NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 Kabut di Ladang Siriah

Fajar datang dengan malu-malu, seolah enggan menyingkap apa yang terjadi semalam. Embun tebal masih menggantung di pucuk daun siriah yang merambat di sisi rumah panggung. Reno membuka mata lebih dulu. Wajahnya lelah, mata cekung.

"Sudah pagi..." gumamnya pelan, seperti belum yakin dirinya masih hidup.

Ucup duduk perlahan, menggeliat. "Kita selamat? Aku nggak berubah jadi batu? Nggak dibawa Palasik?"

Ajo menguap sambil mengibas kain sarungnya. "Sepertinya, tidak. Tapi malam tadi, aku dengar suara tawa sampai menjelang subuh. Dari loteng..."

Bahri, yang sudah duduk sejak lama sambil membaca wirid, menatap mereka tenang. "Itu bukan tawa. Itu peringatan. Kita diterima... tapi tidak sepenuhnya. Kita masih tamu."

Reno bangkit dan berjalan keluar rumah. Kabut pagi menyelimuti seluruh kampung. Suara ayam jantan tidak terdengar. Tak ada aktivitas. Kampuang Dalam tetap sepi seperti tak berpenghuni.

"Kampung ini seolah tak pernah tidur, tapi juga tak pernah benar-benar hidup," ujar Reno.

Ucup berdiri di belakangnya. "Dan semalam... suara yang memanggil aku... seperti suara ibuku."

Ajo menyusul. "Aku juga. Mirip sekali suara alm. nenekku. Mereka tahu apa yang kita rindukan."

Bahri ikut keluar. Ia menatap lereng bukit di kejauhan. "Hari ini kita harus ke ladang siriah. Tempat itu pernah jadi tempat pertapaan seorang dukun wanita. Namanya Siti Darinah. Ia sakti... tapi berakhir jadi Palasik pertama dalam silsilah yang terekam."

Reno menelan ludah. "Kau yakin, Bahri, kita harus ke sana?"

"Bukan soal yakin. Tapi harus. Di sana, ada sumur tua yang katanya menyimpan segel terakhir. Kalau sumur itu dibuka oleh yang tak pantas, roh-roh lama bisa bebas."

Perjalanan ke ladang siriah tidak jauh, hanya sekitar dua kilometer melewati jalan setapak di balik rimbunan bambu. Ucup sempat tergelincir dua kali.

"Ini jalan atau jebakan betmen? Tiap lima langkah, ada saja lumpur nyambut kaki."

Ajo tertawa. "Kau memang calon mantu idaman hantu, Cup. Mudah jatuh dan gampang dikelabui."

"Tapi aku tetap ganteng dalam lumpur. Itu yang penting," jawab Ucup sambil menepuk dada.

Bahri berhenti di depan sebuah gerbang alami dari dua pohon kelapa yang saling melengkung. Di baliknya, hamparan ladang siriah membentang, sebagian sudah ditumbuhi semak belukar.

Di tengah ladang itu, ada gubuk tua beratap ijuk, dan di sebelahnya berdiri sumur bundar dengan batu-batu lumut menghias bibirnya.

"Itu dia," ujar Bahri. "Sumur Siti Darinah."

Saat mereka mendekat, suhu udara terasa turun. Ajo menggigil. "Kau merasa hawa berubah? Tiba-tiba dingin."

Reno mengangguk. "Ini seperti di rumah semalam. Tapi lebih pekat."

Ucup menutup hidung. "Dan bau. Seperti campuran bunga melati busuk dan darah."

Bahri berdiri di tepi sumur. Ia mulai membacakan mantra kuno dari kitab tua yang dibawanya. Tak lama, air sumur mulai bergolak, meski tak ada angin.

Reno melangkah pelan mengitari sumur. Di sisi belakang, ia melihat bekas tapak kaki kecil—seperti anak-anak—namun dalam dan berlendir.

"Bahri, kau lihat ini? Tapak kecil, tapi dalam. Seperti... bukan manusia."

Bahri memeriksa. Wajahnya menegang. "Ini tapak Palasik. Mereka memang lebih sering menyamar sebagai anak-anak... karena anak-anak dipercaya lebih suci."

