Keyz berpetualang di Dunia yang sangat aneh. penuh monster dan iblis. bahaya selalu datang menghampirinya. apakah dia akan bisa bertahan?
Ini adalah remake dari novel yang berjudul sama. dengan penambahan alur cerita.
selamat membaca
kritik dan saran di tunggu ya. 😀
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bencana Besar.
Epilog.
Bumi bergetar seperti terbangun dari tidur panjangnya. Tanah merekah, menelan apa pun yang berdiri di atasnya. Retakan itu menjalar seperti urat nadi raksasa, menyebar ke segala arah, menembus kota, gunung, hingga dasar samudra.
Langit berubah hitam kelam seolah siang dan malam tak lagi memiliki batas. Matahari tertutup oleh awan tebal yang menggulung bagai dinding asap, padat dan menekan, hingga tak satu berkas cahaya pun bisa lolos menembusnya. Dunia menjadi dingin, namun di bawah tanah, ada panas api membara tanpa henti.
Guntur berteriak dari balik awan. Petir menari di cakrawala, memecah langit menjadi garis-garis cahaya menyilaukan, lalu lenyap. Angin menderu, menjerit seperti ribuan jiwa yang kehilangan arah, menghempaskan pepohonan, bangunan, dan tubuh-tubuh kecil yang tak sempat berdaya.
Gunung-gunung meletus bersahutan. Memuntahkan lahar mengalir deras, membakar lembah dan hutan, melumat rumah, menelan kota, hingga tak ada lagi yang bisa disebut dengan “Rumah.” Batu pijar terlempar ke langit, jatuh seperti hujan api, menghancurkan apa pun yang disentuhnya. Dunia menyala, dan langit menangis ber-airmata kan abu.
Laut pun meluap menggulung, menderu, dan menyapu daratan dengan kekuatan yang tak bisa diungkapkan. Pulau-pulau tenggelam dalam sekejap tak bersisa.
Suara makhluk hidup memudar satu per satu. Teriakan menjadi bisikan, bisikan menjadi keheningan. Hanya suara alam yang tersisa — angin, petir, gemuruh bumi, dan gelegar laut yang saling bertarung di bawah langit gelap. Tidak ada siang. Tidak ada malam. Hanya keabadian dalam kehancuran.
Waktu terasa berhenti. Langit yang seharusnya memberi arah kini hanya menjadi langit tanpa bentuk. Daratan tenggelam tak menyisahkan apapun.
Segalanya telah berakhir. Semua kehidupan hutan, sungai, kota, manusia menyatu menjadi abu.
Itulah awal dari sebuah akhir—dan akhir dari awal sebuah waktu.
Nex
Tahun 0 — Dunia Baru
Tahun 0 dihitung sejak surutnya banjir yang menenggelamkan seluruh dunia. Dari samudra yang menelan benua, hanya segelintir manusia yang tersisa mereka yang kebetulan menaiki sebuah kapal pesiar raksasa, sebesar kota kecil, yang kini menjadi satu-satunya tempat bernaung di hamparan dunia yang telah sunyi.
Ini bukan kisah tentang Noah, bukan pula kisah tentang wahyu dan mukjizat. Ini kisah tentang manusia yang tersisa, dan bagaimana mereka memulai dunia baru. Sebuah dunia yang disebut New World.
Langit yang dulu merah dan penuh asap kini jernih tanpa noda. Suara burung tidak lagi terdengar mereka telah punah bersama daratan yang menjadi sarang mereka. Hanya gemuruh ombak lembut yang beradu dengan lambung kapal, seperti detak jantung bumi yang baru saja dilahirkan kembali. Udara terasa dingin, terlalu dingin, menusuk tulang namun bersih, seolah dunia telah dicuci dari segala dosa manusia. Tidak ada asap pabrik, tidak ada deru mesin, tidak ada napas kendaraan. Segalanya telah lenyap.
