Apa jadinya jika dua orang sahabat memiliki perasaan yang sama, tapi sama-sama memilih untuk memendam perasaan itu daripada harus mengorbankan persahabatan mereka? Itulah yang saat ini dirasakan oleh dua orang sahabat, Bulan dan Bintang.
Bulan, sahabat sejak kecil seorang Bintang, menyukai pemuda itu sejak lama tapi perasaan itu tak pernah terungkap. Sementara Bintang, baru menyadari perasaannya terhadap gadis cantik itu setelah dirinya mengalami kecelakaan.
Keduanya terjebak dalam perasaan yang tak terungkap. Mereka tidak tahu harus melakukan apa. Keduanya hanya tahu bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain. Tapi, akankah persahabatan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih?
---------------------------------------------------------------------------
"Lo keras kepala banget! Lo gak tau apa gue khawatir, gue sayang sama lo." gumam gadis itu lirih, bahkan hampir tak terdengar.
"Lo ngomong apa tadi?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NdahDhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Bulan dan Bintang
Bulan dan Bintang, dua remaja yang sudah bersahabat sejak kecil. Mereka selalu bersama dan tumbuh dewasa bersama. Sejak kecil, persahabatan mereka sudah terjalin, terlebih Bintang yang baru saja pindah ke kota itu membuatnya kenal dengan seorang gadis yang kini menjadi sahabatnya.
Bintang Almaz Adhikara, seorang pemuda berusia 16 tahun dengan mata cokelat yang tajam. Tubuh yang tinggi menambah ketampanan pada dirinya.
Bintang terlahir dari keluarga berada, kekayaan dan harta bisa ia dapatkan. Tapi dibalik kemewahan itu, kehidupan Bintang bagaikan neraka. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman, justru memberikan luka yang teramat dalam.
Konflik yang berterusan, membuat Bintang menjadi anak yang bermasalah. Semenjak ibunya pergi, ayahnya seakan tidak melihat lagi keberadaan Bintang sebagai anaknya. Ia menjadi kasar dan tidak peduli dengan perasaan Bintang, membuat Bintang merasa tidak dianggap di rumahnya sendiri.
Karena tekanan batin yang terus menekan jiwanya, Bintang menjadi anak nakal dan acuh tak acuh pada orang lain. Bahkan ia bergabung dengan teman-teman yang salah untuk meluapkan tekanan batinnya.
"Lo jangan pergi balapan, Bintang. Bahaya buat lo."
Suara seorang gadis menghentikan langkah Bintang yang hendak menaiki motornya.
"Lo gak usah khawatir. Gue akan baik-baik aja." Balasnya dingin.
"Tapi, Bin-"
Bintang tidak menghiraukan dan langsung melajukan motornya, meninggalkan gadis itu di halaman rumahnya.
"Gue khawatir sama lo, Bintang." Ujar gadis itu lirih, menatap kosong ke arah jalan yang baru saja dilewati oleh Bintang.
Gadis itu Bulan Ayu Rarasati, seorang gadis cantik seusia Bintang yang sudah menjadi sahabatnya sejak lama. Bulan mempunyai wajah cantik dengan tubuh tinggi. Tapi itu tidak berlaku ketika ia sedang bersama Bintang. Mata coklatnya yang lembut, membuat teduh orang-orang di sekitarnya.
Bulan terlahir dari keluarga yang berkecukupan, tidak terlalu mewah dan juga tidak terlalu sederhana. Yang di dalamnya penuh dengan keharmonisan dan kasih sayang. Sangat jauh berbeda dari keluarga Bintang yang berantakan.
Ayah Bulan seorang karyawan di sebuah perusahaan, sementara ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai kegiatan sampingan sebagai pembuat kue. Tapi untuk akhir-akhir ini ibunya menghentikan kegiatan itu karena minimnya pelanggan.
Kedekatannya dengan Bintang sejak kecil, membuat Bulan sangat memahami apa yang terjadi dalam keluarga Bintang. Ia sangat tahu bahwa berubahnya Bintang karena ia yang kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Gadis itu menghela nafas panjang, ia sangat khawatir dengan sahabatnya itu. Ia selalu berusaha melarang Bintang untuk pergi balapan, tapi pemuda itu tetap saja tidak menghiraukannya. Bulan terdiam di tempat, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada sahabatnya itu.
...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...
"Lo harus menangin balapan ini, men. Gila hadiahnya gede banget!" Ujar seorang teman Bintang.
