NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1

"Aaahh, Mas Tama..."

"Ya, Sayang..."

"Kamu begitu perk a sa. Ouchh... yess, Baby!"

Udara malam begitu panas, seolah enggan memberi jeda pada tubuh-tubuh yang sudah basah oleh peluh dan rasa. Di dalam kamar yang hanya diterangi lampu temaram, dua tubuh bersatu dalam ga- i-rah yang tak tertahankan. Seprai putih telah tergulung tak karuan, bantal terlempar ke lantai, dan hanya suara napas berat yang menggema di ruangan itu.

Erina memejamkan mata, tubuhnya bergetar hebat saat Tama menguasainya sepenuhnya. Ia menyambut setiap gelombang yang datang dengan napas tercekat dan de s a h tertahan, merasakan tubuhnya meleleh dalam dekapan pria yang telah menjadi suaminya sejak empat tahun lalu.

"Mas..." bisiknya dengan napas terengah. "Kamu... selalu bisa buat aku lupa segalanya."

Tama menatap wajah istrinya yang bersinar karena peluh dan cahaya lembut lampu tidur. Ia menunduk, mengecup keningnya dengan lembut, lalu menatap matanya dalam-dalam. "Karena kamu milikku, Sayang."

Beberapa menit berlalu, dan keheningan malam hanya diisi oleh suara pendingin ruangan dan detak jam yang menempel di dinding kamar.Erina merebahkan kepalanya di dada Tama, menggambar lingkaran-lingkaran kecil di kulitnya yang panas. Sambil tersenyum lelah, ia berkata, "Kamu masih sehebat empat tahun lalu, Mas."

Tama terkekeh ringan, tangannya membelai rambut Erina. "Dan kamu... masih membuat aku kehilangan kendali."

Mereka tertawa kecil bersama, namun tawa itu segera memudar saat Erina mengangkat kepalanya, menatap suaminya dengan keseriusan yang tak biasa.

"Mas, aku mau bicara sesuatu."

Tama membuka mata, menoleh sedikit. "Katakanlah, Sayang!"

"Aku ingin membawa Kemala ke rumah ini."

Tama mengerutkan kening. "Kemala?"

Erina mengangguk. "Iya. Sejak Kecelakaan sebulan yang lalu yang membuat kedua orang tuanya meninggal, dia sendirian sekarang, Mas. Kasihan dia."

Dan malam yang panas itu berubah dingin seketika-seiring jawaban dingin Tama yang memulai awal dari konflik panjang mereka.

Tama menghela napas berat. Tubuhnya masih setengah telentang di ran jang, tapi matanya kini benar-benar terbuka. "Kamu serius, Rin? Bawa Kemala ke sini? Tapi Kemala sudah dewasa, Rin! Dia pasti bisa hidup sendiri, lagipula disana kan ada pembantu dan Kang Sukardi juga yang rumahnya bersebelahan dengan rumah almarhum, Kemala tidak perlu tinggal disini.""Kemala memang sudah besar, Mas. Tahun ini sudah masuk semester akhir. Tapi dia sedang terpuruk, butuh teman supaya dia tidak kesepian. Kabarnya seminggu lalu dia juga sakit, dia terus mengurung diri. Aku khawatir dengan keadaannya, Mas. Dan kamu tahu sendiri lah, Kardi itu seorang duda. Hidupnya aja gak bener. Dia juga baru keluar dari penjara setelah kasus narkoboy. Kemala akan lebih aman kalau sama kita," tutur Erina.

Wanita itu bersikukuh ingin Kemala bersamanya meskipun Sukardi-adik kandung Subagja, bisa saja menjadi orang tua asuh Kemala. Erina yang merupakan adik dari Indira-ibu kandung Kemala, tentu tak akan membiarkan hal itu terjadi. Erina merasa ia lebih berhak menjadi wali dari Kemala daripada Sukardi.

Erina menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis, duduk menyandarkan punggung pada kepala ranjang. "Aku serius, Mas. Dia nggak punya siapa-siapa lagi. Kasihan Kemala, meskipun usianya sudah 21 tahun, tetap aja dia gadis yang manja. Kemala pasti terpukul karena harus jadi yatim piatu dan kehilangan orang tua secara bersamaan."

Erina berusaha terus meyakinkan suaminya.

Tama bangkit, meraih celana pendeknya lalu mengenakannya pelan. Ia berjalan menuju meja kecil di sisi tempat tidur, menuang segelas air, menenggaknya seteguk. Lalu ia bicara, tenang tapi dingin.