Namun kebersihan itu bukanlah pertanda kebaikan. Sebaliknya, itu adalah kesunyian yang mematikan. Di atas kapal pesiar yang mengapung sendirian di tengah laut tanpa batas, kehidupan baru dimulai dengan kehancuran yang sama.
Ribuan manusia yang selamat kini saling memandang bukan sebagai sesama, melainkan sebagai ancaman. Persediaan makanan semakin menipis. Air tawar disimpan dengan pengawasan ketat. Satu potong roti kini lebih berharga daripada hidup seseorang. Maka lahirlah perang pertama di dunia baru—The First War of New World.
Mereka terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama percaya bahwa hanya yang kuat yang layak bertahan hidup. Mereka menegakkan hukum rimba, menjadikan kekuatan sebagai ukuran kebenaran. Sementara kelompok kedua memperjuangkan kesetaraan bagi mereka, semua manusia setara di hadapan dunia yang telah diulang. Tidak ada kasta, tidak ada diskriminasi.
Tapi dunia tidak berpihak pada kebaikan. Dalam dunia yang baru lahir dari kehancuran, kekuatan selalu menang.
Pertempuran di geladak kapal berlangsung berhari-hari. Suara tembakan bercampur dengan jeritan. Darah mengalir di antara lantai baja yang dingin, menciptakan noda baru bagi dunia yang telah kembali perawan.
Kemenangan kelompok pertama menciptakan tatanan baru. Mereka yang lemah dijadikan budak. Siapa pun yang berbeda warna kulit dianggap tidak pantas hidup sejajar. Rantai-rantai dipasang di pergelangan tangan manusia lagi, seperti sejarah yang berputar kembali.
Dan di antara semua itu, perempuan kembali kehilangan tempatnya. Dalam dunia yang baru, mereka tidak lagi dipanggil dengan nama. Mereka disebut milik, seperti sebuah benda mati. Dijadikan pemuas nafsu, dijadikan wadah untuk melahirkan keturunan bagi para pemenang. Tidak ada cinta, tidak ada kemanusiaan—hanya naluri hewan yang membungkus wajah manusia.
Bumi yang baru saja kembali perawan kini kembali ternoda. Darah mengalir lagi di atas tanah yang belum sempat tumbuh hijau. Langit yang jernih kembali menghitam, bukan oleh asap, tapi oleh kebusukan hati manusia yang sama seperti dahulu.
Dan begitulah New World dimulai—bukan dengan doa dan harapan, melainkan dengan perang, darah, dan dosa yang kembali terulang.
Nex
Tahun ke-10 di Dunia Baru
Sepuluh tahun telah berlalu sejak surutnya banjir besar yang menenggelamkan dunia lama. Kini, peradaban perlahan dibangun kembali—bukan atas dasar kemanusiaan, melainkan atas darah dan perbudakan. Mereka yang kalah dalam perang pertama dipaksa tunduk. Mereka dijadikan budak, diperintahkan memperbanyak keturunan, agar jumlah mereka bertambah, agar tenaga kerja terus tersedia untuk memenuhi ambisi para penguasa baru.
Clay, Si Mata Satu. Menunjuk dirinya sebagai pemimpin.
Merasa dialah penguasa mutlak dunia baru. Sang tirani yang memerintah dengan tangan besi dan hati batu. Luka di wajahnya, bekas dari perang pertama dunia baru, menjadikannya simbol kekuasaan sekaligus ketakutan. Satu matanya hilang akibat duel dengan rival lamanya, namun dari kehilangan itulah lahir nama yang membuat setiap budak menunduk bila mendengarnya. Clay, Si Mata Satu.
Rivalnya kalah, bukan karena lemah, melainkan karena Clay memiliki lebih banyak senjata modern.
Para budak hidup tanpa cahaya. Siang mereka dipaksa membangun gedung-gedung, monumen, dan istana seperti yang diinginkan Clay. Malam mereka dilemparkan ke gua-gua gelap, berdesakan tanpa udara cukup, menunggu pagi untuk kembali bekerja. Makanan yang diberikan hanya secuil, sekadar agar tubuh mereka tetap bisa berdiri. Mereka bukan manusia di mata Clay mereka hanyalah sebuah alat, hanya tulang dan daging yang harus taat.