Ucup melangkah mundur. "Aku nggak suka tempat ini. Sumpah. Kita ambil apa yang kita cari dan pergi."

Ajo mendekat ke gubuk tua. "Ada sesuatu di sini... seperti bekas kain kafan, tapi kering dan kusam."

Reno membuka pintu gubuk. Di dalam, hanya ada tumpukan tali-tali aneh, dan sebuah boneka kayu bertuliskan aksara Minang kuno.

"Ini boneka pemanggil..." ujar Bahri lirih. "Siti Darinah pernah menggunakannya untuk memanggil roh dari gunung. Ini peninggalannya."

Ucup menjerit. "Lihat itu! Di balik pohon siriah!"

Semua menoleh. Sesosok bayangan putih melintas cepat. Tak sempat terlihat wajahnya.

"Kita harus cepat," kata Bahri. "Kita sudah menarik perhatian."

Tiba-tiba, dari sumur, muncul suara... seperti tangisan anak kecil.

Huuu... huu... Bundo... ambo takutan...

Ucup menutup telinga. "Jangan... jangan dengar...!"

Reno menggenggam pergelangan tangan Ucup. "Fokus. Jangan biarkan suara itu masuk ke hati."

Bahri mengangkat botol kecil dari tasnya. Ia menciduk air dari sumur dan menyegel kembali tutupnya. "Sudah. Kita pergi sekarang."

Dalam perjalanan pulang, suasana mencekam. Bahkan burung pun tak berkicau.

Ajo bergumam, "Tempat itu... seperti bukan dari dunia ini. Aku merasa... kita diawasi."

Bahri mengangguk. "Kita memang diawasi. Tapi malam nanti akan jadi penentu. Roh penjaga sudah tahu kita membawa air dari sumur. Mereka akan datang."

Reno mengepal. "Dan kita harus siap."

Ucup mendesah. "Boleh aku siap sambil sembunyi di kolong ranjang?"

Ajo menertawakan. "Kalau Palasik datang dari loteng lagi, kolong ranjang justru jalan keluar mereka."

Ucup pucat. "Kenapa aku ikut ke sini, sih?!"

Bahri menepuk bahunya. "Karena kadang, keberanian tak datang dari yang paling kuat... tapi dari yang paling takut, tapi tetap memilih bertahan."

Ucup terdiam. Dan untuk pertama kalinya, dia tidak menjawab dengan candaan.

Malam akan segera datang kembali... dan mereka harus bersiap.

Matahari sore menyinari Kampuang Dalam dengan cahaya kemerahan yang redup, seakan langit tahu bahwa malam nanti bukanlah malam biasa. Di dalam rumah panggung, suasana jauh dari ceria. Meski Ucup sesekali masih menyelipkan lelucon, tak seorang pun bisa benar-benar tertawa.

"Kau yakin ini air dari sumur itu bisa melindungi kita, Bahri?" tanya Reno sambil melihat botol kecil berisi air bening yang sempat mereka ambil dari ladang siriah.

Bahri mengangguk pelan. "Air itu suci, selama tidak tercampur darah. Tapi ingat, mereka bisa mencoba menggoda kita agar menggunakannya di luar waktunya."

Ajo duduk di sudut sambil membersihkan parang. "Kalau mereka datang malam ini, apa kita harus bertarung? Atau bertahan saja?"

Bahri menjawab tenang, "Bukan tentang bertarung. Ini tentang keseimbangan. Jika kita melanggar batas, mereka juga akan. Tapi kalau kita kuat menjaga diri, mereka hanya akan mengintai."

Ucup memeluk bantal. "Boleh nggak malam ini aku tidur di bawah ranjang saja? Biar kalau Palasik datang dari atap, aku nggak kelihatan."

Ajo tertawa. "Kalau kau tidur di bawah ranjang, dan dia keluar dari lantai, mau ke mana lari, Cup?"

Ucup melotot. "Diam kau, Jo. Aku sudah cukup takut tanpa tambahan horor dari mulutmu."

Menjelang magrib, suasana berubah drastis. Angin berhenti berhembus. Daun-daun berhenti bergoyang. Bahkan suara hewan malam seolah hilang ditelan bumi.

"Mereka mulai datang," bisik Bahri.

