NovelToon NovelToon
Married To Mr. Killer

Married To Mr. Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: muliyana setia reza

Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.

Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.

"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.

Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Romantisme di Ujung Pisau

Sinar matahari pagi menerobos celah tirai kamar apartemen yang tebal, jatuh tepat di wajah Intan. Gadis itu mengerang pelan, merasa silau, lalu mencoba membenamkan wajahnya kembali ke bantal yang... keras?

Tunggu. Bantalnya naik turun secara teratur. Dan bantalnya beraroma mint.

Mata Intan terbuka perlahan. Kesadarannya terkumpul dalam hitungan detik, dan seketika itu juga darahnya berdesir hebat.

Ia tidak sedang memeluk guling. Ia sedang memeluk Argantara Ramadhan.

Posisi mereka kacau balau. Guling "batas teritorial" yang semalam diletakkan Arga sudah tertendang entah ke mana—mungkin ke lantai. Kepala Intan bersandar nyaman di dada bidang suaminya, sementara satu tangannya melingkar di pinggang pria itu. Lebih parah lagi, lengan kekar Arga justru menjadi bantal bagi leher Intan, mendekapnya posesif seolah takut Intan kabur.

Intan menahan napas. Jantungnya berdegup kencang, takut suaranya membangunkan "singa" yang sedang tertidur ini. Ia mendongak sedikit. Wajah Arga saat tidur terlihat sangat berbeda. Tidak ada kerutan di kening, tidak ada kacamata yang membuatnya terlihat judes. Dia terlihat... damai. Dan tampan.

Sadar, Intan! Ini dosen killer! batinnya menjerit.

Perlahan, Intan mencoba melepaskan diri. Namun, gerakan kecil itu justru membangunkan Arga. Pria itu membuka matanya.

Pandangan mereka bertemu dalam jarak kurang dari sepuluh sentimeter.

Satu detik. Dua detik.

"AAAA!" Intan memekik kaget, reflek mendorong dada Arga sekuat tenaga.

Bruk!

Arga yang belum siap, terguling ke pinggir dan nyaris jatuh dari kasur jika tangannya tidak sigap menahan tepian tempat tidur.

"Kamu gila ya?!" bentak Arga dengan suara serak khas bangun tidur, matanya melotot. "Pagi-pagi sudah KDRT!"

"Mas yang gila! Ngapain peluk-peluk aku?!" Intan menarik selimut sampai menutupi lehernya, wajahnya merah padam. "Gulingnya mana? Mas buang ya biar bisa modus?!"

"Jangan geer!" Arga bangun, mengusap wajahnya kasar. "Kamu yang tidurnya lasak kayak gasing. Saya sampai sesak napas ditindih kamu semalaman."

"Bohong! Jelas-jelas tangan Mas yang ngerangkul aku!"

"Itu refleks!"

"Refleks kok keenakan!"

Perdebatan pagi itu terhenti ketika terdengar ketukan di pintu kamar.

Tok. Tok. Tok.

"Arga? Intan? Sudah bangun, Sayang?" Suara lembut Bu Ratih terdengar dari luar. "Mama sudah buatin nasi uduk instan nih. Ayo sarapan bareng sebelum Mama berangkat."

Seketika, Arga dan Intan saling tatap. Gencatan senjata dimulai.

"Iya, Ma! Ini lagi... lagi stretching bareng!" sahut Arga panik. Ia menatap Intan tajam sambil berbisik. "Cepat mandi. Pakai baju yang rapi. Jangan bikin malu."

"Mas duluan sana," tolak Intan.

"Saya suami, saya duluan."

"Saya cewek, butuh waktu lama!" Intan langsung melompat dari kasur dan berlari ke kamar mandi, meninggalkan Arga yang mengumpat pelan sambil membereskan guling yang tergeletak mengenaskan di lantai.

Tiga puluh menit kemudian, mereka duduk di meja makan.

Intan mengenakan kemeja kuliah yang rapi, sementara Arga sudah siap dengan setelan kerjanya. Di hadapan mereka, Bu Ratih tersenyum cerah sambil menuangkan teh hangat.