Kerajaan Clay tumbuh seperti jamur di atas bangkai dunia lama. Dari reruntuhan kapal pesiar yang kini kandas di dataran baru, berdiri istana logam dengan bendera berwarna kelam, melambangkan kekuasaan yang tidak mengenal belas kasihan.
Nex
Tahun ke-17 di Dunia Baru
“Aku sudah bosan menjadi kanibal,” ucap Clay perlahan. Suaranya berat, dalam, namun di baliknya tersimpan kejenuhan yang tak bisa disembunyikan.
“Apakah benar-benar tidak ada tanda-tanda adanya pepohonan atau semacamnya?” Clay menatap Ray, jenderal utamanya, dengan mata satu yang berkilat di bawah cahaya api.
“Entahlah,” jawab Ray, suaranya serak karena lelah. “Sekarang kita benar-benar hidup dalam kondisi yang sulit. Para budak juga butuh makan. Kalau mereka mati kelaparan, lama-lama kita juga akan kehilangan tenaga kerja. Dan itu akan menyusahkan kita.”
Clay menarik napas panjang. “Apakah tidak ada solusi?” tanyanya dengan nada marah bercampur gelisah.
Ray menatapnya lurus. “Seharusnya yang mencari solusi adalah tugasmu, Clay. Kita mengikutimu karena dulu aku percaya bahwa ideologimu adalah jalan yang benar.”
Terra, jenderal kedua sekaligus satu-satunya wanita yang memiliki hak istimewa di dunia baru, ikut angkat bicara. "Benar apa yang Ray katakan."
“Jadi maksudmu ideologi Kay lebih benar? Sekarang kalian menyalahkan aku?” Clay mendesis, menatap mereka dengan pandangan membunuh.
Terra berdiri tegak, tanpa rasa takut. “Kuat saja tidak cukup, Clay. Kay adalah adikmu sendiri, dan kamu tidak pernah mau mendengarkannya. Dia mantan presiden dunia lama. Dia mengerti bagaimana membangun tatanan. Sedangkan kamu?”
“Oh, sekarang kalian menyalahkan aku? Sekarang kalian berani melawan aku?” suara Clay meninggi, menggema di ruang besar istananya yang terbuat dari baja dingin.
Ray menatapnya tajam. “Sudah kubilang, kuat saja tidak cukup. Kamu harus punya jiwa pemimpin. Tapi kamu… kamu hanya memikirkan egomu sendiri. Jujur, aku kecewa padamu.”
Kata-kata itu menghujam Clay seperti pisau. Wajahnya memerah. Tangannya mengepal, tubuhnya bergetar menahan amarah. Terra menatapnya dengan pandangan dingin—pandangan seorang istri yang sudah kehilangan rasa cinta kepada suaminya. Meski memiliki hak istimewa di dunia baru, Terra tak pernah mau duduk di sisi Clay, sang raja tirani.
“Brengsek kalian!” Clay berteriak, membanting piala logam di tangannya. “Aku sudah berbaik hati kepada kalian! Kalian pengkhianat! Keluar dari kerajaanku sebelum aku memerintahkan pasukanku membunuh kalian! Kalian sudah tidak dibutuhkan lagi!”
Ruangan itu hening sejenak. Hanya suara napas berat Clay yang terdengar, mengisi udara seperti dentum guntur yang tertahan.
Di luar, langit dunia baru berwarna kelabu. Angin dingin menghempas istana baja itu. Dan di dalamnya, tirani yang dibangun atas kekuatan kini mulai retak oleh keserakahan dan kebodohan penguasanya sendiri.
Nex
Sementara itu, di gua para budak.
Kay hidup bersama istrinya, Reita, dan tiga anak mereka di antara kegelapan dan bau lembap gua yang menjadi tempat para budak berteduh.
