NovelToon NovelToon
Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kebenaran yang Merobek Hati

Pagi itu, mentari menyusup malu-malu dari celah tirai, namun sinarnya tak mampu menembus awan kelabu yang menyelimuti hati Raya. Semalam, ia tak bisa memejamkan mata. Setiap kali ia mencoba, bayangan-bayangan masa lalu Damar—Bunga, Mira—dan yang paling menggerogoti jiwanya, bayangan Langit, berputar-putar dalam benaknya, membentuk sebuah tornado rahasia yang siap meluluhlantakkan segalanya. Hari ini. Hari ini adalah hari di mana kebenaran akan terungkap.

Ia beranjak dari tempat tidur, menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kepingan keberanian yang tersisa. Di sampingnya, Arlan masih pulas, tangannya melingkar posesif di pinggangnya. Pria itu, suaminya yang mencintai, bapak dari putranya—Langit—yang kini terbaring sakit. Atau, setidaknya, itulah yang selalu Raya yakini.

Ia menyelinap ke dapur, membuatkan sarapan untuk Arlan dan Langit, mencoba menciptakan ilusi normalitas. Setiap sentuhan pada wajan, setiap aroma masakan yang mengepul, terasa hambar. Jantungnya berdebar tak karuan, seolah menabuh genderang perang di dalam dadanya. Bagaimana jika hasilnya… tidak sesuai harapan? Apa yang akan ia lakukan? Bagaimana ia akan menjelaskan kepada Arlan? Kepada Langit, yang begitu bergantung padanya?

“Selamat pagi, Sayang,” sapa Arlan, suaranya serak khas bangun tidur, memecah keheningan yang menyesakkan. Ia memeluk Raya dari belakang, mengecup puncak kepalanya. “Sudah lebih tenang?”

Raya mengangguk pelan, menyembunyikan getar suaranya. “Sedikit. Langit bagaimana?”

“Masih tidur. Demamnya sedikit turun semalam, syukurlah.” Arlan membalik tubuh Raya, menangkup wajah istrinya yang tampak pucat. “Kamu juga harus istirahat. Kamu khawatir sekali ya?”

Raya memaksakan senyum, yang terasa seperti topeng yang sangat rapuh. “Tentu saja. Siapa yang tidak khawatir melihat anaknya sakit parah seperti itu?” Matanya berkaca-kaca. Perkataan itu, ‘anaknya’, terasa mengganjal di lidah. Sebuah pertanyaan tak terucap mulai menggerogoti benaknya: apakah Langit benar-benar anaknya?

Usai sarapan, Arlan berangkat kerja, sebelumnya mencium kening Raya dan Langit yang masih terlelap. “Jangan lupa kabari kalau ada perkembangan dari dokter, ya,” pesannya. “Aku akan pulang cepat hari ini.”

Raya hanya bisa mengangguk. Janji itu terasa pahit. Perkembangan apa yang harus ia kabari? Kebenaran yang mungkin akan menghancurkan segalanya?

Pukul sepuluh pagi, ponsel Raya bergetar di atas meja. Sebuah nama terpampang di layar: Dr. Sita. Jantung Raya serasa berhenti berdetak. Ini dia. Momen yang ia takutkan. Tangannya gemetar saat mengangkat panggilan.

“Halo, Dr. Sita?” suaranya tercekat.

“Selamat pagi, Bu Raya. Maaf mengganggu,” ujar suara di seberang, terdengar sedikit ragu. “Saya punya kabar mengenai hasil tes DNA Langit.”

Raya menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk skenario terburuk. “Ya, Dokter. Bagaimana hasilnya?”

Ada jeda sesaat, yang terasa seperti keabadian. “Begini, Bu Raya. Hasilnya… sedikit tidak terduga. Kami sudah melakukan pengecekan ulang berkali-kali, bahkan melibatkan rekan-rekan ahli lain untuk memastikan akurasi data.”

“Tidak terduga bagaimana, Dokter?” desak Raya, suaranya meninggi, napasnya memburu.

“Maaf, Bu Raya. Tapi… hasil tes menunjukkan bahwa… Anda dan Langit… tidak memiliki hubungan darah biologis,” kata Dr. Sita akhirnya, suaranya rendah dan penuh simpati. “Dengan kata lain, Langit… bukan anak kandung Anda.”

Dunia Raya runtuh. Seketika. Kata-kata itu bergaung di telinganya, memantul-mantul di setiap sudut pikirannya, merobek-robek jiwanya. Bukan anak kandung Anda. Bukan anak kandung Anda. Bukan anak kandung Anda.

Ponsel terasa seperti timah panas di tangannya. Ia hampir menjatuhkannya. Ia mencoba berbicara, namun suaranya tercekat di kerongkongan. Tenggorokannya kering, matanya memanas, namun air mata tak kunjung keluar. Ia hanya bisa menatap kosong ke dinding di depannya, berusaha mencerna kalimat yang baru saja ia dengar.

“Bu Raya? Anda baik-baik saja?” suara Dr. Sita terdengar khawatir.

“Tidak… tidak mungkin,” bisik Raya, akhirnya menemukan suaranya, meskipun hanya sebatas desisan. “Pasti ada kesalahan, Dokter. Saya… saya melahirkan Langit! Saya mengandungnya selama sembilan bulan. Saya merasakan setiap tendangannya! Bagaimana mungkin dia bukan anak saya?”

