Sekuel ke empat Terra The Best Mother, sekuel ke tiga Sang Pewaris, dan sekuel ke dua The Big Families.
Bagaimana kisah kelanjutan keluarga Dougher Young, Triatmodjo, Hovert Pratama, Sanz dan Dewangga.
Saksikan keseruan kisah pasukan berpopok dari new generasi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BABAK BARU
DUA TAHUN BERLALU
Zaa menatap dirinya di cermin. Sudah satu minggu ia resmi jadi murid SD. Seragam putih merah itu kini pas di tubuhnya yang tak lagi montok, pipinya perlahan tirus, dan tubuhnya bertambah tinggi.
Hal yang sama juga terjadi pada bayi-bayi lain. Dirgantara, Rauf, Bagas, dan Fikar sudah mulai merambat. Keempatnya baru saja disapih karena genap berusia dua tahun.
“Onty!” sapa Faza, yang kini sudah resmi jadi murid TK.
Sabila, Nabila, Ryo, dan Horizon pun tak mau kalah. Mereka sudah rapi, wangi, dan menenteng ransel mungil di pundak.
Sementara itu, Umar, Khadijah, Ali, Vendra , Zora, Hamzah, Jamila, Yusuf, dan Mala masih harus bersabar. Usia mereka belum genap lima tahun, jadi sekolah masih harus menunggu. Apalagi Arjuna, Issa, Naka, Aquila, Dirga, Bagas, Rauf, dan Fikar—mereka masih balita aktif yang justru bikin rumah lebih ramai daripada sekolah itu sendiri.
“Basa tamih peulum pisa seutolah?!” omel Mala yang baru berulang tahun ketiga minggu lalu. Nada kesalnya bikin semua orang tertawa.
“Fitan udha peulum!” sahut Fikar, bangga dengan statusnya sebagai anak yang baru saja lepas sapih.
“Saa wawu seutolah seme’a!” Issa menimpali dengan penuh semangat.
“Sekolah apa, Baby?” tanya Exel sambil jongkok sejajar dengan anak itu.
“Seme’a!” seru Issa mantap.
“SMA, Baby, bukan seme’a!” Handayani buru-buru meluruskan.
“Batsutna ipu!” jawab Issa, tetap percaya diri.
“Memang mau SMA jurusan apa?” tanya Sinta sambil menahan tawa.
“Lulusan Wawulan!” jawab Issa lantang.
“Wawulan? Bawu Wawulan mama spasa?” Jamila heran.
“Mama nanat seutolah walin.lah!” Issa menjawab jumawa.
“Ohh, tawuran maksudnya!” seru Exel, baru ngeh.
“Masa sekolah berantem! Sekolah itu cari ilmu, Baby…” Indah yang tengah berbadan dua langsung menegur lembut.
Sebenarnya, keinginan anak-anak kecil untuk “sekolah” itu menular dari suasana rumah yang makin penuh generasi baru. Selain Indah yang hamil, Daniyah—istri Ken—juga sedang mengandung, begitu pula Azizah—istri Rion—yang sudah memasuki usia kandungan enam bulan.
Bart duduk di kursi malas pemberian Terra, tampak tenang membaca koran. Si kakek berusia seratus lima tahun itu masih sehat bugar, seolah riuhnya rumah justru memperpanjang umurnya.
Hunian Terra memang kini didominasi bayi-bayi aktif. Aquila, contohnya, sudah berhasil memanjat bufet.
“Baby, turun nak!” pinta Sanih, ibunya.
“Dada isat Amah!” jawab Aquila sambil menunjuk cicak di dinding.
“Jangan, sayang. Cicaknya ada keluarga. Kalau ditangkap, nanti anak-anak cicak nangis loh,” ujar Sanih menasihati.
Aquila sempat menatap ibunya, lalu tiba-tiba menangis kencang.
“Huwwaaa… Amah… Lila atut!”
Sista buru-buru mengambil bangku, naik, dan meraih Aquila turun dari atas bufet.
“Masih mau manjat, Baby?” tanyanya gemas.
“Dat… dat wawun adhih! Tapot!” jawab Aquila sambil memeluk erat leher Sista.
Sista hanya menggeleng sambil tersenyum. Dalam hati ia yakin, tak sampai lima menit lagi, Aquila pasti sudah mencoba menaklukkan lemari yang lain.
Sementara itu, Zaa dan lainnya sudah sampai sekolah. Mereka turun dan bergandengan tangan Zaa, Nisa, Aarav dan Chira jadi murid paling spesial. Hal itu karena iris biru keempatnya.
Mereka masuk kelas satu A, duduk di bangku paling depan. Tak lama seorang guru laki-laki datang.
"Selamat pagi Anak-anak!" serunya menyapa.
