Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERTEMU REZA MAHESWARA - SAHABAT TAK TERDUGA
:
Rabu pagi, minggu kedua bulan kedua fase pengumpulan modal Fajar. Ia masuk kelas Manajemen Strategis dengan langkah gontai. Tubuhnya masih sangat lemah meskipun setelah dipaksa Mbok Jumi untuk makan lebih banyak. Lima ratus ribu dari Mbok Jumi memang membantunya sedikit bernapas—setidaknya sekarang ia tidak perlu jalan kaki setiap hari, bisa naik sepeda lagi—tapi tekanan mental untuk mengumpulkan modal tetap sangat berat.
Kelas hari ini lumayan penuh. Fajar, seperti biasa, langsung menuju kursi paling belakang pojok—tempat persembunyiannya dari tatapan meremehkan mahasiswa-mahasiswa lain. Ia meletakkan tas lusuhnya, duduk, dan mengeluarkan buku catatan yang sudah penuh dengan coretan-coretan pemikiran bisnisnya.
"Permisi, kursi ini kosong?"
Suara yang ramah. Fajar mendongak.
Di hadapannya berdiri seorang pemuda tinggi—sekitar 179 cm—dengan penampilan sangat rapi dan branded dari kepala sampai kaki. Kemeja putih Ralph Lauren, celana chino krem, sepatu loafers Gucci, jam tangan Rolex Submariner di pergelangan tangan, dan tas ransel Tumi yang harganya mungkin hampir sepuluh juta. Wajahnya tampan dengan gaya rambut klimis rapi. Kulitnya putih bersih—jelas anak orang kaya yang tidak pernah kena terik matahari.
Tapi yang membuat Fajar tertegun adalah senyumnya. Senyum yang tulus. Bukan senyum meremehkan atau pura-pura sopan seperti yang biasa Fajar terima dari mahasiswa-mahasiswa kaya lainnya.
"K-kosong," jawab Fajar gugup. Kenapa anak orang kaya kayak gini mau duduk di sebelah aku?
Pemuda itu duduk dengan santai, meletakkan tasnya, kemudian mengulurkan tangan.
"Reza. Reza Maheswara. Kita sekelas kan, tapi kayaknya belum pernah kenalan."
Fajar menatap tangan yang terulur itu dengan ragu. Tangannya sendiri kasar penuh kapalan—hasil dari mencuci piring setiap hari. Ia malu menunjukkan tangannya. Tapi Reza tetap mengulurkan tangannya dengan sabar, senyum tidak luntur.
Akhirnya Fajar menjabat tangan itu dengan cepat. "Fajar. Fajar Baskara."
"Senang berkenalan, Fajar," kata Reza sambil tersenyum lebih lebar. "Aku sering lihat kamu di perpustakaan. Kamu rajin banget baca buku bisnis. Aku kagum."
Fajar tertegun. "Kamu... memperhatikan aku?"
"Iya. Soalnya jarang ada mahasiswa yang seserius kamu. Kebanyakan mahasiswa di sini kan cuma modal nama orang tua, nggak benar-benar belajar." Reza tertawa kecil—bukan tawa meremehkan orang lain, tapi tawa yang jujur dan sedikit sinis terhadap realitas.
Fajar tidak tahu harus merespon apa. Ini adalah pertama kalinya ada mahasiswa kaya yang tidak meremehkannya, bahkan memujinya.
Dosen masuk dan kuliah dimulai. Sepanjang kuliah, Fajar berusaha fokus—tapi sulit. Ia bisa merasakan Reza sesekali melirik ke arah catatannya. Fajar gugup—catatannya penuh dengan coretan rencana bisnis laundry, perhitungan modal, strategi marketing. Ia takut Reza akan tertawa atau meremehkan.
Tapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Saat kuliah selesai, Reza menoleh padanya dengan mata berbinar penuh ketertarikan.
"Fajar, tadi aku nggak sengaja lihat catatanmu," kata Reza dengan nada antusias. "Kamu lagi nge-plan bisnis laundry?"
Fajar refleks menutup bukunya. Wajahnya memerah. "I-iya. Cuma ide-ide kecil aja."
"Ide kecil?" Reza menggeleng. "Itu bukan ide kecil. Itu brilliant! Aku udah lama mikir kenapa nggak ada yang bikin laundry kiloan murah khusus mahasiswa. Laundry kampus itu sampah banget—mahal, sering ilang barang, lama. Kamu punya solusi yang tepat."
