Bagi Hasan, mencintai harus memiliki. Walaupun harus menentang orang tua dan kehilangan hak waris sebagai pemimpin santri, akan dia lakukan demi mendapatkan cinta Luna.
Spin of sweet revenge
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MJD 1
Hasan Kanigara Falah tau kalo dia sudah diblokir oleh Luna, gadis yang tidak bisa dia singkirkan dari pikirannya.
Sekian tahun tidak bertemu, akhirnya mereka dipaksa bertemu dalam momen yang tidak menyenangkan
Teman teman SMAnya dulu, bersama beberapa guru guru SMAnya mendatanginya di ruangannya. Selain itu isu negatif yang menyebar sangat ringan menyangkut keluarga besar konglomerat pemilik yayasan SMA sudah sampai di tempatnya bekerja.
Tapi karena itu dia bisa berkomunikasi lagi walau akhirnya gadis itu melakukan tindakan ekstrim, memblokirnya.
Dia sudah ngga mau mundur lagi seperti dulu.
*
*
*
"Dok, pasien kemarin datang lagi," bisik perawatnya, Tika, ketika Luna sedang memeriksa pasiennya.
"Biarkan saja. Masih ada pasien yang lain?"
"Masih ada tiga, dok."
"Ya, sudah, biarkan saja dia." Luna kemudian konsen lagi dengan pasiennya.
Mau apa, sih, datang lagi, batinnya kesal. Kalo begini, sia sia saja sudah diblokir, batinnya lagii.
Luna akui betapa sabarnya Hasan menunggu sampai pasien terakhir selesai diperiksa olehnya dan keluar dari ruangannya. Padahal tadi dia sengaja berlama lama dengan pasiennya.
"Sudah selesai?" tanya laki laki berwajah teduh itu. Dia masih mengenakan setelan jasnya.
Dia tidak bekerja? Tapi Luna bisa melihat tas punggung yang berisi laptop. Berarti dia menunggu sambil mengerjakan pekerjaannya. Batin Luna lagi.
"Ngga bosan datang ke sini?" Luna bertanya dengan suara judesnya.
Hasan tersenyum. Dia memasuki ruangan Luna dan duduk di depan gadis itu. Dia membuka jasnya membuat Luna tertegun melihatnya.
"Obatnya sudah aku makan. Bisa diperiksa lagi tensinya?" Hasan mengulurkan tangannya sambil melipat lengan kemejanya hingga pangkal siku.
"Ngga ngaruh. Bakal tetap sama seperti kemarin."
"Begitu, ya?" Hasan bermaksud menurunkan lagi lipatan kemejanya, tapi gerakannya terhenti karena Luna memasukkan manset tensi ke lengannya.
Laki laki itu tersenyum tipis.
Tika, perawat yang mendampingi Luna juga ikut tersenyum melihat kelakuan nona dokternya. Diam diam dia mulai curiga dengan hubungan keduanya.
Memang ada beberapa pasien atau keluarga pasien nekat yang ingin kenalan dengan nona dokternya. Tapi biasanya ditanggapi dengan sopan. Beda dengan laki laki tegap yang wajahnya tampan seperti malaikat penjaga pintu surga. Selalu disinisin dan dijutekin.
Kasian Tika melihatnya. Tapi laki laki ini sepertinya punya kesabaran seluas samudera. Tidak ada riak marah atau pun kesal diperlakukan begitu. Tika yakin, pasti nonanya dan malaikat penjaga pintu surga ini sudah lama saling mengenal.
Mantan, mungkin, batinnya menebak nebak.
"Belum ada perubahan. Obatnya jangan lupa diminum," ucap Luna setelah melihat pergerakan alat tensi yang belum berubah. Dia melepaskan mansetnya dan menyimpannya.
"Oke."
Hasan menurunkan lengan kemejanya dan mengenakan jasnya lagi.
"Bisa kita bicara di kantin lagi?" tanya Hasan sambil merapikan jasnya.
Tika-perawat Luna membantunya membereskan meja kerja nona dokternya sambil sesekali melirik keduanya.
Menurutnya keduanya serasi sekali. Nonanya cantik sedang laki lakinya tampan.
Luna tau Tika mengawasinya. Dia ngga mungkin menolak Hasan di depan Tika sekarang. Tika pasti akan berpikir macam macam. Akan bisa jadi rumor yang tidak sedap di kalangan tenaga medis.
"Ya." Luna segera bangkit dan mengambil tasnya. Dia melangkah keluar dari ruangannya tanpa berkata apa apa pada Tika. Hasan mengikutinya.
Mereka berjalan dalam diam hingga tiba di kantin.
"Aku pesan bubur ayam," ucap Hasan pada pegawai kantin.
Luna sempat melirik laki laki itu.
Tumben dia mau makan bubur, batinnya.
Dia ngga sariawan, kan?
Kali ini Luna memesan soto ayam.
Untuk minuman mereka samaan karena memesan teh hangat
"Kenapa nomerku diblokir?" tanya Hasan setelah pegawai kantin pergi untuk membawakan pesanan mereka.
"Ngga apa apa, kan?"
Hasan tersenyum.
"Jadi kamu lebih suka kalo aku datang langsung menemuimu di sini?"
Luna menghembuskan nafas pelan, berusaha sabar.
"Untuk apa lagi kita bertemu? Urusannya sudah selesai, kan?"
"Belum. Aku perlu mengabarkan padamu perkembangan Ratna, kan?" suara Hasan tetap terdengar lembut dan sabar.
