JURUS TERAKHIR TUANKU/ TUANGKU
Ribuan tahun lamanya, daratan Xianwu mengenal satu hukum: kekuasaan dipegang oleh pemilik teknik bela diri pamungkas.
Tuanku —seorang pewaris klan kuno yang tersisa—telah hidup dalam bayang-bayang kehancuran. Ia tidak memiliki bakat kultivasi, tubuhnya lemah, dan nyaris menjadi sampah di mata dunia persilatan.
Namun, saat desakan musuh mencapai puncaknya, sebuah gulungan usang terbuka di hadapannya. Gulungan itu hanya berisi satu teknik, satu gerakan mematikan yang diwariskan dari para pendahulu: "Jurus Terakhir Tuanku".
Jurus ini bukan tentang kekuatan, melainkan tentang pengorbanan, rahasia alam semesta, dan harga yang harus dibayar untuk menjadi yang terkuat.
Mampukah Tuanku, dengan satu jurus misterius itu, mengubah takdirnya, membalaskan dendam klannya, dan berdiri sebagai Tuanku yang baru di bawah langit Xianwu?
Ikuti kisah tentang warisan terlarang, kehormatan yang direbut kembali, dan satu jurus yang mampu menghancurkan seluruh dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
...بسم الله الرحمن الرحيم...
...السلام عليكم ورحمة الله وبركاته...
NOVEL: JURUS TERAKHIR TUANKU
BAB 1: DEBU KLAN KUNO DAN KUTUKAN JURUS PAMUNGKAS
Langit di atas Lembah Siluman tidak pernah sebiru yang digambarkan dalam syair-syair lama. Langitnya selalu berwarna kelabu, berat oleh debu pertempuran dan hawa dingin dari batu-batu nisan yang tak terhitung jumlahnya. Di sana, di antara reruntuhan Pilar Kemuliaan yang kini hanya tersisa sepotong, duduklah Pangeran Sultan Sati, seorang pemuda yang membawa beban nama besar yang telah lama mati.
Klan Pangeran Sultan Sati, yang dulunya dikenal sebagai Pilar Utama Daratan Xianwu, kini hanyalah cerita horor yang dibisikkan di kedai-kedai arak. Tujuh tahun lalu, malam bulan darah, aliansi Empat Klan Besar lainnya menyerbu dan menghancurkan benteng ini, bukan karena permusuhan, melainkan karena ketakutan. Mereka takut pada kekuatan yang tidak bisa mereka sentuh: Jurus Pamungkas Tuanku, sebuah teknik yang konon mampu membelah sembilan lapisan langit.
Mereka berhasil. Mereka membakar perpustakaan, merobohkan Aula Kultivasi, dan memburu setiap anggota klan. Yang tersisa hanyalah Pangeran Sultan Sati, seorang anak berusia tiga belas tahun saat itu, yang disembunyikan oleh pelayan setianya di dalam sumur kering.
Kini, Pangeran Sultan Sati berusia dua puluh tahun. Tubuhnya kurus, dipenuhi bekas luka kecil dari latihan mandiri yang sia-sia, dan matanya menyimpan ketajaman yang bertentangan dengan kelemahannya. Ia mewarisi bukan kekuatan klan, melainkan kutukan: ia tidak memiliki akar spiritual.
Di Daratan Xianwu, akar spiritual adalah segalanya. Tanpa itu, seseorang tidak bisa menarik Qi (Energi Universal), tidak bisa membentuk Dan (Inti Kultivasi), dan selamanya akan terjebak sebagai manusia biasa. Pangeran Sultan Sati adalah keajaiban yang menyedihkan: pewaris tunggal klan terkuat, namun tanpa bakat untuk menjadi kuat. Ia adalah seekor naga yang lahir tanpa sayap.
"Tuanku," sebuah suara serak memecah kesunyian.
Itu adalah Lin Kai, pria tua yang menyelamatkannya. Lin Kai, mantan Kepala Pelayan Klan, kini adalah satu-satunya pelindung, guru, dan teman Pangeran Sultan Sati. Ia berjalan tertatih-tatih, membawa nampan berisi bubur jagung yang encer.
"Aku bukan Tuanku, Lin Tua," jawab Pangeran Sultan Sati tanpa menoleh, pandangannya terpaku pada sebatang dupa yang ia nyalakan untuk mengenang leluhurnya. "Tuanku adalah mendiang Ayahku. Aku hanyalah debu yang tersisa."
