NovelToon NovelToon
Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Cinta Beda Dunia / Cinta Terlarang / Mata Batin / Romansa / Reinkarnasi
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28: Kyai Hasan Datang dengan Ramalan

Tiga hari kemudian—pagi-pagi—ada yang ketuk pintu.

Ketukannya pelan. Tapi... berat. Gimana ya jelasinnya—kayak ketukan yang bawa berita jelek. Atau berita penting. Pokoknya bukan ketukan biasa.

Arsyan lagi di dapur—berusaha masak bubur—tapi gagal mulu. Gosong. Keenceran. Keasinan. Dia nggak bisa masak, emang dasarnya. Tapi dia maksa belajar—demi Wulan yang lagi mual-mual.

"Siapa sih pagi-pagi..." gumamnya sambil lap tangan ke handuk—jalan ke pintu—buka—

—Kyai Hasan.

Berdiri di sana. Pake peci putih, sarung kotak-kotak, baju koko. Tapi mukanya... serius. Serius banget. Lebih serius dari biasanya. Matanya... ada sesuatu di sana. Kekhawatiran? Takut? Arsyan nggak bisa baca jelas.

"Kyai—" Arsyan langsung agak membungkuk—sopan. "Eh... ada apa, Kyai? Silakan... silakan masuk."

Kyai Hasan masuk—langkahnya lambat—matanya langsung nyari Wulan yang duduk di sofa—tangan ngelus perut—wajah pucat.

Mata mereka ketemu.

Dan Wulan... langsung tau.

Dia tau. Kyai tau soal anak ini.

Kyai duduk di kursi depan sofa. Arsyan duduk di sebelah Wulan. Suasana... canggung. Hening. Tegang.

Beberapa detik nggak ada yang ngomong.

Lalu Kyai Hasan menarik napas—panjang—kayak lagi nyiapin diri buat ngomong sesuatu yang berat.

"Nak Arsyan... anak ini..." suaranya pelan tapi tegas. "...bukan anak biasa."

Arsyan kaget. "Loh... kok Kyai tau Wulan hamil?"

"Saya bisa merasakan... aura. Aura kehidupan baru." Kyai natap perut Wulan lama. "Tapi aura ini... berbeda. Sangat... sangat kuat. Terlalu kuat untuk... untuk anak biasa."

Wulan tubuhnya menegang. Tangannya refleks nutupin perut—kayak lagi lindungin.

"Maksud Kyai... gimana?" Arsyan suaranya mulai gemetar.

Kyai Hasan diem. Lama. Mikir kayaknya. Cari kata-kata yang tepat.

"Anak ini... menurut ramalan kuno... dia adalah... reinkarnasi Sang Jembatan Dua Alam."

Hening.

Hening panjang yang bikin telinga berdenging.

Arsyan natap Kyai—bingung total. "Jembatan... Dua Alam? Apa... apa maksudnya, Kyai?"

Kyai Hasan napas lagi—berat. "Dalam kitab-kitab lama... ada ramalan. Ramalan tentang... tentang seorang anak yang... yang lahir dari... eh... dari pernikahan antara jin dan manusia." Dia jeda. Ngusap jenggot. "Anak itu... punya kekuatan. Kekuatan yang... luar biasa. Bisa... bisa menyatukan dua dunia. Atau..." dia berhenti lagi—mata natap Arsyan tajam. "...atau menghancurkan."

Arsyan jantungnya drop. "Menghancurkan...?"

"Atau menyatukan. Tergantung... tergantung bagaimana dia dibesarkan. Tergantung... pilihan yang dia buat nanti."

Wulan air matanya mulai ngalir—diem aja—nggak berisik—cuma jatuh gitu aja.

Arsyan natap Wulan—terus balik ke Kyai. "Kyai... ini... serius?"

"Sangat serius, Nak." Kyai condong dikit ke depan—tangannya dilipat di paha. "Dan karena itu... banyak pihak yang... yang akan mengincar anak ini."

"Mengincar...?" Arsyan suaranya parau.

"Kerajaan jin—yang baik maupun... maupun yang jahat—mereka akan... akan tau tentang kelahiran anak ini. Mereka akan datang. Mereka akan..." dia berhenti—kayak ragu mau lanjut atau nggak. "...mereka akan berusaha... mengambil anak ini. Untuk dijadikan senjata. Atau..." dia diem lagi. "...atau untuk dibunuh."

Wulan langsung tutup mulut—napas berhenti sedetik—tubuh gemetar keras.

Arsyan langsung pegang tangan Wulan—erat—meskipun tangannya sendiri keringetan, gemetar.

"Kyai... apa... anak kami... dalam bahaya?"

"Sangat, Nak. Sejak dia lahir nanti... dia akan jadi... jadi target. Target banyak... banyak pihak yang..." Kyai ngusap wajah—capek kayaknya. "...yang menginginkan kekuatannya."

"TERUS KAMI HARUS GIMANA?!" Arsyan tiba-tiba teriak—nggak sopan—tapi dia nggak peduli—panik—desperate.

Kyai Hasan diem—nggak marah—cuma natap Arsyan dengan tatapan... sedih.

"Kalian harus... harus kuat, Nak. Kalian harus lindungi dia. Apapun yang... yang terjadi." Dia berdiri—pelan. "Dan kalian... kalian harus bersiap. Untuk... untuk perang."

"Perang...?" Wulan suaranya keluar—lirih.

"Perang antara dua alam. Perang yang... yang akan menentukan... masa depan dunia ini."

Kyai jalan ke pintu—berhenti sebentar di sana—nggak noleh.

"Jaga dirimu, Nak Arsyan. Dan... dan jaga istri dan anakmu. Karena badai besar... akan datang."

Lalu dia pergi.

Pintu tertutup.

Arsyan dan Wulan duduk di sana—diem—kayak patung.

Napas Arsyan berantakan. Tangannya masih gemetar.

Wulan nangis—tanpa suara—tangan memeluk perutnya erat.

"Mas..." bisiknya. "Aku... aku takut..."

Arsyan langsung peluk dia—peluk kenceng—meskipun tubuhnya lemah.

"Aku juga takut, Wulan. Tapi... tapi kita nggak akan biar siapapun... siapapun sakitin anak kita. Nggak akan. Gue janji."

Wulan nangis lebih keras—di bahu Arsyan—sambil dalam hati cuma satu pikiran:

Anakku... kenapa takdirmu... harus seberat ini...

Dan jauh di sana—di Kerajaan Cahaya Rembulan—Ratu Kirana berdiri di balkon istana—natap bulan purnama—muka dingin, datar.

Ada penasihat tua di sebelahnya—bisik pelan, "Ratu... Putri Wulan... hamil."

Ratu Kirana diem.

Matanya menyipit.

"Aku tau."

"Anak itu... Sang Jembatan?"

"Ya."

"Bagaimana... rencana Ratu?"

Ratu Kirana senyum—tipis—senyum yang dingin, kejam.

"Biarkan dia lahir dulu. Lalu..." dia diem sebentar. "...kita ambil."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!