Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.
______________
Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Jejak Tanah dan Pengkhianatan
Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
Kamar hotel kecil, 204, terasa seperti bunker isolasi. Lampu kuning redupnya, yang semalam terasa menenangkan, kini justru terasa mengintimidasi, menerangi setiap bayangan ketakutan yang merayapi benak Nayara.
Nayara sudah mandi air hangat, menghilangkan sisa-sisa hujan dan lelah fisik. Namun, beku di jiwanya tak terangkat. Ia kembali duduk di tepi ranjang, ponsel di genggaman. Matanya kembali terpaku pada dua notifikasi terakhir:
* Transfer Masuk: Rp 500.000.000 dari PT. Cipta Raya Abadi (Ardan).
* Pesan Teks: “Dia akan hancur.” (Nomor tidak dikenal)
Jumlah uang itu... Lima ratus juta rupiah. Itu bukan sekadar uang saku atau kompensasi. Itu adalah jumlah yang disiapkan seseorang untuk menghadapi masa depan tanpa pegangan, atau setidaknya, untuk menghilang tanpa jejak. Jumlah ini setara dengan hampir setengah tabungan bersama mereka, tabungan yang awalnya dialokasikan untuk cicilan kedua rumah impian mereka di pinggir kota.
Kenapa Ardan mengirim sebanyak ini?
Nayara memikirkan kembali semua peristiwa.
* Ardan Pingsan di Kantor: Kelelahan ekstrem dan tekanan darah rendah. Bukan kecelakaan biasa.
* Mira: Kehadiran Mira yang terlalu cepat dan terlalu siap mengurus administrasi rumah sakit.
* Kata-kata Ardan: “Aku nggak butuh kamu di sini.” dan “Aku mau selesai dari kamu!”
* Keputusan Pergi: Ardan memilih apartemen, bukan rumah. Sebuah upaya menjauhkan diri secara drastis.
* Pengusiran: Puncaknya, Ardan mengusir Nayara dengan kata-kata paling kejam, menuduhnya sebagai beban dan pengikat.
Jika dia benar-benar membenciku, mengapa dia memberiku setengah hartanya?
Nayara menduga-duga. Ada dua kemungkinan yang saling bertolak belakang:
* Pengkhianatan Sempurna: Ardan telah memilih Mira, dan uang ini adalah "uang tutup mulut" agar Nayara pergi tanpa ribut-ribut. Perpisahan yang dingin dan kotor.
* Perlindungan Ekstrem: Ardan sedang dalam bahaya besar, dan satu-satunya cara melindunginya adalah dengan mengusirnya secara brutal, memberikan uang yang cukup, dan memastikan Nayara tidak terikat lagi padanya.
Kemarahan itu adalah topeng.
Pesan misterius itu, “Dia akan hancur,” semakin menguatkan opsi kedua. Jika ini hanya masalah Mira, mengapa ada pihak ketiga yang mengirimkan peringatan bernada ancaman?
Nayara harus tahu apa yang terjadi di PT. Cipta Raya Abadi, perusahaan konstruksi di mana Ardan menjabat sebagai Direktur Operasi. Perusahaan yang bergerak di bidang proyek-proyek infrastruktur besar, dari jalan tol hingga pembangunan kompleks perumahan elit. Bidang yang sangat rentan terhadap praktik kotor dan persaingan bisnis yang kejam.
Nayara menarik napas dalam-dalam. Rasa sakit karena diusir tidak hilang, tapi kini ia disalip oleh rasa penasaran dan naluri melindungi. Ia mengambil keputusan. Ia tidak bisa lari. Ia harus mencari tahu.
Ia membalas pesan terakhir Ardan, yang tadi pagi hanya dibalas dengan keheningan.
Kepada Ardan (04:15): Aku mengerti. Aku akan pergi. Tapi aku akan mencari tahu kebenaran di balik semua ini. Aku akan mencari kamu.
Ia mematikan data seluler. Ini bukan saatnya untuk emosi, tapi untuk logika.
.
.
.
Pagi datang membawa Jakarta yang bising. Nayara meninggalkan kunci kamar 204 di meja resepsionis. Hotel kecil itu, meskipun hanya semalam, telah menjadi saksi kejatuhan dan kebangkitan naluri penyelamatnya.
Tujuan pertamanya adalah Alia, sahabatnya.
Mereka bertemu di kafe dekat kantor Alia. Nayara menceritakan segalanya: pengusiran, uang transfer, dan pesan anonim.
Alia mendengarkan, matanya melebar. “Lima ratus juta? Nay, itu gila. Ini bukan lagi soal Mira. Ini pasti masalah besar di Cipta Raya Abadi.”
Nayara mengangguk. “Aku harus tahu apa yang disembunyikan Ardan. Aku butuh akses ke kantor lamaku. Aku yakin masalah ini sudah ada sejak lama, jauh sebelum dia pingsan.”
Nayara pernah bekerja sebagai Project Administrator di Cipta Raya Abadi, bagian dokumentasi proyek dan pengawasan anggaran, sebelum akhirnya berhenti dua tahun lalu atas permintaan Ardan, yang ingin Nayara fokus pada rumah tangga dan memulai bisnis kecil. Karena latar belakang itu, Nayara masih punya beberapa kenalan dan pemahaman dasar tentang proyek-proyek besar yang ditangani perusahaan.