"Ngga perlu. Aku dan saudara saudaraku sudah tidak ingin mendengar apa pun lagi tentang Ratna," bantah Luna sambil menentang mata laki laki itu.
Biasanya Hasan akan mengalah, tapi anehnya kali ini dia malah tetap menatapnya. Luna yang akhirnya mengalah karena merasakan lagi desir desir yang dulu.
Dia mengalihkan tatapnya pada pengunjung kantin yang syukurnya ngga terlalu mempedulikan kehadiran dia dan Hasan.
Terdengar laki laki di depannya menghela nafas.
"Tetap saja harus aku laporkan sama kamu, sekecil apa pun perkembangannya," jawab Hasan tetap bersikeras dengan pendapatnya.
Saat Luna ingin membantah, pegawai kantin membawakan pesanan mereka.
"Terimakasih," ucap Hasan ramah yang dibalas dengan senyum yang ngga kalah ramahnya.
"Sama sama."
Luna mencampur sotonya dengan dua sendok sambal dan beberapa tetes kecap manis. Kemudian mengaduknya.
"Kamu bisa memberitau Abiyan," ucapnya sebelum mengarahkan sendok ke mulutnya.
"Aku lebih suka memberitaukannya ke kamu saja. Sekalian cek tensiku."
Huuh, Luna nyaris melemparkan sendoknya ke wajah teduh Hasan.
Kenapa dia jadi keras kepala begini? Dulu Hasan akan menuruti ucapannya
"Tenanglah, aku ngga akan mengganggu kesibukanmu dengan para pasien." Hasan menyendokkan bubur yang sudak dia aduk ke dalam mulutnya.
"Pacarku bisa marah kalo melihat kita berdua sering ke kantin," tukas Luna ngarang karena sudah sangat sewot.
Ngerti, ngga, sih. Kesempatan kamu sudah lama usai, batin Luna.
Hasan tidak tampak terganggu apalagi sampai terintimidasi. Tidak sama sekali.
"Oooh, kamu bisa kenalkan denganku kalo nanti bertemu pacarmu. Agar dia ngga salah paham," ucapnya tenang setelah menelan buburnya.
Luna melirik Hasan dengan perasaan bertambah kesal.
Kenapa, sih, dia ini, batin Luna.
Luna tidak membantah lagi. Dia ngga mau ketahuan berbohong, mengaku sudah punya pacar, padahal zonk. Jadi dia hanya bisa menyimpan kedongkolannya saja di dalam hatinya.
Hasan tersenyum karena Luna tidak membantah lagi. Dia pun meneruskan makan buburnya. Tenggorokannya yang terasa perih akibat radang, dengan mudah menelan bubur halus itu
"Besok ustazahnya akan datang. Semoga saja Ratna bisa disembuhkan," ucap Hasan setelah beberapa lama mereka tidak saling bicara lagi.
"Hemm...."
"Besok sore aku datang lagi nemuin kamu."
Luna menghela nafas kasar. Akhirnya dia keluarkan juga ponselnya dan di depan laki laki ini, dia membatalkan blokir pada nomer telponnya.
Hasan tersenyum tipis.
"Jangan datang lagi. Kamu, tuh, sudah punya calon istri." Luna berkata tegas. Sotonya sudah tinggal kuahnya saja.
"Aku laki laki bebas. Belum menikah."
"Iya, tapi sudah punya calon istri. Bahkan dari SMA," sarkas Luna dengan senyum mengejeknya.
Tapi Hasan tetap tersenyum, seolah yang dia punya hanya senyum dan sikap sabar menghadapi Luna. Kemarahan sangat jauh dari dirinya. Juga sifat sifat negatif lainnya.
Itu yang membuat Luna kesal. Hasan tidak pernah terpancing emosinya, walaupun dia sudah bersikap.tidak ramah.
"Memang banyak orang yang ingin menjodohkan anak perempuannya denganku. Tapi aku belum pernah menyetujuinya." Hasan seolah olah ingin meluruskan masa lalu mereka.
Hampir saja Luna mengeluarkan decakan.
"Aku mau pulang," ucapnya sambil berdiri dan memanggil pegawai kantin.
"Kali ini biar aku yang bayar," cegah Hasan ketika Luna mengeluarkan dompetnya.
Luna tidak membantah. Kemarin Hasan membiarkan dirinya yang membayar makanan mereka.
Mereka beriringan keluar dari kantin. Seperti kemarin, tenaga tenaga medis yang berpapasan dengannya mengangguk hormat dengan tatapan penuh prasangka.
"Bisakah aku menemui orang tuamu?" tanya Hasan memecah keheningan. Mereka berada di persimpangan kemarin.
"Untuk apa?" Luna sampai berjengit saking kagetnya.
"Mengatakan kalo aku serius dengan putrinya."
DEG DEG
Rasa itu hadir lagi. Tatapan teduh laki laki itu menyatakan keseriusannya. Luna mengalihkan tatapnya ke arah lain.
Kini langkah kaki mereka sudah terhenti.
"Jangan aneh aneh. Aku ngga mungkin bisa hidup di lingkungan kamu," tolak Luna tegas.
"Ya sudah, aku yang akan hidup di lingkungan kamu."
Luna hampir saja menghentakkan sepatunya keras keras di lantai kalo tidak ingat dia mengenakan heels setinggi sepuluh senti.
Kenapa dia jadi sengotot ini?
jujur aku penasaran kenapa hasan menolak laila??
ataukah dulu kasus luna dilabrak laila,, hasan tau??
udah ditolak hasan kok malahan mendukung tindakan laila??
Laila nya aja yg gak tahu diri, 2x ditolak msh aja ngejar²😡