"Nah, gitu dong. Seger lihatnya kalau bangun pagi," puji Bu Ratih. Matanya kemudian menyipit melihat leher kemeja Arga. "Ga, itu dasi kamu miring sebelah. Kok nggak dibenerin sama istri?"

Intan tersedak rotinya. "Uhuk!"

"Istrinya lagi makan, Ma. Kasihan," elak Arga.

"Ih, manja," ledek Bu Ratih. "Ayo Intan, pasangin dasi suaminya biar rapi. Istri sholehah itu harus melayani suami dari hal kecil."

Intan melirik Arga. Pria itu membuang muka, tapi lehernya terlihat kaku. Dengan enggan, Intan meletakkan rotinya, mengelap tangan dengan tisu, lalu berdiri mendekati kursi Arga.

Intan berdiri di antara dua kaki Arga yang terbuka. Posisi ini terlalu intim untuk dua orang yang saling membenci. Intan bisa mencium aroma parfum Arga yang segar. Tangan gadis itu terulur, menyentuh kerah kemeja Arga dan mulai menyimpulkan dasinya.

"Jangan kenceng-kenceng," bisik Arga sangat pelan, nyaris tak terdengar, bibirnya tidak bergerak. "Kamu mau nyekek saya?"

"Diem atau aku tusuk pakai jarum pentul," balas Intan sambil tersenyum manis ke arah Bu Ratih yang sedang menonton mereka dengan tatapan memuja bak nonton drakor.

"Senyumnya yang ikhlas dong, Mas," bisik Intan lagi sambil menarik simpul dasi itu dengan sentakan kecil yang membuat Arga terbatuk pelan. "Nah, udah rapi. Ganteng banget suamiku."

Kata "suamiku" diucapkan dengan nada sarkasme tingkat tinggi, tapi di telinga Bu Ratih terdengar sangat romantis.

"Duh, so sweet banget sih kalian," Bu Ratih menopang dagu. "Mama jadi inget masa muda sama Papa. Oh iya, Ga. Suapin Intan dong. Masa istrinya udah masangin dasi, nggak dapet reward?"

Mata Arga membelalak. "Ma, Intan punya tangan sendiri."

"Tangan buat makan, kalau suapan itu buat kasih sayang," potong Bu Ratih. "Ayo, mumpung Mama di sini. Mama mau lihat anak Mama yang kaku ini bisa romantis nggak."

Arga menghela napas panjang, pasrah. Ia mengambil sepotong roti bakar yang sudah diolesi selai cokelat. Ia menyodorkannya ke mulut Intan.

"Buka mulut," perintah Arga kaku.

Intan menatap roti itu ragu. Jangan-jangan ada racunnya. Tapi melihat tatapan penuh harap Bu Ratih, Intan membuka mulutnya.

Arga menyuapkan roti itu. Sedikit terlalu kasar, sampai sudut bibir Intan terkena selai.

"Pelan-pelan dong!" protes Intan sambil mengunyah.

"Maaf," ucap Arga datar.

Tiba-tiba, tangan Arga terulur lagi. Kali ini bukan membawa roti. Ibu jarinya bergerak mengusap sudut bibir Intan yang belepotan selai cokelat. Gerakan itu begitu lembut, begitu natural, dan terjadi begitu cepat.

Intan terpaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia menatap mata Arga. Untuk sedetik, tidak ada kilatan permusuhan di sana. Hanya tatapan... dalam.

Arga sendiri tampak terkejut dengan refleks tangannya. Ia buru-buru menarik tangannya dan menjilat sisa selai di jempolnya tanpa sadar.

"Uhuk! Ehem!" Bu Ratih berdeham keras, membuyarkan momen ajaib itu. "Waduh, Mama jadi nyamuk nih. Udah ah, Mama mau berangkat arisan. Supir Mama udah jemput di lobi."

Arga dan Intan langsung salah tingkah. Wajah Intan memerah padam, sementara Arga pura-pura sibuk minum teh sampai habis setengah gelas.

Mereka mengantar Bu Ratih sampai ke depan pintu unit.

"Makasih ya tumpangannya," ucap Bu Ratih sambil memeluk Intan dan Arga bergantian. "Kalian baik-baik ya. Jangan kebanyakan berantem. Ingat, pernikahan itu ibadah terpanjang."

"Iya, Ma," jawab Arga patuh.

