“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mh 12
“Tes kehamilan…?” gumam Rukmini dengan wajah terkejut sekaligus tersinggung.
“Pak, jangan keterlaluan ya sama anak saya,” sentak Rukmini tajam. “Ratna itu anak baik-baik. Mana mungkin dia hamil sebelum menikah.”
Ibu Wati menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat pongah. “Justru karena belum malam pertama dengan anak saya, makanya harus dicek. Saya tidak mau Rangga menikahi perempuan yang sudah tidak perawan—apalagi kalau ternyata mengandung anak orang lain.”
“Jangan bicara sembarangan!” Rukmini melotot, wajahnya memerah. “Saya mengenal anak saya luar dalam. Dia tidak mungkin hamil!”
Dokter Arum tetap tenang. “Kalau memang yakin, silakan lakukan tespek. Saya tidak memaksa. Tapi secara medis, gejala yang Ratna alami mengarah ke kehamilan—meski tentu banyak kemungkinan lain.”
“Diam kamu, Bu Dokter!” bentak Rukmini penuh amarah.
“Hey, kamu yang diam!” balas Pak Dasuki tak kalah lantang. “Kalau tidak ada adik saya, siapa yang menolong anak kamu waktu pingsan tadi?”
“Sudahlah, Pak,” ucap Rangga hati-hati, mencoba melerai. “Mungkin Ratna hanya lelah. Asam lambungnya bisa saja naik karena stres. Semua ini sangat mendadak bagi dia.”
“Anak bodoh!” gerutu Ibu Wati, mencibir Rangga. “Ibu tidak mau kamu menikah dengan perempuan yang bukan perawan. Apalagi kalau hamil anak orang. Enak saja orang lain berbuat, kamu yang harus tanggung jawab!”
“Berhenti menghina anak saya!” suara Pak Harsono menggema keras, membuat suasana seketika membeku.
Ia memeluk Ratna yang masih lemah di lengan Rangga. “Saya yakin Ratna tidak hamil. Kalau perlu tes, kita tes. Tapi harus disaksikan kedua belah pihak. Dari pihak kami, istri saya yang akan mendampingi Ratna. Dan saya panggil Pak RW sebagai saksi.”
“Pak, tidak usah seperti itu… ini cuma masalah sepele,” ujar Rangga cemas.
“Masalah sepele katamu?” bentak Pak Harsono lagi. “Ratna itu anak kesayangan saya. Saya tidak akan biarkan siapa pun merendahkan harga dirinya. Kita lakukan tespek sekarang!”
“Pak, janganlah…” Ratna memelas, suaranya bergetar.
Rukmini menimpali penuh kegeraman, “Dari awal memang orang tua Rangga tidak suka dengan Ratna. Rumah batal diberikan, mahar berubah dari perhiasan jadi seperangkat alat salat. Sekarang menuduh anak saya hamil? Pasti ini semua sudah kalian rencanakan!”
“Bu, jangan menuduh!” Rangga memijat pelipis, frustasi.
Pak Harsono mengibaskan tangan. “Cukup! Kita sepakat tes kehamilan. Saya panggil saudara saya yang bidan. Tespeknya dua. Satu dari Bu Dokter Arum, satu lagi dari saudara saya.”
“Benar, Pak! Emangnya keluarga situ saja yang punya saudara tenaga kesehatan?” sahut Rukmini lantang, menantang.
Ratna terisak semakin keras. “Pak… aku benar-benar tidak hamil…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Pak Harsono menarik kepala Ratna ke dadanya, menenangkan. “Tenang, Sayang. Bapak percaya. Dari kemarin mereka memang memojokkan kita. Kalau tahu ujungnya begini, lebih baik tadi Bapak batalkan saja pernikahan ini.”
“Dasar tidak tahu diri!” semprot Ibu Wati. “Sudah kami terima baik-baik, malah menyudutkan kami!”
“Sudah! Sudah!” Dokter Arum akhirnya bersuara lantang setelah sejak tadi menahan diri. “Kalau mau tes kehamilan, ya tes. Jangan berdebat terus. Sudah malam, dan saya besok masih operasi pagi.”
Suasana menegang. Semua saling pandang, saling curiga, saling menahan napas.
“Sebaiknya tesnya dilakukan secara tertutup saja,” saran Dokter Arum hati-hati.
“Kenapa begitu?” Pak Harsono menatap tajam, suaranya mengeras.
“Saya hanya khawatir, kalau hasilnya positif, Bapak akan malu. Lebih baik keluarga saja yang tahu.”
“Tidak bisa!” sergah Rukmini cepat. “Tes ini harus dilakukan secara terbuka. Kalau perlu direkam. Bahkan kalau bisa, live TokTok sekalian!”
Pak Harsono mengangguk mantap. “Benar kata istri saya. Kami yakin anak kami tidak hamil. Ini hanya akal-akalan kalian untuk menjatuhkan keluarga saya.”
Dokter Arum menghela napas. “Baiklah, kalau begitu… mari kita mulai tesnya.”