Reita, istrinya memiliki wajah yang lembut, tapi matanya menyimpan luka yang dalam.
Mereka memiliki tiga anak.
Anak pertama bernama Keyz, pemuda berusia lima belas tahun. Wajahnya menyerupai ayahnya, tapi matanya menyala seperti ibunya.
Anak kedua bernama Tiffany, gadis kecil berusia sepuluh tahun. Kecantikannya menurun dari Reita.
Anak ketiga bernama Tassa, gadis mungil yang baru saja lahir. Suaranya menjadi satu-satunya nyanyian kehidupan di antara dinginnya gua yang suram.
Nex
“Ingat, Keyz,” kata Kay dengan suara tenang namun tegas, menatap mata putra sulungnya yang bergetar menahan air mata. “Apa pun yang terjadi, kamu harus bisa melindungi mereka bertiga. Lindungi adik-adikmu, dan lindungi ibumu.”
“Tapi, Ayah…” Keyz menelan ludah, suaranya serak. “Kenapa Ayah tidak ikut bersama kami?”
Kay menarik napas panjang. “Clay mencariku. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku. Tapi aku yakin, jika aku tertangkap, dia akan mengincar kalian juga. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi.”
Reita menggenggam tangan suaminya erat. “Sayang, kenapa dia menginginkanmu?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Kita berdua memiliki pengetahuan tentang dunia lama,” jawab Kay lirih. “Dan aku tidak ingin pengetahuan itu jatuh ke tangan orang tamak seperti dia.”
Reita menatapnya penuh cemas. “Tapi bukankah mereka juga memiliki pengetahuan tentang dunia lama?”
Kay menggeleng. “Mereka memang pernah hidup di dunia lama, tapi mereka hanyalah segerombolan orang bodoh yang tak tahu bagaimana cara mengelola peradaban. Mereka hanya tahu bagaimana menghancurkan, tapi tidak tahu bagaimana membangun.”
Keyz menatap ayahnya penuh tekad. “Lalu bagaimana dengan yang lain, Ayah? Orang-orang seperti kita? Para budak juga berhak untuk hidup bebas.”
Kay tersenyum tipis. “Itulah sebabnya kamu harus pergi. Pergilah, lihatlah dunia luar. Mungkin masih ada manusia lain yang selamat, semoga mereka yang tidak seburuk Clay dan pasukannya. Temukan mereka. Mintalah bantuan. Lalu kembalilah ke sini, dan bebaskan yang lain.”
“Tapi… kalau ternyata tidak ada siapa pun di luar sana?” suara Keyz bergetar, hampir pecah.
“Aku yakin ada,” kata Kay dengan mantap. “Sekarang cepatlah pergi. Waktu kita tidak banyak.”
Keyz memandang ke sekeliling gua. “Bagaimana caranya kami keluar dari sini?”
Kay berjongkok, mengangkat lantai batu di bawah tempat tidur mereka. Sebuah lubang sempit tampak terbuka, gelap, dan lembab. “Ada lorong rahasia di bawah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah gulungan kecil. “Aku sudah memeriksanya. Lorong ini menuju keluar. Ini petanya. Jangan sampai salah belok. Banyak jalan bercabang di dalamnya, dan semuanya mirip. Satu langkah salah, kalian tidak akan bisa kembali.”
Reita menggenggam tangan anak-anaknya dengan air mata mengalir pelan. “Pergilah, Keyz. Bawa Tiffany dan Tassa. Lanjutkan hidup kalian. Aku percaya padamu.”
Nex
Sementara itu, di tempat lain.
Terra dan Ray melangkah cepat di koridor menuju gua para budak. Beberapa penjaga berdiri di depan pintu masuk, membawa senapan tua dari dunia lama.
Salah satu penjaga melangkah maju. “Ada keperluan apa kalian ke sini?” tanyanya curiga.
“Kami datang atas perintah Tuan Clay,” jawab Terra dengan dingin.