“Kamu yakin mau kembali ke sana? Bukankah itu terlalu berisiko?” tanya Alia khawatir.
“Risiko apa, Li? Ardan sudah mengusirku. Apa lagi yang bisa aku hilangkan?” Nayara tersenyum pahit. “Aku hanya ingin memastikan, apakah aku ditinggalkan karena cinta baru, atau karena dia ingin aku hidup lebih baik. Kalau karena yang kedua, aku harus bantu dia.”
Alia akhirnya setuju. “Oke. Aku akan cover kamu. Aku akan bilang kamu sedang ada urusan mendesak dan butuh bantuan mengecek beberapa dokumen lama. Aku akan hubungi Dion. Dia pasti tahu jalur hukum apa yang bisa kita ambil.”
Nayara kembali ke gedung megah Cipta Raya Abadi. Aroma semen, kopi mahal, dan kertas dokumen langsung menusuk hidungnya. Kenangan tentang hari-hari ia dan Ardan berjuang dari nol di perusahaan itu menyeruak.
Ia berhasil masuk ke area Project Documentation dengan alasan mengambil dokumen lama yang tertinggal. Matanya bergerak cepat, mencari celah, mencari perubahan.
Ia mendekati Mira. Ya, Mira. Perempuan yang diyakini Nayara adalah penyebab keretakan rumah tangganya.
“Mira,” sapa Nayara dengan nada datar.
Mira tampak kaget. Ia sedang sibuk dengan blueprint dan laptop. “Nayara? Ada apa? Kupikir kamu… sedang istirahat di rumah.”
“Aku baik-baik saja. Aku hanya mampir mengambil file lama. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Ardan?” tanya Nayara, sengaja memancing.
Mira pura-pura prihatin. “Dia masih di apartemen. Stres berat. Aku berusaha sebisa mungkin membantunya mengurus proyek yang tertunda. Kamu tahu, proyek Jembatan Seruni itu sangat krusial. Dia harusnya fokus pada proyek itu, tapi kondisinya… ya ga terlalu memungkinkan.”
Nayara mencatat: Jembatan Seruni. Itu adalah proyek pemerintah bernilai triliunan rupiah yang baru saja dimenangkan Cipta Raya Abadi enam bulan lalu, yang otomatis menjadi proyek terbesar yang pernah ditangani Ardan.
“Proyek Seruni?” Nayara pura-pura bingung.
“Bukankah itu proyek yang melibatkan banyak lahan sengketa di pinggir sungai? Bukankah ada masalah dengan pengadaan material beberapa minggu lalu?”
Mira menatap Nayara tajam. Nayara bisa merasakan Mira waspada.
“Tidak ada masalah, Nayara. Itu sudah diurus. Ardan sendiri yang menanganinya. Sekarang, lebih baik kamu pulang. Jangan ganggu dia dulu. Biarkan dia tenang.”
“Tentu,” Nayara tersenyum tipis. “Terima kasih atas informasinya.”
Nayara tahu Mira berbohong. Masalah material dan lahan sengketa adalah hot issue di internal beberapa minggu lalu. Kenapa Mira menutupinya?
.
.
.
Nayara memutuskan untuk pergi ke lokasi proyek Jembatan Seruni. Ia menyewa taksi online, meminta sopir menunggu sebentar.
Lokasi proyek itu jauh, di kawasan pinggiran yang masih banyak sawah dan sungai berlumpur.
Tiba di sana, ia melihat pemandangan khas proyek konstruksi: truk-truk besar, tumpukan besi beton, alat berat, dan bau solar yang kuat.
Di pos keamanan, Nayara bertemu dengan seorang mandor lapangan yang ia kenal baik, Pak Udin.
“Pak Udin! Apa kabar?”
Pak Udin kaget melihat Nayara. “Mbak Nayara? Ya ampun, ke sini sama siapa? Mau lihat Pak Ardan?”
“Saya sendiri, Pak. Ardan sedang sakit. Saya disuruh ambil laporan harian progres. Bagaimana di sini, Pak? Apakah semuanya lancar?”
Pak Udin menarik Nayara menjauh dari kerumunan pekerja. Wajahnya terlihat lelah dan khawatir.
“Nggak lancar, Mbak. Sama sekali nggak lancar.” Pak Udin berbisik. “Kami sudah seminggu nunggu kiriman besi H-Beam khusus. Kontraknya harusnya sudah datang dari pemasok utama, PT. Rajawali Baja, sejak dua minggu lalu. Tapi barangnya belum ada. Proyek ini mandek, Mbak.”
“Rajawali Baja?” Nayara ingat. Itu adalah perusahaan supplier langganan yang sudah bekerja sama dengan Cipta Raya Abadi selama bertahun-tahun. “Kenapa bisa telat? Ardan sudah bayar, kan?”
Pak Udin menggaruk kepalanya. “Itu dia masalahnya, Mbak. Menurut bendahara proyek, pembayaran ke Rajawali Baja sudah dilunasi sebulan lalu. Totalnya…Rp.12.000.000.000. Besar sekali, Mbak. Tapi pihak Rajawali Baja bilang, mereka nggak pernah menerima transfer dari Cipta Raya Abadi.”
Nayara tersentak. Dua belas miliar rupiah hilang?
Bersambung....