"Selamat pagi Pak gulu!' seru anak-anak yang ternyata masih cadel.
'Ayo Nanda Zaa pimpin doanya!' suruh pak guru.
Zaa pun memimpin doa, ia jadi ketua kelas dari hasil voting. Mengalahkan dua murid laki-laki termasuk Aarav, adik sepupunya sendiri.
"Beldoa selesai!" ujar Zaa.
"Baik, buka bukunya. Kita belajar. mengeja ya!" suruh Pak Guru lalu maju ke depan kelas menghadap papan tulis.
Sementara itu, di tempat lain, Sky, Arfhan Bomesh dan Darma duduk di kelas satu SMA. Keempatnya menempuh dua tahun saja untuk menyelesaikan SMP. Sedangkan Martha kelas tiga SMA.
"Wah ... Kita udah pakai putih abu-abu!" seru Darma tak percaya.
"Dar ... Kita udah sekolah seminggu!" sahut Bomesh memutar mata malas.
'Ya nggak nyangka aja. Ternyata, aku bisa menyelesaikan kelas akselerasi bersama kalian!" sahut Darma.
"Ya kan, karena memang kamu mau berusaha!" sahut Sky.
Percobaan Sky, Bomesh Arfhan dan Darma juga Martha yang mau kabur dari pengawalan. Mereka dikawal dua puluh bodyguard.
Rupanya Virgou sangat menjaga anak-anaknya dengan ketat.
Dering bel berbunyi, Martha keluar membawa bekal dan langsung mencari adik-adiknya.
'Babies!" Keempatnya menoleh.
"Kakak!" Seru Darma dan Martha duduk di sisinya di kursi taman sekolah.
'Eh ... Itu Papa Clayton ya?" tanya Arfhan sambil menunjuk sosok tinggi di luar pagar sekolah.
Semua menoleh, lalu mengangguk.
'Iya!" Jawab semuanya mengeluh.
Seorang ibu berdaster mewah berdiri sambil menenteng tas branded.
“Anak saya jadi ketakutan, Pak! Tiap pagi lihat bodyguard bersenjata, dikira lagi syuting film gangster!”
Guru BP geleng kepala.
“Loh, kan bagus Bu. Anak ibu tuh sering kedapatan bolos, kabur lewat pagar belakang yang dirusak sampai bolong kayak kandang kambing. Jadi kalau ada pengawalan ketat, sekalian anak ibu nggak bisa kabur.”
Si ibu langsung sewot.
“Eh, itu bukan anak saya yang rusakin pagar, ya! Itu angin malam!”
Orang tua lain ikut nimbrung.
“Angin malam bisa bikin gembok copot?! Bisa gali tanah sampe lubang?! Astaghfirullah, Bu…”
Pak Kepala Sekolah akhirnya menengahi dengan suara berat.
“Baik, baik… kita duduk dulu di ruang rapat. Nanti akan kami bahas bersama. Lagian… yang punya bodyguard juga bukan sembarang orang, lho. Kalau bukan mereka, sekolah ini bisa kayak pasar malam.”
Semua wali murid langsung saling melirik, ada yang kesal, ada juga yang justru merasa aman karena anak mereka “auto VIP” ikut diawasi.
Protes beberapa orang tua terhadap pengawalan ditolak oleh pihak sekolah.
"Kita nggak bisa kabur!" keluh Bomesh.
"Ya, mau diapain lagi. Papa dan Tinti ngelilingi sekolah. Sampai anak-anak bandel juga ketangkap sama mereka!' sahut Martha.
Kembali ke rumah Terra, aroma masakan tercium, menggugah selera. Empat bayi ada di atas meja dengan tubuh penuh dengan tepung. Putih, dari rambut hingga menutupi pakaian mereka.
Jamila nampak mengadon tepung dengan tangannya. Khadijah sibuk memeti sisa sayuran, Aquila tengah meratakan tepung ke seluruh meja dan Zora mengikuti mereka.
"Subhanallah!' seru Maria menatap empat anak yang putih keseluruhan.
Maria menepuk jidat sambil menahan tawa.
“Astaghfirullah… ini dapur apa salju turun?”
Indah yang lagi jalan pelan dengan perut besarnya ikut melongok.
“Aduh… Baby-Baby ini bukan bikin kue, tapi bikin salon spa tepung!”
"Yoya ladhi pantuwin puwat tuwe Mama!" sahut Zora.
"Lila pantuwin pepelez!" sahut Aquila yang malah menambah kotor meja.
Indah mengusap perutnya yang membuncit. Lalu menatap putranya yang sedang melempar sandali milik Exel ke kolam renang.
"Baby!" teriak Exel.
Bersambung.
Yah ... Selamat datang di keseruan para bayi.
Next?
nyari mati rupanya