Lin Kai meletakkan bubur itu di samping Pangeran Sultan Sati, lalu duduk di atas batu yang telah retak. Matanya yang tua dipenuhi kesedihan. "Selama aku hidup, aku akan selalu menyebutmu Tuanku. Itu adalah ikrar yang kuberikan pada Ayahmu."
"Dan ikrar itu sia-sia," Pangeran Sultan Sati akhirnya menoleh, senyum tipis yang getir menghiasi wajahnya. Ia mengambil mangkuk bubur itu, meniup permukaannya. "Tujuh tahun. Tujuh tahun aku berlatih teknik pernapasan dasar yang bahkan bisa dikuasai oleh seorang petani. Tujuh tahun, dan aku bahkan belum bisa merasakan secercah Qi.
Malam ini, aku akan berusia dua puluh. Dan besok, Klan Naga Hitam akan datang."
Lin Kai tersentak. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku merasakannya. Mereka tidak akan pernah merasa damai selama aku, pewaris Pangeran Sultan Sati, masih bernapas. Mereka akan datang untuk mencari relik terakhir klan kita. Relik yang bahkan aku tidak tahu di mana letaknya," jelas Pangeran Sultan Sati. Ia menelan buburnya dalam keheningan yang mencekik.
Klan Naga Hitam adalah pemimpin dari aliansi penghancur itu. Mereka adalah praktisi seni bela diri yang kejam, terkenal karena teknik ‘Cakar Pembakar Jiwa’ mereka.
"Kau harus pergi, Tuanku," desak Lin Kai, suaranya mengandung kepanikan. "Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Aku akan mengatakan padanya relik itu sudah tidak ada. Kau harus lari ke Pegunungan Tanduk Naga. Kau bisa bersembunyi di Biara Kunlun—"
Pangeran Sultan Sati menggeleng. Ia meletakkan mangkuk kosong itu dengan kehati-hatian. "Lari? Tujuh tahun sudah cukup. Aku sudah bosan hidup seperti tikus di bawah tanah. Jika mereka datang mencari Jurus Terakhir Tuanku, aku akan memberikannya."
Lin Kai berdiri, wajahnya pucat pasi. "Jurus itu terkutuk, Tuanku! Itu adalah alasan kita dihancurkan! Ayahmu menguncinya—"
"Tentu saja terkutuk," potong Pangeran Sultan Sati, kini berdiri dan menghadap ke reruntuhan. "Kekuatan sejati selalu terkutuk. Dan jika aku harus mati, aku akan mati dengan mengetahui rahasia yang menghancurkan klan ini."
Pangeran Sultan Sati berjalan perlahan menuju altar leluhur yang retak, yang diapit oleh dua patung singa batu yang kepalanya sudah hilang. Ia menyentuh permukaan batu yang dingin itu. Ia tahu di bawah altar ini, di dalam ruang rahasia yang hanya diketahui oleh garis keturunan utama, tersimpan relik yang paling dicari—sebuah gulungan kuno yang hanya berisi satu jurus.
"Aku akan membuka kunci ini. Malam ini, Lin Tua. Jika aku mati di tangan Naga Hitam, setidaknya aku akan mati sebagai seorang Pangeran Sultan Sati, bukan sebagai pengecut yang melarikan diri."
Lin Kai hanya bisa memegang tongkatnya erat-erat, air mata menggenangi matanya. "Aku mohon, jangan, Tuanku. Paling tidak, jangan sekarang."
"Terlambat."
Tiba-tiba, udara di lembah itu bergetar. Bukan getaran tanah, melainkan getaran energi murni. Dari kejauhan, di atas Puncak Taring Naga, terlihat tiga cahaya hitam pekat melesat cepat, meninggalkan jejak asap gelap di belakangnya. Kecepatannya mematikan.
"Mereka sudah di sini," bisik Pangeran Sultan Sati, matanya berkilat marah. "Mereka tidak sabaran. Mereka tidak memberiku kesempatan untuk membuka gulungan itu dengan tenang."
"Lari!" teriak Lin Kai, mendorong Pangeran Sultan Sati dengan sisa kekuatannya. "Aku akan menahan mereka!"
Pangeran Sultan Sati menatap pelayan setianya. Rasa terima kasih bercampur dengan keputusasaan. "Kau hanya seorang manusia biasa, Lin Tua. Kau akan mati dalam satu detik."
Namun, Lin Kai tidak mendengarkan. Ia berdiri tegak di tengah reruntuhan, mengangkat tongkat kayu tuanya ke arah tiga cahaya yang kini mulai menunjukkan wujudnya sebagai tiga kultivator tingkat tinggi dari Klan Naga Hitam.
