Kirana Aulia, seorang asisten junior yang melarikan diri dari tekanan ibu tirinya yang kejam, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit, ia hamil setelah insiden satu malam dengan CEO tempatnya bekerja, Arjuna Mahesa.
Sementara Kirana berjuang menghadapi kehamilan sendirian, Arjuna sedang didesak keras oleh orang tuanya untuk segera menikah. Untuk mengatasi masalahnya, Arjuna menawarkan Kirana pernikahan kontrak selama dua tahun.
Kirana awalnya menolak mentah-mentah demi melindungi dirinya dan bayinya dari sandiwara. Penolakannya memicu amarah Arjuna, yang kemudian memindahkannya ke kantor pusat sebagai Asisten Pribadi di bawah pengawasan ketat, sambil memberikan tekanan kerja yang luar biasa.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!
IG : @Lala_Syalala13
FB : @Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
JADWAL UPLOAD BAB:
• 06.00 wib
• 09.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKSP BAB 2_Senja di Balik Layar
Di belahan kota yang berbeda, jauh dari lantai marmer dan panorama mewah yang dinikmati Arjuna Mahesa, Kirana Aulia sedang berdiri di halte bus yang ramai. Kemeja putihnya yang sedikit lusuh karena sering dicuci masih terlihat rapi, mencerminkan usahanya untuk selalu tampil profesional meski gajinya pas-pasan. Ia baru saja menyelesaikan lembur panjang di kantor, mengurus data inventaris promosi Departemen Marketing yang berantakan, warisan dari staf lama.
Kirana, 25 tahun, memiliki mata yang cerah dan memancarkan semangat yang gigih, kontras dengan wajahnya yang sering menunjukkan kelelahan. Sebagai Asisten Marketing Junior di PT. Mahardika Jaya Nusantara (MJN), ia adalah salah satu "gigi kecil" yang bekerja keras agar mesin raksasa perusahaan tetap berputar.
Ia membuka ponselnya, melihat pesan dari ibunya. Bukan pesan kasih sayang, melainkan tuntutan.
Mama Tiri (Pukul 19:30): Kirana, jangan lupa beli beras 5 kilo. Dan belikan rokok buat adikmu yang di Indomaret. Kamu pulang jangan kemaleman, cepat siapkan makan malam. Jangan sampai saya yang masak.
Napas Kirana tercekat. Setiap kali membaca pesan dari Wulan, ibu tirinya, seolah ada beban batu yang menghimpit dadanya. Sejak ayahnya meninggal tiga tahun lalu, meninggalkan warisan rumah kecil dan utang ringan, Wulan yang tadinya ramah berubah menjadi parasit yang kejam. Semua gaji Kirana dipotong habis-habisan untuk kebutuhan rumah tangga dan 'uang jajan' Adit, adik tirinya, yang malas dan hanya bisa menghabiskan uang.
Ayah Kirana, seorang pekerja keras yang mencintai putrinya lebih dari apapun, telah meninggalkan pesan terakhir: "Jadilah perempuan yang kuat, Nak. Jangan pernah biarkan kesulitan merenggut senyum dan impianmu." Kirana memegang teguh janji itu, menjadikannya mantra harian.
Bus kota tiba. Kirana harus berdiri karena padatnya penumpang. Selama perjalanan, ia mencoba mengalihkan pikirannya dari situasi di rumah dengan memikirkan pekerjaan. Hari ini, ia mendengar rumor besar tentang pengangkatan CEO baru, Arjuna Mahesa, putra sang pendiri. Semua orang di kantor membicarakannya.
"Katanya sih dia dingin banget, kayak kulkas dua pintu," bisik rekan kerjanya di kantor tadi. "Tapi kerjanya gila. Bakal ada PHK besar-besaran, deh."
Kirana merasakan sedikit kecemasan. Ia membutuhkan pekerjaan ini. Ini satu-satunya jalan keluar dari cengkeraman ibu tirinya. Ia bertekad untuk menjadi karyawan yang tidak tersentuh oleh perombakan apa pun. Ia harus menjadi yang terbaik.
Setibanya di rumah petak yang terletak di gang sempit, Kirana sudah bisa mencium aroma ketidaknyamanan. Begitu ia membuka pintu, tatapan tajam Wulan langsung menyambutnya. Wulan sedang duduk di sofa ruang tamu yang kainnya sudah robek, menonton sinetron dengan volume keras.