Penjaga kedua menatapnya dari ujung kaki hingga kepala. “Siapa kalian? Sebutkan nama dan jabatan! Dan kamu, perempuan… jangan bersikap seolah kamu punya kuasa di sini,” katanya dengan nada meremehkan.
Terra mengangkat dagunya, matanya menyala tajam. “Namaku Terra. Jenderal kedua Clay. Sipir rendahan sepertimu seharusnya tahu bagaimana cara berbicara pada atasannya.”
Ray melangkah maju setengah langkah, wajahnya keras. “Aku Ray. Apakah aku juga perlu memperkenalkan diri?”
Wajah para penjaga seketika pucat. “Ma… maaf atas kelancangan kami, Jenderal!” kata penjaga kedua tergagap. “Kami hanya menjalankan tugas. Kami harus memastikan siapa pun yang masuk ke gua para budak.”
“Bagus,” ucap Terra dingin. Ia menatap tajam, lalu membentak, “Sekarang kalian… MINGGIR!”
Kedua penjaga itu segera mundur dengan langkah kaku, wajah mereka pucat pasi seperti baru saja menatap kematian.
Beberapa saat kemudian, ketika mereka sudah jauh masuk ke dalam gua, Ray terkekeh pelan.
“Hahaha… mereka pucat sekali,” katanya.
“Seperti melihat penampakan setan,” jawab Terra sambil tersenyum miring. “Hahaha.”
Nex
Ketika Terra dan Ray akhirnya sampai di kamar tempat Kay berada, pada saat yang sama Keyz, Tiffany, Tassa, dan Reita sudah masuk ke dalam lubang rahasia yang sebelumnya diceritakan oleh Kay.
“Cepat!!” teriak Kay dengan nada panik. “Ada yang datang!”
Reita menoleh, matanya membesar karena takut. “Sayang! Kamu harus ikut juga!” jeritnya sambil menarik tangan suaminya.
“Berisik!” bentak Kay, mendorong tubuh istrinya masuk ke dalam lubang itu. “Cepat pergi! Keyz! Cepat! Bawa ibumu dan kedua adikmu! Jangan lihat ke belakang!”
Keyz menatap ayahnya sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia segera menarik tangan ibunya, lalu menggandeng Tiffany yang memeluk Tassa erat di dalam dekapannya. Mereka berlari menembus kegelapan lorong sempit itu, langkah mereka berderap cepat, bergema di dinding batu yang basah.
Udara di dalam gua terasa pengap. Suara napas mereka berpadu dengan suara gemuruh samar dari atas. Setiap langkah terasa semakin berat, tapi Keyz terus memaksa kakinya melangkah.
Lalu....
“DUM!!”
Ledakan besar mengguncang seluruh gua. Suaranya memekakkan telinga, bergema panjang, membuat batu-batu di dinding runtuh satu per satu. Getarannya begitu kuat hingga tanah di bawah mereka bergetar seperti gelombang air.
“Ayo cepat, Bu!” teriak Keyz, berlari sambil menyeret tangan Reita yang mulai tersandung oleh batu-batu kecil yang jatuh dari atas. Tiffany menangis, memeluk adiknya semakin erat, sementara debu dan serpihan batu beterbangan menutupi udara.
Kay di belakang, di kamar itu, mungkin sudah menghadapi kedatangan Terra dan Ray. Keyz tahu itu, tapi ia tidak berani menoleh. Ia hanya berlari, berlari sekuat tenaga, menembus gelap yang terasa seperti tidak berujung.
Namun ketika ia baru saja berteriak,
“Ayo cepat, Bu!”
Ledakan kedua menggema, lebih dekat kali ini.
"DUUUMM!!!"
Cahaya merah menyilaukan menembus celah gua, diikuti gelombang panas yang menyapu mereka seperti badai. Suara batu runtuh menelan teriakan mereka.
Tubuh Keyz terhempas keras ke dinding batu. Segalanya menjadi gelap seketika.
Telinganya berdenging. Udara seolah menghilang.
Dan di detik itu juga Keyz kehilangan kesadarannya.