"Klan Pangeran Sultan Sati tidak akan menyerah pada kalian, sampah!" teriak Lin Kai, suaranya bergetar tetapi penuh keberanian.
Pangeran Sultan Sati tahu, Jurus Terakhir Tuanku adalah satu-satunya harapan. Bukan untuk melawan mereka sekarang, tetapi untuk mempertahankan waktu.
Dengan kecepatan yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya, Pangeran Sultan Sati melompat ke belakang altar. Ia menyentuh dua pola ukiran tersembunyi, menekan di titik yang tepat.
KRRKKK!
Sebuah suara bergesekan memecah udara. Bagian tengah altar batu bergeser, memperlihatkan sebuah ruang sempit dan gelap di bawahnya.
"Aku datang, Ayah," gumam Pangeran Sultan Sati.
Ia tidak peduli pada Lin Kai yang kini mulai diserang oleh aura membunuh dari tiga sosok berbaju hitam yang telah mendarat dengan dentuman kuat. Fokusnya hanya pada kegelapan di bawah altar. Ia merangkak masuk, mencari gulungan kuno yang menjadi kunci kehancuran dan juga harapan klannya.
Di dalamnya, bau apek dan debu tebal menyambutnya. Tangannya meraba-raba, mencari peti kecil dari kayu besi yang seharusnya berada di sana.
Mana?
Jantung Pangeran Sultan Sati berdebar kencang. Ruangan itu kosong. Hanya ada debu dan satu peti kecil, namun peti itu sudah terbuka. Di dalamnya, tidak ada gulungan. Hanya ada… satu batu giok putih kecil.
Pangeran Sultan Sati menariknya keluar. Batu giok itu tidak sehangat batu spiritual lainnya, tetapi mengeluarkan aura aneh, aura yang kuno, menyedihkan, dan penuh keagungan.
Di saat yang sama, ia mendengar teriakan memilukan dari luar.
"LIN TUA!" Pangeran Sultan Sati berteriak.
Tiga kultivator Naga Hitam telah selesai dengan Lin Kai. Pangeran Sultan Sati merangkak keluar dari lubang, matanya melebar horor. Lin Kai tergeletak di tanah, jubahnya compang-camping, dan Inti Kultivasinya telah dihancurkan oleh Cakar Pembakar Jiwa.
"Tuanku... Jurus itu..." Lin Kai terbatuk darah, dan kata-kata itu adalah napas terakhirnya.
Pangeran Sultan Sati berdiri, batu giok putih di tangannya. Ia menatap tiga pembunuh berdarah dingin itu. Di tengah mereka, berdiri sosok yang paling mematikan: Jendral Zhuo, kultivator terkuat di Klan Naga Hitam.
"Sungguh pemandangan yang menyedihkan," Jendral Zhuo tertawa sinis. "Pewaris Pangeran Sultan Sati, seorang sampah tanpa akar spiritual. Kau datang untuk mati dengan berani?"
Pangeran Sultan Sati tidak menjawab. Ia menggenggam erat batu giok itu. "Di mana gulungannya? Di mana Jurus Terakhir?"
"Gulungan?" Jendral Zhuo menggeleng.
"Kami sudah mengambilnya tujuh tahun lalu, Nak. Kami sudah mempelajarinya, dan kami sudah tahu... gulungan itu palsu. Jurus itu tidak tertulis di kertas."
Jendral Zhuo menunjuk ke batu giok di tangan Pangeran Sultan Sati.
"Jurus Terakhir Tuanku... itu adalah Kutukan Jiwa. Jurus itu tersimpan dalam sebuah Relik Jiwa," kata Jendral Zhuo, tawanya semakin keras. "Kau hanya perlu menyentuhnya, dan roh leluhurmu akan memaksakan jurus itu masuk ke tubuhmu.
Itu akan memberimu kekuatan tak tertandingi... selama tiga menit. Setelah itu, tubuhmu akan meledak, menjadi ketiadaan."
"Kau adalah Tuanku yang terakhir. Kami sudah tahu kau akan mencarinya. Kami hanya perlu menunggumu mati setelah kau melepaskan jurus itu."
Pangeran Sultan Sati menatap batu giok putih itu. Ia tidak punya pilihan. Darah Lin Kai membasahi kakinya. Amarahnya mencapai batasnya.
"Kalau begitu..." Pangeran Sultan Sati mengangkat batu giok itu.
"Aku akan mati sebagai Tuanku yang sejati."