“Kami memahami keterkejutan Anda, Bu Raya. Tapi, hasil ini sangat akurat. Kami sudah melakukan semua protokol untuk memastikan tidak ada kesalahan. Kami mencocokkan sampel Anda dan Langit dengan sangat teliti.” Dr. Sita menjelaskan dengan sabar. “Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi dalam kasus seperti ini, Bu Raya. Paling umum adalah adanya kesalahan identifikasi bayi di rumah sakit saat persalinan, atau… adanya skenario yang lebih kompleks terkait teknologi reproduksi.”

Kesalahan identifikasi? Teknologi reproduksi? Otak Raya berputar gila. Ia melahirkan di rumah sakit terkemuka. Ia ingat dengan jelas perawat menunjukkan bayinya, ia ingat aroma tubuh Langit saat pertama kali memeluknya. Tidak ada celah untuk kesalahan sekecil itu, pikirnya. Kecuali… kecuali ada sesuatu yang jauh lebih gelap di baliknya.

“Saya… saya butuh waktu,” Raya berbisik. “Saya akan datang ke klinik Anda siang ini. Saya ingin melihat sendiri hasilnya. Saya ingin memastikan.”

“Baik, Bu Raya. Kami akan menunggu Anda,” kata Dr. Sita, dengan nada pengertian. Panggilan terputus, meninggalkan Raya dalam kehampaan yang tak terlukiskan.

Ia terduduk di lantai, lututnya lemas. Tangisnya pecah. Tangisan yang ia tahan semalaman, tangisan yang bercampur antara keputusasaan, kebingungan, dan rasa sakit yang menusuk. Langit. Anaknya yang ia cintai melebihi segalanya. Anak yang ia rawat dengan sepenuh jiwa, yang ia impikan sejak lama, yang mengisi hidupnya dengan tawa dan kebahagiaan. Bagaimana mungkin dia bukan darah dagingnya?

Ia merangkak mendekati kamar Langit, membuka pintunya pelan. Di sana, putranya terbaring lemah, wajahnya pucat, napasnya memburu. Raya membelai rambut Langit dengan lembut. ‘Anakku,’ bisiknya dalam hati. ‘Kamu adalah anakku.’ Kata-kata itu terasa begitu benar, begitu nyata, namun kini dibantah oleh selembar kertas berisikan data ilmiah. Apa artinya semua ini?

Matanya menyapu sekeliling kamar, memandangi foto-foto Langit sejak bayi. Senyumnya yang tanpa gigi, langkah pertamanya, pesta ulang tahunnya yang meriah. Setiap kenangan, setiap momen, adalah bukti cintanya yang tak terbatas. Apakah cinta itu kini harus dipertanyakan hanya karena sebaris kode genetik? Tidak. Tidak akan pernah.

Namun, fakta itu tetap menggantung seperti pedang Damocles di atas kepalanya. Langit bukan anak biologisnya. Siapa ibunya? Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah ia selama ini hidup dalam sebuah kebohongan besar? Siapa yang bertanggung jawab atas kekacauan ini?

Pikiran Raya melayang ke masa lalu, ke pernikahannya dengan Damar. Ke rencana memiliki anak yang selalu tertunda. Lalu, setelah perceraian, ke pernikahannya dengan Arlan, dan keajaiban Langit hadir. Sebuah firasat buruk mulai merayapi benaknya. Sebuah bayangan kelam yang mencoba menghubungkan titik-titik yang belum sepenuhnya terlihat. Damar. Bisakah ini ada hubungannya dengan Damar? Tidak, tidak mungkin. Ia sudah lama melupakan pria itu.

Tidak. Ia harus tenang. Ia harus mencari tahu. Pertama, ia akan pergi ke klinik Dr. Sita, memastikan semuanya dengan mata kepala sendiri. Lalu, ia akan mencari jawaban. Sendirian. Ia tidak bisa memberitahu Arlan, belum. Arlan pasti akan hancur. Dan Langit… bagaimana jika Langit tahu? Rasa takut itu lebih besar dari segalanya.

Raya menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu bangkit, langkahnya goyah namun penuh tekad. Ia harus kuat. Demi Langit. Demi kebenaran. Tetapi, saat ia menatap pantulan dirinya di cermin, yang ia lihat hanyalah seorang wanita rapuh, berdiri di ambang kehancuran, memegang sebuah rahasia yang terlalu berat untuk dipikul sendiri. Sebuah rahasia yang, ia tahu pasti, akan mengubah seluruh hidupnya, dan kehidupan orang-orang yang ia cintai, selamanya.

Tanpa ia sadari, sebuah benang tipis tak kasat mata mulai terulur, menghubungkan masa lalu yang terkubur dalam-dalam dengan kebingungan masa kini. Benang itu perlahan mulai mengikatnya, menariknya ke dalam pusaran misteri yang jauh lebih besar dan mengerikan dari yang bisa ia bayangkan. Benang yang beraroma masa lalu, beraroma… Damar.

1
Yaya Mardiana
bingung dengan cerita nya selalu berulang ulang
Bang joe: part mananya mulai kak ?
total 2 replies
Nana Colen
timititi maca nepi ka episode ieu satu kata lier
Nana Colen: asa begitu banyak kata kata atau kalimat yg di ulang ulang dan muter muter jd bukannya semangat bacanya malah jadi puyeng 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!