Reno berdiri di dekat jendela, menutupnya dengan tirai kain kasar. "Aku lihat bayangan melintas tadi. Tapi... bukan seperti manusia. Tinggi, kurus, kepala besar menggantung di dada."

Ajo ikut menutup jendela lain. "Kita harus buat pagar pelindung. Kau bawa garam dan bunga tujuh rupa, kan, Bahri?"

Bahri mengangguk. Ia mulai menabur garam membentuk lingkaran di sekitar rumah. Lalu di empat sudut, ia letakkan bunga dan pecahan kaca.

Ucup mengikuti di belakang, sesekali bertanya, "Kalau salah langkah gimana? Bisa balik ke kita?"

"Bisa," jawab Bahri. "Tapi selama niat kita lurus, dan tidak menyentuh apa pun yang mereka tinggalkan, kita aman."

Malam datang.

Pelita dipasang di tiga titik dalam rumah. Mereka duduk melingkar. Tak banyak bicara. Hanya desau napas dan suara tikar yang bergesekan saat ada yang bergerak.

Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari luar.

"Tolong... bantu ambo... ambo luka..."

Bahri langsung memberi isyarat dengan jari ke bibirnya. "Jangan jawab. Jangan gerakkan badan."

Suara itu makin dekat. Kini terdengar dari sisi jendela.

"Reno... Ucup... tolonglah... ambo... kedinginan... buka pintu..."

Ucup bergetar. "Itu suara... suara Etek Dina. Tetanggaku waktu kecil."

Reno menunduk. "Sama. Itu suara nenekku yang sudah meninggal. Mereka coba masuk lewat kenangan."

Suara dari luar berubah. Kini berat dan dalam.

"Kalian bawa air dari sumur itu... kembalikan... atau kalian yang akan digantikan..."

Ajo mengangkat parang. "Kalau mereka masuk, aku akan lawan."

Bahri menoleh. "Kalau mereka masuk, itu artinya lingkaran perlindungan kita gagal. Kalau gagal, senjata tidak akan ada gunanya."

Tiba-tiba, salah satu tirai di sisi rumah terangkat. Angin dingin masuk seketika. Di balik tirai itu, tampak sesosok bayangan tinggi. Kepalanya menggantung, hanya ditopang leher kecil dan urat yang menjulur. Matanya kosong, menggantung keluar.

Ucup menjerit pelan. "Itu... itu dia..."

Bahri menggenggam botol air sumur dan mulai membaca doa. Air itu disiramkan ke empat sudut ruangan. Seketika, suara jeritan melengking terdengar dari luar.

"AAAAARRRGHHHHHHH!"

Bayangan itu lenyap. Tirai kembali jatuh, menutup jendela.

"Air ini berhasil," gumam Reno.

Bahri mengangguk. "Tapi itu baru satu. Masih ada yang lain. Mereka akan datang satu-satu. Menguji kita."

Menjelang tengah malam, suasana berubah lagi. Kali ini, langit-langit rumah mulai menghitam. Seperti diselimuti jelaga.

Ajo melihat ke atas. "Itu... kenapa langit-langit berdenyut?"

Dari atas, mulai terdengar suara tetesan. Seperti air... tapi kental.

"Darah," ujar Bahri. "Itu darah dari dimensi mereka. Pertanda batas mulai menipis."

Ucup tak bisa lagi duduk diam. Ia memeluk lutut, bibirnya bergetar. Tapi tak ada air mata.

"Kenapa kita? Kenapa kita yang harus menghadapi semua ini?"

Bahri menatapnya. "Karena kita yang menemukan sumur itu. Kita yang membawa air ini. Maka kita juga yang harus mengembalikan keseimbangan."

Reno berdiri. "Apa pun yang terjadi malam ini, aku tidak akan lari."

Ajo mengangguk. "Aku juga. Walau aku harus melawan dengan parang tumpul sekalipun."

Ucup perlahan berdiri. "Aku... ya, aku ikut. Tapi kalau ada jalan keluar yang lebih cepat, tolong kasih tahu aku ya..."

Mereka tertawa kecil. Tapi itu tawa yang getir. Tawa para pejuang yang tahu, malam ini bukan sekadar ujian.

Ini perang.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!