"Kenapa baru pulang jam segini?" hardik Wulan, tanpa mengalihkan pandangan dari televisi. "Kamu pikir saya pembantu, menunggu kamu untuk memasak?"
"Maaf, Ma. Tadi ada lembur mendadak di kantor," jawab Kirana pelan, meletakkan belanjaan di meja.
"Lembur? Atau sengaja cari alasan biar bisa keluyuran? Dasar perempuan murahan!" sembur Wulan, menggunakan kata-kata tajam yang sudah menjadi makanan sehari-hari Kirana.
Kirana menarik napas dalam. "Saya kerja, Ma. Ini gajinya halal. Besok lusa akan saya transfer untuk biaya bulanan."
Wulan langsung berdiri, langkahnya cepat dan mengancam. "Jangan banyak alasan! Mana uang rokok Adit? Kenapa kamu tidak langsung memberinya? Jangan buat anak saya menunggu!"
"Dia bisa mengambilnya sendiri di saku saya, Ma. Saya sangat lelah," kata Kirana, mencoba menghindari konflik.
"Lelah? Kamu pikir saya tidak lelah mengurus rumah ini? Kamu harusnya berterima kasih sudah diizinkan tinggal di sini!" Wulan mulai mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. "Percuma Bapakmu kerja keras, akhirnya mati duluan, meninggalkan beban untuk saya."
Kata-kata tentang ayahnya selalu menjadi titik lemah Kirana. Air matanya mulai menggenang, namun ia menahannya sekuat tenaga. Ia tidak boleh terlihat lemah di depan Wulan.
"Tolong, Ma. Jangan bawa-bawa Ayah," pinta Kirana, suaranya bergetar.
Wulan, yang melihat keteguhan Kirana, merasa semakin kesal. Ia mendekat dan mendorong bahu Kirana dengan keras.
"Dengar, ya! Kamu itu hanya anak tiri yang tidak tahu diri! Selama kamu tinggal di sini, kamu harus patuh pada semua aturanku! Sekarang, cepat masak! Saya sudah lapar!"
Kirana terhuyung, tapi berhasil menjaga keseimbangannya. Ia bisa saja membalas, ia bisa saja melawan, tetapi ia tahu itu hanya akan memperburuk keadaan. Satu-satunya tempat berlindung baginya adalah pekerjaannya.
"Baik, Ma. Saya akan segera masak," jawab Kirana, memilih mundur dan menuju dapur.
Sambil memotong sayuran di dapur, Kirana membiarkan air mata mengalir diam-diam. Kenapa hidupnya terasa begitu berat? Ia sudah bekerja 10 jam sehari, namun di rumah, ia tetap diperlakukan seperti pelayan, tanpa dihargai. Impiannya untuk melanjutkan kuliah S2 dan hidup mandiri terasa semakin jauh.
Ia teringat Haris, tunangannya, yang baru dua bulan lalu membatalkan pertunangan karena tidak tahan dengan tuntutan finansial Wulan dan kehidupan Kirana yang serba sulit. Haris meninggalkannya dengan pesan, "Aku tidak bisa hidup dengan beban keluarga seperti itu, Kirana. Kamu terlalu kuat, tapi aku terlalu lemah."
Malam ini, semua cobaan itu terasa menumpuk. Kelelahan fisik dan emosional memuncak menjadi rasa sakit yang menusuk. Setelah selesai memasak dan menyiapkan makan malam, Kirana makan dengan tergesa-gesa di sudut meja. Wulan dan Adit makan di ruang tengah, mengabaikannya.
Setelah mencuci piring, Kirana memutuskan ia tidak tahan lagi. Ia harus keluar. Ia harus bernapas di udara yang tidak dipenuhi kebencian.
Ia meraih dompet tipisnya dan mengenakan jaket.
"Mau ke mana lagi kamu, hah?" seru Wulan dari ruang tengah.
"Saya butuh udara segar, Ma. Saya akan kembali sebelum jam sebelas," jawab Kirana tanpa menoleh, langsung membuka pintu dan melangkah keluar.
Ia berjalan tanpa tujuan. Kakinya membawanya menuju jalan raya yang lebih besar, menuju gemerlap lampu kota yang menjanjikan anonimitas dan kebebasan sesaat. Ia ingin menghilangkan rasa sakit yang menggerogoti.