"Pastilah gue menang, lo tau kan gue siapa. Bintang!" Ujar Bintang sambil mengepalkan tinju ke dadanya.
Teman-temannya tertawa dan menepuk punggung Bintang. Bagaimanapun jika Bintang menang, maka mereka juga akan kebagian jatah juga.
"Are you ready?" Ujar seorang gadis dengan memegang bendera hitam putih di garis start.
Kedua peserta langsung memasang helm full face dan memulai mesin motor, suara mesin yang berderu terdengar jelas di sekitar mereka.
"Go!"
Bintang dan lawannya malam ini memacu motornya dengan kecepatan tinggi, saling mendahului dan tidak ada yang mau mengalah di antara mereka.
Suara sorakan terdengar jelas dari pendukung masing-masing. Baik dari pendukung Bintang maupun lawannya sama-sama antusias malam ini.
Bintang melesat di depan lawannya, membuat teriakan mereka semakin keras. Sementara lawannya, terlihat kesal karena Bintang berhasil mendahului nya.
Di lain sisi, Bulan bolak-balik menelpon Bintang berharap Bintang akan membatalkan rencana balapannya.
Berkali-kali Bulan menghubungi, tapi tidak ada satu panggilan pun yang terjawab. Bulan merasa gelisah, ia benar-benar khawatir dengan Bintang.
Percuma saja Bulan menghubungi Bintang sedari tadi. Karena pemuda itu sudah terlanjur berada di area balap.
"Gue harap lo baik-baik aja, Bintang." Ujar Bulan lirih memandangi keheningan malam dari jendela kamarnya.
Beberapa lama Bulan berdiam diri di depan jendela kamarnya, akhirnya ia melangkahkan kakinya menuju tempat tidur.
"Bulan, hei."
Baru saja Bulan hendak memejamkan matanya, tiba-tiba saja jendela kamarnya digedor oleh seseorang.
Bulan langsung menghampiri dan menyibak gorden di depannya. Ia terkejut, melihat bintang yang berdiri di depan kamarnya.
"Bintang? Lo baik-baik aja?" Ujarnya sambil membuka kaca jendelanya, tapi ia tidak bisa melihat terlalu jelas karena hanya mendapatkan cahaya dari rembulan yang remang-remang.
"Seperti yang lo liat. Gue aman." Ujar Bintang santai. "Lagipula gue menang. Lumayanlah."
Bulan menggelengkan kepalanya, ia tidak mengerti pola pikir sahabatnya itu. Bintang yang dikhawatirkan habis-habisan oleh Bulan, justru terlihat biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.
"Gue gak peduli lo menang atau enggak. Yang gue peduli keselamatan lo, Bintang!"
"Gue aman. Lo gak perlu khawatir." Ujar Bintang. "Oh, gue boleh nginep?"
"Ngobrol di dalam aja. Bentar, gue bukain pintu." Ujar Bulan sambil berlari ke arah pintu depan.
"Thanks," gumam Bintang lirih karena Bulan sudah menjauh. Ia pun berjalan menuju pintu depan.
"Masuk dulu Bin... Eh, itu muka lo kenapa?" Ujar Bulan yang baru melihat jelas wajah Bintang di bawah lampu rumahnya yang terang-benderang.
"Gapapa. Cuma ada masalah sedikit tadi," jawab Bintang santai dengan kedua tangannya ia sisipkan di balik saku celananya.
"Lo berantem? Astaga Bintang! Sini, biar gue obatin!" Bulan langsung menarik Bintang ke dalam ruangan dan menuju ke arah sofa.
Bintang hanya membiarkan sahabatnya itu menariknya, sementara ia sendiri pun acuh tak acuh dengan apa yang terjadi.
"Lo tunggu di sini, gue ke belakang sebentar."
Bintang hanya mengangguk singkat dan Bulan langsung berlari ke dapur, mengambil es batu untuk mengompres Bintang.
Bintang duduk santai di atas sofa, ia mengambil ponselnya dan memainkan game. Ia sama sekali tidak memperdulikan keadaannya sendiri. Meskipun ia sempat bertengkar dengan salah satu teman lawannya di area balap tadi.
Bintang sudah terbiasa di rumah Bulan, bahkan keluarga gadis itu juga sudah memaklumi kedekatan mereka. Tidak masalah bagi mereka selagi Bintang dan Bulan tidak berlaku yang aneh-aneh.