Fajar menatap Reza tidak percaya. "Kamu... kamu serius?"
"Banget. Boleh aku lihat business plan-mu lebih detail?"
Dengan ragu, Fajar membuka buku catatannya. Reza membaca dengan sangat serius—alisnya berkerut, sesekali mengangguk, menunjuk beberapa bagian dan bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat cerdas dan relevan.
"Model pricing-mu bagus. Lima ribu per kilo—setengah dari harga laundry kampus. Dengan quality assurance yang jelas. Target market juga tepat: mahasiswa yang mau hemat tapi tetap menghargai kualitas," komentar Reza sambil terus membaca. "Tapi kamu udah mikirin distribusi? Mahasiswa kan malas jalan jauh. Kalau lokasi laundry-mu jauh dari kos-kosan mahasiswa, mereka nggak akan datang."
"Aku... belum mikirin itu," akui Fajar jujur. Ia merasa bodoh—kenapa ia tidak memikirkan hal sepenting itu?
"Solusinya: jasa antar-jemput gratis," kata Reza dengan antusias. "Kamu atau orang yang kamu pekerjakan keliling kos-kosan mahasiswa, ambil pakaian kotor pagi, antar balik sore atau besoknya. Mahasiswa nggak perlu repot kemana-mana. Convenience is key."
Mata Fajar berbinar. "Itu... itu ide bagus!"
"Dan satu lagi," Reza melanjutkan sambil menunjuk bagian perhitungan modal Fajar. "Modal dua juta lima ratus ribu ini cukup untuk start. Tapi kamu perlu cash flow buffer minimal lima ratus ribu untuk bulan pertama—karena belum tentu langsung ada pelanggan banyak. Jadi total seharusnya tiga juta."
Fajar merasakan dadanya sesak. Tiga juta. Angka itu semakin jauh dari jangkauannya. Sekarang ia baru punya sembilan ratus ribu. Butuh dua juta seratus ribu lagi. Dengan gaji seratus ribu per minggu, itu butuh... dua puluh satu minggu. Lima bulan lebih.
Terlalu lama.
"Kamu... kamu paham banget soal bisnis," kata Fajar dengan nada kagum.
"Keluargaku pengusaha. Dari kecil aku udah diajarin soal bisnis," jawab Reza dengan nada datar—seperti itu bukan sesuatu yang istimewa. "Bapakku punya Mahkota Propertindo. Perusahaan properti besar. Aku... sebenarnya under pressure buat terusin bisnis keluarga. Tapi aku lebih tertarik bikin sesuatu dari nol sendiri. Kayak kamu."
Fajar tersentak. "Mahkota Propertindo?" Ia pernah dengar nama itu—salah satu perusahaan properti terbesar di kota ini. Gedung-gedung pencakar langit, mall mewah, perumahan elite. Dan Reza adalah anak pemiliknya?
"Iya," Reza tersenyum miris. "Makanya aku kagum sama kamu. Kamu start dari nol, nggak ada backing keluarga, tapi kamu tetap berani mimpi dan action. Sementara aku? Udah ada privilege, tapi malah merasa terkurung."
Ada kesedihan di mata Reza—kesedihan yang Fajar tidak sangka akan ia lihat dari anak orang kaya.
"Fajar," kata Reza tiba-tiba dengan nada sangat serius. "Boleh aku ikutan bisnis ini? Sebagai partner. Aku serius. Bukan main-main."
Fajar merasa dunia berhenti berputar sejenak. "K-kamu... mau partner sama aku?"
"Iya. Aku bisa invest modal. Kamu yang execute dan manage operational. Profit kita bagi sesuai kesepakatan. Aku nggak mau banyak-banyak—kamu yang lebih banyak karena kamu yang kerja keras. Aku cuma mau belajar dan terlibat dalam bisnis nyata, bukan bisnis keluarga yang udah jadi."
Fajar terdiam lama. Pikirannya berkecamuk.
Ini... ini kesempatan emas. Dengan Reza sebagai partner, modal nggak akan jadi masalah. Aku bisa langsung start. Bisa langsung wujudkan mimpi.
Tapi kemudian keraguan muncul.
Kenapa dia mau partner sama aku? Aku cuma anak miskin yang nggak punya apa-apa. Dia anak konglomerat. Pasti ada maunya. Pasti ini jebakan.
Reza seolah bisa membaca keraguan di wajah Fajar.