"Kita juga nggak dalam posisi mudah, Rin. Kamu tahu sendiri pengeluaran kita akhir-akhir ini makin membengkak. Café pun nggak seramai dulu. Aku bahkan sedang berpikir untuk menutupnya dan cari usaha lain."Erina menatap suaminya, matanya membara. "Justru itu alasannya. Mala nggak datang ke sini dengan tangan kosong. Dia mewarisi semua harta orang tuanya. Asuransi, tabungan, bahkan aset perkebunan Teh dan peternakan sapi. Meskipun tinggal di kampung, tapi Kang Subagja itu juragan, Mas. Artinya, kita-sebagai wali-punya kuasa atas semua aset itu sebelum kemala lulus kuliah dan melanjutkan usaha perkebunan dan peternakan milik ayahnya."

Tama menoleh cepat. Wajahnya berubah tajam. "Jadi maksud kamu... kita urus dia karena warisan?"

Erina mengangkat bahu pelan. "Kenapa nggak? Aku juga sayang sama Mala. Tapi kalau ada peluang untuk membantu diri kita sendiri sambil membantu dia, kenapa harus ditolak?"

Tama mengusap wajahnya kasar. Ia berjalan ke jendela, membuka tirai sedikit. Malam masih pekat, dan panasnya belum reda, tapi pikirannya kini lebih sesak daripada udara luar.

"Rin... aku nggak suka cara kamu berpikir barusan," katanya pelan. "Sama saja kita memanfaatkan seorang yatim piatu. Dia baru kehilangan orang tuanya."

"Yatim piatu pun dia punya segalanya, Mas. Yang dia butuhkan adalah teman. Dia butuh keluarga yang merawatnya hingga dirinya benar-benar bisa mandiri dan melanjutkan bisnis ayahnya itu!"

Erina bangkit, berjalan mendekat, tubuhnya masih diselimuti kain tipis yang nyaris tak menyembunyikan lekuk apapun. Ia menyentuh bahu suaminya, mencoba melunakkan nada."Aku cuma realistis, Mas. Kamu sendiri selalu bilang kita harus mikir ke depan. Aku bukan cuma mikirin kita. Tapi Mala juga butuh tempat aman, nyaman. Dan siapa lagi kalau bukan kita? Akan Berbahaya jika Kemala bersama Sukardi. Bukan tidak mungkin, Sukardi akan melakukan sesuatu yang buruk. Aku menyayangi Mala, Mas. Dia keponakanku, anak dari Kak Indira."

Tama menatap mata istrinya. Tatapan itu bukan lagi tatapan penuh gairah seperti satu jam lalu. Kini, yang ada hanya keraguan dan kekhawatiran.

"Aku cuma takut kamu jadi orang lain, Rin. Kamu bukan perempuan yang aku nikahi empat tahun lalu kalau kamu mulai melihat anak yatim sebagai 'peluang'."

"Dan entah kenapa aku gak suka jika ada orang lain di dalam rumah kita."

Hening. Keduanya saling pandang, saling membentur argumen dengan tatapan yang makin tajam.

"Aku nggak bilang nggak mau bantu dia," kata Tama akhirnya. "Tapi bukan dengan niat yang salah. Kalau kamu serius, kamu harus pastikan kamu ikhlas. Bukan karena harta."

Erina menahan napas, lalu berkata pelan tapi tegas, "Aku akan urus semuanya. Aku akan ajukan surat untuk menjadi wali ke notaris. Tapi aku butuh kamu setuju, Mas. Karena ini rumah kita. Dan dia akan tinggal di sini."

Tama tak menjawab. Ia kembali menatap keluar jendela. Dalam hatinya, badai sudah mulai berkecamuk. Ia tahu, jika ia menuruti Erina kali ini, mungkin akan ada hal-hal lain yang lebih besar menantinya di kemudian hari. Tapi menolak sekarang... hanya akan membuat api itu menyala lebih cepat.

"Besok kita bahas lagi," gumam Tama. "Aku perlu waktu buat mikir."

Erina hanya diam, tapi dari cara matanya memandang, jelas bahwa keputusan sudah ia buat. Dan begitu Kemala menjejakkan kaki di rumah itu, segalanya akan berubah.

Beberapa hari kemudian.

Kemala tiba di depan rumah mereka di suatu sore yang redup. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang menyeruak lembut di udara. Gadis itu turun dari mobil sedan yang dikendarai Mang Asep, ajudan pribadi mendiang ayahnya.

"Mamang pulang aja!"

"Gak apa-apa ini, Neng?" tanya mang Asep ragu.

"Gak apa-apa, Mang. Semuanya kan sudah jelas kemarin. Aku akan tinggal sama Tante Erina. Di rumah, aku inget terus almarhum bapak dan ibu. Semoga disini kehidupanku jauh lebih baik," ucap Kemala dengan kesedihan yang masih melekat di matanya.

"Baik kalau gitu, Neng. Mamang pulang dulu. Kalau butuh apa-apa, kabari saja ya!"

"Iya, Mang. Terima kasih banyak."

