kepergian ibunya, rumah Alya kehilangan cahaya. Dindingnya tetap berdiri, atapnya masih melindungi dari hujan, tetapi rasanya kosong—seperti tubuh tanpa jiwa.
Ayahnya berubah. Lelaki yang dulu pendiam dan bekerja keras itu perlahan tenggelam dalam botol-botol minuman keras. Setiap malam, suara langkah sempoyongan dan bau alkohol menjadi alarm yang menandai bahaya. Alya belajar membaca suasana sejak kecil. Jika ayahnya pulang dengan wajah merah dan mata sayu, ia tahu lebih baik menghindar. Diam. Menyusut. Menjadi tak terlihat.
Namun sering kali, itu tidak cukup.
Tamparan, bentakan, dan kata-kata yang melukai lebih dalam dari luka fisik menjadi bagian dari hidup Alya. Ia tidak pernah berani melawan. Tidak pernah berani bertanya mengapa. Dalam pikirannya yang masih anak-anak dulu, ia sempat percaya bahwa mungkin semua itu adalah kesalahannya. Bahwa jika ia menjadi anak yang lebih baik, ayahnya tidak akan marah.
Seiring bertambahnya usia, Alya mulai paham satu hal: ini bukan salahnya. Tapi pemahaman itu tidak serta-merta membuat rasa sakitnya berkurang.
Setiap pagi, Alya bangun sebelum matahari terbit. Ia membersihkan rumah seadanya, menyapu pecahan botol yang kadang berserakan, lalu menyiapkan diri ke sekolah. Seragamnya sudah lama pudar. Kancingnya ada yang diganti dengan benang berbeda warna. Sepatunya retak di bagian samping, tapi masih ia pakai. Ia tidak pernah mengeluh. Mengeluh hanya akan membuang energi yang tidak ia punya.
Sarapan adalah hal langka. Jika ada nasi sisa semalam, ia memakannya dengan air putih. Jika tidak ada, ia berangkat dengan perut kosong. Alya sudah terbiasa menahan lapar. Tubuhnya kurus, tapi ia berjalan tegak, seolah menolak terlihat lemah.
Di sekolah, Alya tidak pernah menjadi bagian dari keramaian. Ia duduk di bangku belakang, dekat jendela. Dari sana, ia bisa memandang keluar, ke arah langit atau pepohonan, membiarkan pikirannya melayang sejenak. Pelajaran adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa punya tujuan. Saat membaca buku atau mengerjakan soal, dunia terasa sedikit lebih sunyi—lebih aman.
Namun ketenangan itu sering dirusak oleh bisikan.
“Dia itu aneh.”
“Bapaknya pemabuk.”
“Pasti hidupnya kacau.”
"Si gembel"
Alya mendengar semuanya. Ia hanya berpura-pura tidak. Ia menunduk, mencatat, dan menahan napas. Bullying tidak selalu berupa dorongan atau teriakan. Kadang ia hadir dalam tatapan sinis, tawa kecil, atau kursi yang sengaja digeser menjauh darinya.
Saat jam sekolah berakhir, anak-anak lain pulang dengan tawa dan cerita. Alya pulang dengan langkah cepat, karena ia masih harus bekerja. Sepulang sekolah, ia berganti pakaian dan membantu siapa pun yang mau memberinya upah—membersihkan halaman, mencuci piring, atau memetik sayur. Uang receh yang ia kumpulkan ia simpan dengan hati-hati. Itu bukan uang jajan. Itu uang untuk buku, seragam, dan kadang… untuk membayar kemarahan ayahnya dalam bentuk minuman agar ia tidak mengamuk.
Sore hari adalah waktu yang paling melelahkan. Tubuh Alya sudah letih, tetapi pikirannya masih waspada. Ia tidak pernah tahu dalam keadaan seperti apa ayahnya akan pulang. Kadang ayahnya tidur seharian, kadang ia pulang larut malam dengan suara tawa asing yang membuat Alya menggigil di dalam kamar.
Perempuan-perempuan yang dibawa ayahnya ke rumah membuat Alya merasa asing di rumahnya sendiri. Mereka berbicara keras, tertawa tanpa peduli, dan memandang Alya seolah ia hanya bayangan. Alya mengunci diri di kamar, memeluk lutut, dan menatap dinding yang retak. Di situlah ia belajar satu hal penting: rumah tidak selalu berarti aman.
Malam hari adalah waktu Alya merenung. Ia mengerjakan tugas sekolah dengan penerangan seadanya. Kadang ia menulis di buku catatan kecil—bukan tugas, melainkan perasaannya. Ia menulis tentang lelah, tentang takut, tentang keinginan sederhana: hidup tenang. Ia tidak bermimpi besar. Ia hanya ingin bertahan sampai besok.
Sesekali, Alya membayangkan ibunya. Ia bertanya-tanya seperti apa hidupnya jika ibunya masih ada. Apakah ia akan dipeluk saat menangis? Apakah ia akan dibela? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah menemukan jawaban, hanya meninggalkan perih yang samar tapi menetap.
"Ibu....Alya takut"
"Alya...disini sendirian ibu, kenapa ibu ninggalin Alya". rintih Alya setiap malam.
Namun meski hidup menekannya dari segala arah, Alya belum menyerah. Ada sesuatu di dalam dirinya—kecil, rapuh, tapi keras kepala—yang menolak padam. Ia tetap bangun setiap pagi. Tetap pergi ke sekolah. Tetap bekerja. Tetap hidup.
Alya tidak tahu apa yang menantinya di masa depan. Ia tidak tahu apakah ia akan selamat dari rumah itu, dari omongan orang-orang, dari luka yang terus mengendap di dadanya. Tapi satu hal yang pasti: setiap hari yang ia lewati adalah bukti bahwa ia masih bertahan.
Dan bagi Alya, bertahan saja sudah merupakan sebuah keberanian.
Malam semakin larut, tetapi Alya belum bisa tidur. Ia berbaring miring di atas kasur tipis yang pegasnya sudah terasa menekan punggung. Suara jangkrik dari luar bercampur dengan dengkuran berat ayahnya di ruangan depan. Bau alkohol masih menyelinap masuk ke kamarnya, membuat dadanya terasa sesak. Alya menarik selimut tipis sampai ke dagu, seolah kain itu mampu melindunginya dari segala hal buruk.
Di kegelapan, pikirannya bekerja tanpa henti. Ia menghitung hari, minggu, dan tahun. Menghitung berapa lama lagi ia harus bertahan. Kadang ia takut pada masa depan, kadang ia justru takut jika masa depan itu tidak pernah datang. Ia tidak berani bermimpi terlalu tinggi, karena jatuh dari harapan rasanya jauh lebih menyakitkan.
Alya memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia mengingat satu hal sederhana yang selalu ia pegang: selama ia masih bernapas, ia masih punya kendali atas dirinya sendiri. Orang-orang bisa menyakitinya, hidup bisa kejam padanya, tetapi ia menolak membiarkan jiwanya hancur sepenuhnya.
Dengan napas pelan dan tubuh yang lelah, Alya akhirnya terlelap. Esok hari akan sama beratnya, mungkin lebih. Namun seperti hari-hari sebelumnya, ia akan bangun lagi. Karena bagi Alya, hidup bukan soal bahagia—melainkan soal bertahan satu hari lagi.