“Pak… aku takut…” Ratna berbisik gemetar.
Pak Harsono meraih bahu anaknya, menepuknya lembut. “Jangan takut, Nak. Ada Bapak di sini. Kamu kebanggaan Bapak.”
“Assalamu’alaikum.”
Semua menoleh. Lina, keponakan Pak Harsono yang seorang bidan, baru tiba.
“Lina, kamu bawa tespek yang diminta?” tanya Pak Harsono cepat.
“Bawa, Om. Memangnya untuk siapa?” Lina menatap sekeliling, bingung.
“Kamu bawa yang paling mahal, kan?” tekan Pak Harsono.
“Ya, sesuai pesanan. Saya juga bawa toples buat menampung urine.”
“Bagus. Om percaya sama kamu. Kamu anak pintar,” puji Pak Harsono.
Lina kemudian melihat sosok lain di ruangan itu. “Eh, Bu Dokter Arum?”
Dokter Arum menyipitkan mata, mencoba mengingat. “Siapa, ya?” tanyanya sopan.
“Saya Lina, Bu. Pernah ikut seminar Ibu.”
“Oh… maaf. Peserta seminar saya banyak sekali, jadi kadang lupa wajah,” jawab Arum tersenyum kecil.
“Kalau begitu, mari kita mulai. Sudah malam,” ujar Dokter Arum akhirnya.
“Lina, tolong antar Ratna untuk buang air kecil, lalu tampung di toples,” pinta Arum.
Namun Ibu Wati langsung memotong, “Arum, kamu ikut juga. Siapa tahu mereka curang.”
“Aduh… aku lelah sekali. Mbak Wati saja, ya,” sahut Arum lesu.
Ibu Wati mengangguk setuju.
“Kalian jangan lupa rekam prosesnya,” perintah Rukmini percaya diri, menyuruh keponakannya menyiapkan ponsel untuk merekam.
Ratna menelan ludah. “Pak… aku takut…”
“Tidak usah takut. Ada sepupumu dan ibumu,” ujar Pak Harsono menenangkan.
Ratna lalu dipapah menuju kamar mandi. Ia buang air kecil perlahan, tubuhnya masih gemetar. Urine itu ditampung ke dalam dua toples, sesuai permintaan dua keluarga yang kini saling menaruh curiga.
Ratna keluar dari kamar mandi, dipapah oleh Lina dan Ibu Rukmini, mukanya terlihat lemas.
Lina membawa dua toples yang berisi air urine Ratna.
Ditaruh di depan meja.
“Tunggu dulu, sebelum tes ini keluar hasilnya aku mau ada taruhan,” ucap Pak Harsono.
“Katakanlah?” jawab Pak Dasuki.
“Kalau anakku ga hamil, kalian harus memberikan perhiasan yang sudah kalian persiapkan dan rumah yang sudah kalian siapkan untuk Mahira, serahkan pada Ratna,” ucap Bu Rukmini.
“Dan kalian harus membayar sisa kekurangan biaya pernikahan ini,” tambah Pak Harsono.
“Kalian memang keterlaluan,” ucap Pak Dasuki. “Aku ga mau.”
“Kalian memang keterlaluan!” bentak Ibu Wati.
“Kalian sudah memfitnah anak kami, jadi kalian harus bayar kompensasi,” ucap Ibu Rukmini.
“Sudahlah… aku capek… kalian drama terus,” ucap Dr. Arum. “Aku punya vila di Puncak, kalau memang tidak hamil ambillah… aku kebanyakan uang,” ucap Dr. Arum kesal.
Mata Ibu Rukmini berbinar.
“Rum, kamu tidak harus melakukan hal itu.”
“Udahlah, Mas… aku capek… aku perlu istirahat, operasi itu perlu konsentrasi tinggi.”
“Ya udah, kita mulai ya,” ucap Dr. Arum mengeluarkan tespek.
Lina juga sama, mengeluarkan tespek.
Kamera merekam proses tes itu, suasana semakin menegangkan.
Pak Harsono sudah membayangkan akan mendapatkan vila di Puncak.
Dr. Arum memasukan benda putih itu ke air urine Ratna diikuti oleh Lina.
Kamera zoom in ke arah tespek. yang berada di toples air urine Ratna
Satu menit berlalu, tespek masih garis satu.
“Tuh kan, bener Ratna tidak hamil,” ucap Bu Rukmini.
Ratna merasa lega.
“Tunggu dulu, hasil maksimal itu 5 menit,” ucap Dr. Arum santai.
“Ah, mau berapa jam pun tetap saja sama,” ketus Ibu Rukmini.
Dr. Arum menguap malas, paling cuma kehilangan vila satu, pikirnya.
“Garis dua, Bu,” ucap Lina melihat tespeknya menunjukan garis dua.
“Yang Bu Dokter Arum juga sama,” ucap Lina.
“Apa?” ucap Pak Harsono tak percaya.
“Matikan kamera!” teriak Rukmini.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh