CEO dingin Ardan Hidayat harus bertunangan dalam tiga bulan demi warisan. Ia memilih Risa Dewi, gadis keras kepala yang baru saja menghancurkan kuenya, untuk kontrak pertunangan palsu tanpa cinta. Tapi saat mereka hidup bersama, rahasia keluarga Risa sebagai Pewaris Tersembunyi keluarga rival mulai terkuak. Bisakah kepura-puraan mereka menjadi kenyataan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ᴛʜᴇ ꜱᴀᴅɪᴇ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cincin Berlian dan Batas yang Hancur
Setelah badai emosional di malam itu, hubungan Risa dan Ardan memasuki fase baru yang rumit dan mendebarkan. Mereka tidak secara eksplisit mengubah kontrak, tetapi dinding yang memisahkan mereka runtuh. Sentuhan yang dulu hanya untuk kamera kini menjadi kebiasaan. Ardan menjadi lebih terbuka dan posesif, dan Risa membalasnya dengan perhatian yang tulus.
Persiapan pernikahan yang harus dilakukan dalam waktu empat minggu menjadi ujian terbesar bagi hubungan baru mereka yang belum terdefinisi.
Pertama, adalah pemilihan gaun pengantin. Ardan membawa Risa ke butik desainer paling eksklusif di Jakarta. Risa mencoba lusinan gaun yang harganya melebihi seluruh kekayaan nenek moyangnya.
Risa keluar dari ruang ganti dengan mengenakan gaun putih klasik yang indah, sederhana, namun memancarkan keanggunan. Ardan, yang biasanya fokus pada teleponnya, mendongak.
Wajah Ardan, yang selalu dingin, melembut. Ia berdiri, berjalan mendekati Risa, dan perlahan memutari gaun itu.
"Ini," bisik Ardan, suaranya dipenuhi kekaguman. "Ini sempurna. Ini terlihat seperti dirimu. Jujur dan murni."
Risa menatap Ardan, merasakan pipinya memanas karena pujian tulus itu. "Anda menyukainya?"
"Sangat," Ardan mengangguk. Ia mengangkat tangan, menyentuh bahu Risa yang terbuka, dan perlahan menyapu rambut Risa. "Kau akan menjadi pengantin yang paling cantik di kota ini."
Momen itu terasa begitu intim dan pribadi, seolah-olah tidak ada desainer dan asisten di dalam ruangan. Risa menyadari, ia bukan lagi hanya boneka. Ia adalah wanita yang akan dinikahi Ardan.
Tantangan kedua datang saat memilih cincin pertunangan. Ardan membawa Risa ke toko perhiasan high-end milik seorang kenalan lama. Cincin-cincin di sana tampak seperti miniatur lampu kristal.
"Pilih apa pun yang kau suka," kata Ardan, bersandar di konter, tampak tidak sabar.
Risa menolak berlian besar dan memilih cincin emas putih dengan berlian kecil yang disusun melingkar—elegan, tetapi tidak mencolok.
"Kenapa kau tidak memilih yang ini?" tanya Ardan, menunjuk ke sebuah cincin soliter besar yang harganya bisa membeli tiga unit rumah Risa yang lama.
"Saya tidak suka hal-hal yang terlalu mencolok," jawab Risa. "Dan lagi, cincin ini seharusnya terlihat seperti kami. Kuat, tapi tidak pamer."
Ardan tersenyum, senyum yang mencapai matanya. "Kau benar. Itu terdengar seperti kita."
Ardan kemudian melakukan sesuatu yang tidak terduga. Ia menggeser kotak cincin Risa ke samping, mengambil cincin itu, dan kemudian meraih tangan Risa. Ia menyelipkan cincin itu ke jari manis Risa. Sentuhan itu membuat Risa menarik napas.
"Ini," kata Ardan, menatap cincin itu di jari Risa. "Mulai sekarang, ini adalah bukti. Bukan bukti kontrak, Risa. Tapi bukti bahwa kau memilihku di atas kekuasaan Pak Jaya. Itu jauh lebih berharga daripada berlian terbesar di dunia."
Ia mengangkat mata ke Risa. "Jika ada yang berani meragukan kita, tunjukkan pada mereka cincin ini."
Momen itu mengikat Risa lebih dalam daripada semua uang di dunia. Cincin berlian kecil itu telah menjadi simbol kesetiaan mereka yang tersembunyi.
Saat tanggal pernikahan semakin dekat, keintiman mereka meningkat secara alami. Ardan mulai menjemput Risa dari kelas etiket, bukan Pak Hadi. Mereka makan malam berdua setiap malam, bukan untuk sesi foto, melainkan karena mereka menikmatinya.
Suatu malam, Risa menemukan Ardan tertidur di sofa kantornya, kelelahan setelah berjam-jam bekerja. Risa mendekat, melepas kemeja jasnya, dan menyelimutinya dengan selimut. Ia menatap wajah Ardan yang tenang, jauh dari tatapan dingin CEO-nya.
Saat ia akan pergi, Ardan tiba-tiba meraih tangannya. "Jangan pergi," bisik Ardan, matanya masih tertutup. "Tinggallah sebentar."
Risa duduk di lantai di samping sofa, membiarkan Ardan memegang tangannya. Dalam keheningan malam itu, Risa merasa bahwa cinta yang mereka sandiwarakan telah menjadi nyata, menyelimuti mereka berdua, terlepas dari kontrak yang kaku.
Namun, cinta ini tidak luput dari pengawasan. Bima mengamati dari kejauhan, semakin frustrasi. Foto-foto liburan yang intim, pengumuman pernikahan yang mendadak, dan wajah bahagia Risa di media, semua menunjukkan bahwa rencananya gagal total.
Bima tahu ia hanya memiliki satu kesempatan tersisa: menghentikan pernikahan di hari-H.
Bima menghubungi seseorang, seorang informan lama di manajemen hotel tempat pernikahan Ardan dan Risa akan dilangsungkan. Rencananya kali ini tidak berfokus pada Risa atau Pak Jaya, tetapi pada membongkar fondasi finansial Ardan di momen paling penting dalam hidupnya.
Beberapa hari sebelum pernikahan, Bima mengirimkan pesan anonim yang samar kepada Risa: Persiapan yang indah. Tapi pastikan pengantin priamu tidak kehabisan uang untuk membayar cincinnya. Beberapa kejutan tidak bisa disembunyikan di bawah altar.
Risa gemetar saat membaca pesan itu. Bima tidak mengancamnya kali ini. Ia mengancam Ardan. Dan Risa tahu, pengkhianatan di masa lalu Ardan dan masalah finansial adalah satu-satunya hal yang bisa merusak kepercayaan investor pada Ardan.
Risa memutuskan untuk tidak memberi tahu Ardan. Ardan sudah terlalu stres. Risa harus mencari tahu sendiri apa yang Bima rencanakan. Ia harus melindungi pria yang ia cintai, bahkan jika itu berarti melanggar aturan kontrak yang terakhir: rahasia yang jujur.