Mang Asep kembali masuk ke dalam mobil kemudian

Melaju meninggalkan rumah sederhana milik Erina dan Tama yang terletak di perumahan cluster daerah Bogor kota. Sementara rumah orang tua Kemala sendiri ada di daerah puncak, Bogor. Tak jauh dari perkebunan Teh dan peternakan milik Pak Subagja.

Gadis itu berdiri ragu di depan pagar, mengenakan jaket abu-abu dan membawa satu koper besar serta tas ransel yang menggantung di pundaknya. Rambutnya di kepang dua, khas gadis desa. Meskipun orang tuanya seorang juragan, namun Kemala selalu tampil sederhana.

Dari balik jendela ruang tamu, Tama mmperhatikannya dengan tatapan datar. Sorot mata Kemala membuat dadanya terasa sesak. Bukan karena kebencian, bukan pula karena penolakan-tapi ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Mungkin rasa iba.

"Mas, tolong bukain pintunya. Mala udah sampai,"

kata Erina yang baru selesai dari dapur.

Tama mengangguk tanpa suara. Ia berdiri, berjalan menuju pintu, lalu membuka pagar. Kemala menunduk sopan, senyum tipis menggantung di wajahnya yang pucat.

"Assalamu'alaikum, Om," sapanya lembut.

"Wa'alaikumsalam. Masuk, Mala," jawab Tama.

Langkah Kemala masuk ke dalam rumah itu adalah awal dari cerita baru. Rumah yang dulu terasa lega dan hening kini tiba-tiba terisi oleh keberadaan gadis muda yang membawa serta bayang-bayang masa lalu dan warisan yang terlalu besar untuk usianya.

Erina menyambutnya hangat, langsung memeluk gadis itu seolah mereka sudah sangat dekat. "Akhirnya

Kamu sampai juga, Sayang. Kamu pasti lelah, ya? Sini, duduk dulu. Nanti Tante buatkan minuman hangat."

Kemala tersenyum kecil, tapi tak banyak bicara. Matanya berkeliling menatap ruang tamu yang minimalis, bersih, dan teratur. Ada suasana yang asing namun tak sepenuhnya menakutkan. Rumah itu lebih tenang dari rumahnya yang selalu ramai oleh hiruk pikuk para pekerja.

Tama memperhatikan gerak-gerik keduanya. Dari cara Erina merangkul Kemala, menyuapi kue kecil, mengusap kepalanya dengan lembut terlihat tulus. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam cara Erina menatap gadis itu yang membuat Tama gelisah. Seperti... kepemilikan. Bukan kasih sayang seorang tante, tapi rencana yang terselubung.

Setelah teh hangat disajikan, Erina berkata riang, "Mala, nanti kamu tidur di kamar belakang, ya. Kita sudah bersihkan. Besok Tante akan urus surat pindahan sekolah. Kamu akan pindah ke universitas Pakuan. Lokasinya nggak jauh dari sini, tempat yang nyaman dan anak-anaknya gaul. Pokoknya kamu bakal betah, Neng. Deket mall elite, banyak cowok ganteng juga," ucap Erina bersemangat.

Kemala mengangguk patuh. Sejujurnya ia sendiri sudah tidak memiliki semangat. Bagaimana tidak, harus kehilangan dua orang yang disayanginya dalam kecelakaan tragis. Dan yang membuatnya makin menyesal, kedua orang tuanya kecelakaan saat akan menjemput Kemala dikampus.

Itulah sebabnya Kemala ingin pindah dari universitas

Lamanya bahkan berkata pada mang Asep bahwa dia tidak mau kuliah lagi. Namun Erina menyayangkan hal itu, dengan sekuat tenaga berusaha membujuk Kemala untuk ikut bersamanya ke daerah kota dan mencari suasana baru supaya bisa melupakan kenangan buruk yang terus menghantui.

"ya, Tante. Terima kasih," ucapnya singkat, wajahnya tak bersemangat.

Tama hanya duduk di sofa, menyandarkan tubuhnya tanpa berkata apa-apa. Ia memperhatikan bagaimana Kemala begitu sopan, begitu tenang... tapi juga begitu pendiam.

Saat malam menjelang, dan Kemala sudah masuk ke kamarnya, Tama dan Erina kembali ke kamar utama. Kali ini, keheningan menyelimuti mereka.

"Masih keberatan?" tanya Erina sambil membersihkan wajah di depan cermin.

Tama duduk di ranjang, matanya menatap kosong.

"Aku cuma... nggak yakin ini keputusan tepat."

"Masih curiga sama aku?" Erina berbalik, menatap suaminya dari balik cermin. "Aku serius ingin jaga Mala. Kamu lihat sendiri bagaimana dia tadi? Dia benar-benar kehilangan semangat hidupnya. Aku yang paling dekat dengan almarhum kakakku. Aku rasa... dia juga ingin Mala sama aku."