"Aku tahu kamu ragu," kata Reza dengan suara lembut. "Wajar. Kita baru kenal. Dan perbedaan background kita sangat jauh. Tapi percaya deh, aku genuine. Aku nggak butuh uang—aku udah kelebihan uang. Yang aku butuh adalah kesempatan buat belajar bisnis nyata dari nol, bareng orang yang passion dan punya integrity. Dan aku lihat itu semua di kamu."
"Tapi... tapi aku nggak punya apa-apa buat ditawarin ke kamu," kata Fajar dengan suara bergetar. "Kamu bisa partner sama siapa aja yang lebih capable."
"Aku nggak cari orang yang capable dalam artian udah punya privilege," jawab Reza tegas. "Aku cari orang yang punya fire. Passion. Integrity. Willingness to work hard. Dan itu semua ada di kamu. Trust me, Fajar. Orang-orang dengan privilege kayak aku dan temen-temenku yang lain? Kebanyakan manja, males, nggak punya drive. Mereka udah puas dengan jaminan dari orang tua. Tapi kamu? Kamu berjuang setiap hari. Dan itu yang aku respect."
Mata Fajar berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ada orang yang melihat nilai di dalam dirinya—bukan kasihan, tapi genuine respect.
"Aku... aku perlu waktu mikir," kata Fajar akhirnya.
"Take your time," jawab Reza sambil tersenyum. "Tapi jangan lama-lama. Peluang nggak akan nunggu selamanya. Ini nomorku." Ia memberikan kartu nama—kartu nama mewah dengan emboss emas. "Telepon atau WA aku kalau udah mutusin. Deal or not, kita tetap bisa temenan kok."
Reza berdiri, menepuk bahu Fajar dengan lembut, kemudian berjalan keluar kelas.
Fajar duduk terdiam lama di kursinya yang kosong, menatap kartu nama di tangannya.
Reza Maheswara
Personal Line: 08xx-xxxx-xxxx
Ini nyata? Ini beneran terjadi?
Ia merasa seperti bermimpi. Tapi kartu nama di tangannya sangat nyata. Berat. Mewah.
Sepanjang hari itu, Fajar tidak bisa fokus pada apapun. Pikirannya terus melayang pada tawaran Reza. Opportunity of a lifetime. Tapi juga... menakutkan. Bagaimana kalau ini jebakan? Bagaimana kalau Reza di kemudian hari memanfaatkannya?
Sore hari, di warung Mbok Jumi, Fajar menceritakan semuanya.
Mbok Jumi mendengarkan dengan serius. Setelah Fajar selesai, wanita tua itu terdiam lama.
"Nak," katanya akhirnya, "dalam hidup, kadang kita harus berani ambil risiko. Kalau kita selalu takut dikhianatin, kita nggak akan kemana-mana. Memang nggak semua orang baik. Tapi nggak semua orang jahat juga. Reza itu kayaknya anak yang genuine. Mata Ibu udah tua, tapi masih bisa liat orang. Dan dari cara kamu cerita, Ibu merasa dia tulus."
"Tapi... tapi kalau dia ternyata nggak tulus?" tanya Fajar dengan suara gemetar.
"Ya udah, kamu belajar dari situ. Gagal itu nggak apa-apa, Nak. Yang nggak boleh itu nggak pernah coba. Kamu masih muda. Kalau gagal, masih bisa bangkit lagi. Tapi kalau kamu nggak pernah coba, kamu akan selamanya wondering: 'what if?'"
Kata-kata itu mengena.
Malam itu, di kamar sempit yang bau apek, Fajar duduk menatap kartu nama Reza lama sekali. Di satu sisi ponselnya, kontak ibunya. Di sisi lain, nomor Reza.
Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia mengetik pesan:
Reza, ini Fajar. Aku... aku mau accept tawaran kamu. Tapi dengan beberapa syarat. Bisa kita ketemu dan discuss lebih detail?
Ia menekan tombol kirim sebelum sempat berubah pikiran.
Tiga menit kemudian, balasan masuk:
GREAT! Besok kita ketemu di kafe deket kampus ya. Jam 4 sore. Aku tunggu. Dan Fajar... thank you for trusting me. I won't let you down.
Fajar menatap pesan itu lama sekali. Kemudian ia tersenyum—senyum campur takut, harap, dan excitement.
Ini dia. Ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Atau... awal dari kehancuran. Tapi apapun yang terjadi, setidaknya aku sudah berani coba.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.