Ia sampai di sebuah bar kecil di kawasan hiburan yang tidak terlalu mewah, tapi cukup tersembunyi. Ia tidak pernah minum, tapi malam ini, ia merasa butuh pelarian. Ia duduk di sudut gelap, memesan segelas cocktail yang paling ringan.
Minuman pertamanya terasa aneh, namun segera memberikan kehangatan yang meredakan ketegangan di pundaknya.
"Satu lagi," pintanya pada bartender.
Di sudut bar, Kirana melihat bayangan dirinya di cermin, seorang wanita muda yang seharusnya penuh harapan, namun terbebani oleh kenyataan. Ia minum lagi, mencoba menenggelamkan semua rasa sakit, semua tuntutan, dan semua ketakutan akan CEO baru yang mungkin memecatnya. Malam ini, ia tidak ingin menjadi Kirana Aulia yang kuat, yang harus selalu berjuang. Ia hanya ingin menjadi Kirana yang bebas untuk sesaat.
Tak disadari, matanya mulai berkunang-kunang, dan kesadarannya perlahan-lahan meredup. Ia tidak tahu sudah berapa banyak minuman yang ia habiskan. Ia merasa lelah, sangat lelah, dan ia hanya ingin tidur. Ia tidak menyadari bahwa ia baru saja menarik perhatian seseorang yang duduk di meja VIP, seseorang yang sedang mencoba melarikan diri dari kesibukan kantor setelah membatalkan makan malam dengan para vice president.
Seseorang yang memiliki aura dingin dan berkuasa. Arjuna Mahesa.
Arjuna Mahesa, yang seharusnya tenggelam dalam laporan keuangan, kini sedang menatap Kirana Aulia yang hampir roboh di sudut bar. Arjuna yang datang ke bar itu hanya karena janji dengan Bayu untuk 'mencoba bersantai' setelah seharian menjabat. Ia datang dengan wajah kaku dan niat untuk minum satu gelas whiskey dan pulang. Namun, pemandangan gadis yang tampak sangat tertekan di sudut itu mengusik sesuatu dalam dirinya yang dingin.
Kirana, dalam kondisi setengah sadar, merasakan ada bayangan tinggi mendekat. Ia mendongak, matanya yang kabur hanya mampu menangkap siluet pria berjas mahal yang tampak luar biasa tampan, namun raut wajahnya sangat dingin.
"Anda butuh bantuan?" tanya suara berat itu.
"Tolong... saya lelah..." bisik Kirana, suaranya menghilang di antara alunan musik.
Arjuna, yang jarang menunjukkan empati, merasakan dorongan aneh untuk membantu. Mungkin karena kelelahan setelah hari yang panjang, atau mungkin karena ekspresi putus asa di wajah Kirana mengingatkannya pada sesuatu yang lama ia lupakan: kerapuhan manusia.
Ia mengulurkan tangan.
Kirana, tanpa berpikir, tanpa menyadari siapa pria di hadapannya, menggenggam tangan itu erat. Genggaman yang terasa kuat dan hangat, seolah-olah tangan itu adalah satu-satunya jangkar yang tersisa di tengah badai kehidupannya.
"Saya hanya ingin... melupakan semuanya," ucap Kirana, sebelum ia benar-benar kehilangan kesadaran, dan tubuhnya ambruk ke pelukan Arjuna.
Arjuna Mahesa, Sang CEO baru yang dikenal dingin dan terukur, kini memeluk seorang wanita asing yang mabuk. Wanita yang ia sama sekali tidak tahu adalah salah satu karyawannya sendiri, seorang Asisten Marketing Junior yang baru saja ia perintahkan untuk diselidiki performanya. Malam ini, ia tidak akan kembali ke rumahnya yang mewah, dan keputusannya untuk 'bersantai' hanya satu jam itu akan mengubah seluruh rencana hidupnya.
.
.
Cerita Belum Selesai.....
trs knp di bab berikutnya seolah² mama ny gk tau klw pernikahan kontrak sehingga arjuna hrs sandiwara.
tapi ya ga dosa jg sih kan halal
lope lope Rin hatimu lura biasa seperti itu terus biar ga tersakiti