Tama tak menjawab. Ia tahu mulut Erina pandai merangkai alasan. Ia juga tahu, tak semua kebaikan berasal dari niat yang bersih.

Namun yang membuatnya lebih resah adalah: sejak

Kemala masuk ke rumah ini, ada sesuatu dalam hatinya yang bergeser. Sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya -entah itu firasat buruk, atau sekadar kekhawatiran seorang pria yang takut segalanya berubah.

"Jangan lupa," ujar Erina sambil berjalan ke arahnya, "kita punya tanggung jawab sekarang. Dan kamu juga harus mulai ikut terlibat. Dia tinggal di rumah kita, Mas. Artinya, dia juga jadi urusan kamu."

Tama menoleh, menatap Erina yang kini berdiri di depannya. Wajahnya tetap cantik, tetap memesona... namun sorot matanya malam ini tampak tajam. Seperti menantang.

"Kita lihat saja nanti, Rin," ucap Tama datar.

Dan di kamar belakang, Kemala duduk di atas ranjang, menatap bingkai foto orang tuanya yang ia bawa. Dalam diam, ia kembali menangis. Tak ada kata yang terucap, namun tangisan pilu menegaskan bahwa hatinya masih rapuh.

Kemala berharap melalui tantenya yang memiliki wajah yang mirip dengan mendiang ibu kandungnya itu, dirinya bisa menemukan kembali kasih sayang dari sang ibu yang telah meninggalkan dirinya untuk selamanya.

Pagi masih menggeliat malas ketika Erina bersiap ke pasar. Ia mengenakan jaket tipis dan celana longgar, membawa tas belanja dan kunci motor. Matahari bahkan belum sepenuhnya muncul dari balik horizon, tapi semangatnya sudah menyala.

"Mas, aku ke pasar dulu, ya. Sayur-sayuran di kulkas

Udah habis. Jangan lupa sarapan, kopi bikin aja sendiri, air panas ada di termos," ucap Erina dari depan pintu.

Tama hanya mengangguk dari ruang tengah, duduk di sofa dengan tatapan kosong ke layar televisi yang belum menyala. "Hati-hati di jalan."

Pintu tertutup. Sunyi kembali merambat ke seluruh sudut rumah.

Tama bangkit perlahan menuju dapur. Ia mengisi cangkir dengan kopi panas dari termos, menyeruputnya pelan-pelan sambil berdiri dekat jendela. Aroma kopi hitam menyusup tajam ke dalam hidung, membangunkannya lebih dari sekadar kafein. Udara pagi membuat rumah sedikit lebih dingin dari biasanya.

Tiba-tiba, terdengar suara air yang dimatikan dari arah kamar mandi belakang. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka perlahan... dan Kemala muncul dari dalam, hanya mengenakan handuk putih yang dililitkan asal di tubuhnya yang masih basah.

Kamar yang Kemala tempati tidak memiliki kamar mandi di dalam sehingga gadis itu harus mandi di kamar mandi yang ada di dapur.

Langkah gadis itu melambat begitu melihat sosok Tama berdiri di dapur, cangkir di tangannya, tatapannya membeku di tempat.

Waktu seakan berhenti.

Tama tidak bergerak, tidak berkedip. Matanya tertancap pada tubuh gadis itu-air masih menetes dari ujung rambut Kemala, menelusuri garis leher hingga ke bahu yang terbuka. Handuk itu terlalu kecil, terlalu tipis,terlalu... mengundang ga i rahnya.

"Ke-Kemala?" suara Tama serak, nyaris tak terdengar.

Kemala mematung, tangan refleks memegang erat ujung handuknya. Napasnya tertahan. Entah karena kaget atau malu.

"Maaf, Om... a-aku kira... Om ikut ke pasar bersama Tante Erina," bisiknya pelan, hampir seperti gumaman. Ia merasa sangat ceroboh karena tidak membawa baju ganti ke kamar mandi.

Tama meneguk ludah. Kopi di tangannya terasa hambar. Dadanya berdegup cepat, matanya masih belum beranjak, seperti dikunci pada pemandangan di depannya. Gadis itu berdiri hanya beberapa langkah darinya, basah, muda, dan tanpa pelindung selain selembar kain.

Tubuh gadis itu terlihat pulen. Tidak kurus tapi juga tidak gemuk, perawakannya sangat ideal. Aura pe ra wan begitu terpancar, membuat pikiran Tama travelling ke mana-mana.

Kata-kata tidak keluar. Yang ada hanya keheningan tebal, seperti kabut yang menyelimuti mereka berdua. Tak ada suara lain, hanya degup jantung yang saling bersahutan-milik Tama, dan juga milik Kemala.

Glek.

Tama menelan salivanya kuat-kuat, sesuatu dibawah sana terbangun. "Shiittt, sial!!! Kenapa harus bangun sih?"

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!