Bu Ratih sudah melangkah ke lift, tapi tiba-tiba berbalik lagi. "Eh, ada yang lupa!"

"Apa, Ma? Dompet?" tanya Arga.

"Bukan. Kiss bye buat istri kamu mana?" tagih Bu Ratih sambil berkacak pinggang. "Masa suami berangkat kerja nggak cium istrinya?"

Arga mematung. Intan ingin menghilang ditelan bumi.

"Ma, ini di lorong. Ada CCTV," elak Arga.

"Halah, alasan. Cium kening aja kok repot. Cepetan, Mama nggak akan masuk lift kalau belum lihat," ancam Bu Ratih.

Arga menatap Intan. Tatapannya seolah berkata: Maaf, ini darurat.

Arga melangkah maju, memangkas jarak di antara mereka. Ia memegang kedua bahu Intan. Tubuh gadis itu menegang. Arga menunduk perlahan. Wajahnya semakin dekat. Hembusan napas hangatnya menerpa wajah Intan.

Intan memejamkan mata erat-erat, tangannya mengepal di sisi tubuh.

Cup.

Bibir Arga mendarat di kening Intan.

Bukan kecupan sekilas. Arga menahannya selama tiga detik. Bibirnya terasa hangat dan lembut di kulit kening Intan yang dingin. Anehnya, tidak ada rasa jijik. Justru ada sengatan listrik aneh yang merambat dari kening ke seluruh tubuh Intan, membuat lututnya lemas.

"Dah, Sayang. Hati-hati di kampus," bisik Arga tepat di depan wajah Intan sebelum melepaskannya. Suaranya rendah dan serak, membuat bulu kuduk Intan meremang.

"Uuuu, gemes banget!" pekik Bu Ratih senang. "Ya udah, Mama pergi ya! Bye!"

Pintu lift tertutup, membawa pergi Bu Ratih dan segala tuntutan romantisnya.

Keheningan menyergap lorong apartemen itu seketika.

Intan masih berdiri mematung, tangannya menyentuh kening bekas ciuman Arga. Arga berdiri membelakanginya, menatap pintu lift yang sudah tertutup.

Perlahan, Arga berbalik. Wajahnya kembali datar, topeng dosennya terpasang lagi. Tapi telinganya merah padam.

"Jangan geer," ucap Arga memecah keheningan, suaranya kembali ketus. "Itu cuma akting. Tuntutan skenario."

Intan tersadar dari lamunannya. Ia menurunkan tangannya cepat-cepat, gengsinya kembali naik ke permukaan.

"Siapa yang geer?" balas Intan tak kalah sengit. "Akting Mas kaku banget. Kayak kanebo kering. Untung Mama percaya."

"Setidaknya saya berusaha," Arga merapikan jasnya salah tingkah. "Sana ambil tas kamu. Kita berangkat sekarang. Jangan sampai telat, saya nggak mau nunggu."

"Saya naik ojek aja!" tolak Intan.

"Nggak usah bantah. Kita searah," potong Arga, lalu berjalan cepat menuju lift tanpa menunggu Intan.

Intan menatap punggung tegap itu dengan perasaan campur aduk. Ia kesal setengah mati pada pria itu. Tapi saat mengingat sentuhan ibu jari Arga di bibirnya dan kecupan hangat di keningnya tadi, jantungnya berkhianat. Ia masih berdebar kencang.

"Dasar dosen gila," gumam Intan sambil memegang dadanya sendiri. "Jangan baper, Intan. Jangan baper. Itu cuma sandiwara."

Namun, jauh di lubuk hatinya, Intan tahu bahwa sandiwara pagi ini terasa terlalu nyata untuk diabaikan begitu saja. Dan itu membuatnya takut. Takut jatuh cinta pada suaminya sendiri.

1
Miramira Kalapung
Suka banget sama cerita nya Thor, semoga cepat update yah🥰🥰
sarinah najwa
miris sekali hudupnu pak dosen 😅silahkan menikmati buah dari perbuatAnmu ..
Rian Moontero
lanjuuuttt👍👍😍
Sri Wahyuni
Luar biasa
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤​᭄
sukurin Arga....
makan tuh gengsi Segede gaban😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!