"Lo malah sempat-sempatnya main game. Emangnya gak perih tu muka?" Ujar Bulan yang baru kembali dari dapur dengan membawa baskom berisi es batu dan kain bersih di tangannya.
"Ini mah gak sebanding dengan sakit yang selalu gue rasa di rumah." Ujar Bintang santai, tapi matanya masih fokus pada layar ponselnya.
Bulan terdiam, pemuda itu jika sudah membahas soal rumah memanglah sangat menyakitkan. Bahkan, Bulan hampir menangis jika Bintang sudah bercerita tentang apa yang ia alami di rumahnya sendiri.
"Udah, matikan dulu game nya. Sini biar gue obatin," ujar Bulan mengalihkan pembicaraan dan langsung mengambil ponsel Bintang, membuat pemuda itu refleks menoleh.
Bulan tidak menghiraukan tatapan tajam Bintang, ia langsung mengompres luka di wajah pemuda itu.
"Aww," ringis Bintang ketika benda dingin itu menyentuh lukanya.
"Sorry-sorry, terlalu kuat ya?"
"Sedikit," ujar Bintang singkat dan akhirnya Bulan dengan hati-hati mengompres lukanya.
"Lo kenapa bisa kayak gini coba? Lo berantem sama siapa?" Bulan terus-terusan mengomel membuat pemuda itu mengernyitkan dahinya.
"Sama teman lawan. Entah, gue juga gak tau tiba-tiba dia nyerang gitu aja. Ya udah, gue bales." Jelas Bintang.
"Ya ampun Bintang, lo sampe kapan coba mau kayak gini terus?" Ujar Bulan sambil menempelkan plaster di pelipis Bintang.
"Sampe gue tenang dari segala tekanan yang gue rasa."
Deggg!
Lagi-lagi Bulan terdiam karena perkataan singkat Bintang. Ia pun langsung menurunkan tangannya dari dahi Bintang. Ia menatap Bintang dengan mata yang berkaca-kaca, menunjukkan rasa sedih dan simpatinya.
"Jadi boleh kan gue nginep?" Ujar Bintang di sela-sela keheningan.
"Lo gak pulang?" Tanya Bulan hati-hati dan menatap Bintang dengan tatapan serius.
"Males," balas Bintang, ia mengambil jeda sejenak dan menghela nafas yang cukup panjang. "Lo tau sendiri kan, gimana Papa? Bisa-bisa gue di hajar lagi. Semenjak Mama pergi, Papa selalu lampiaskan emosinya ke gue. Gue jadi gak betah di rumah."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Bulan, ia merasakan sakit ketika Bintang sudah membahas tentang rumah dan keluarganya.
Dulu, keluarga Bintang juga harmonis tanpa adanya konflik apapun. Tapi, semenjak ibu Bintang pergi begitu saja beberapa tahun lalu, semua itu merubah kehidupan Bintang.
"Gue tau, Bintang. Gue tau..." Ujar Bulan lirih. "Tapi lo juga gak boleh bahayakan diri lo sendiri. Balapan liar bahaya buat lo."
"Cuma itu yang bikin gue tenang, Bulan." Jawab Bintang dingin.
"Gue tau, gue paham. Tapi, lo gak boleh terus-terusan kayak gini. Pikirin keselamatan lo juga Bintang!"
"Ngapain juga gue pikirin diri gue?! Gak ada yang peduli juga kan?! Semuanya terlalu menyakitkan, cuma diri gue yang paham apa yang gue rasa!" Ujar Bintang sedikit meninggi dan satu tetes air mata turun dari pelupuk matanya serta terdengar suara nafasnya yang mulai memburu.
"Lo salah, Bintang. Gue peduli, tapi lo gak pernah liat itu." Batin Bulan sambil menahan air matanya agar tidak menetes.
"Ya udah, istirahat aja di kamar tamu. Gue juga mau istirahat." Ujar Bulan sambil membereskan alat kompres di atas meja.
"Iya, thanks sebelumnya." Jawab Bintang singkat dan langsung bergegas menuju kamar tamu.
Setelah meletakkan baskom di dapur, Bulan berjalan ke arah kamarnya dan duduk di tepi tempat tidurnya. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya ia tumpahkan di dalam kamarnya. Bahkan sesekali ia meremat sprei dengan sangat erat.
"Kenapa lo gak bisa liat kepedulian gue, Bintang?" Gumamnya lirih.
"Gue sayang sama lo."
^^^Bersambung...^^^