Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Siang itu, udara rumah sakit terasa semakin menyesakkan. Tere masih setia di samping ranjang Arga, menatap wajah lelaki itu yang terbaring tak berdaya. Semua alat medis di sekelilingnya seakan menambah kecemasan di hatinya. Tangannya tak lepas menggenggam jemari Arga yang dingin. Sesekali ia mengusap peluh di dahi Arga, berharap sentuhan itu bisa membangunkan suaminya dari tidur panjangnya.
Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar dari arah koridor. Seseorang menghampiri. Tere mendongak dan mendapati sosok sahabatnya, Vina, berdiri di depan pintu. Wajah Vina terlihat panik dan penuh cemas.
“Tere...” ucap Vina, nafasnya terengah setelah berlari kecil dari lobi. “Aku langsung ke sini setelah kamu bilang Arga kecelakaan. Kamu gimana? Dia gimana?”
Tere berdiri, memeluk sahabatnya erat. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga. “Dia masih koma, Vin... aku takut banget kehilangan dia. Aku...” suaranya tercekat.
Vina mengelus punggung Tere, mencoba menenangkan. Ia lalu menatap Arga yang terbaring dengan selang dan kabel di sekujur tubuhnya. “Ya Allah, Tere... sabar ya. Aku di sini buat kamu.”
Tak lama kemudian, Mama Linda datang membawa sekotak makanan. Wajahnya penuh sayang dan iba melihat putrinya yang semakin pucat karena sejak semalam tak makan.
“Nak, ayo makan dulu. Kalau kamu sakit, siapa nanti yang jagain Arga?” bujuk Mama Linda lembut.
Namun Tere hanya menggeleng, matanya menatap Arga tanpa berkedip. “Nggak, Ma... aku nggak lapar. Perut aku rasanya penuh. Aku cuma mau Arga sadar...”
Mama Linda menghela nafas pelan, tak ingin memaksa. Ia letakkan kotak makanan itu di meja kecil di sudut ruangan.
Sementara itu, senja mulai menyelimuti kota. Di tempat lain, Jaka baru selesai kerja. Hatinya tak tenang karena seharian Arga tak ada kabar. Biasanya, Arga yang paling cerewet mengingatkan ini itu soal pekerjaan.
“Ke mana sih bocah ini? Jangan-jangan dia sakit...” gumam Jaka gelisah.
Tanpa pikir panjang, ia memacu motornya menuju rumah Tere. Sesampainya di sana, rumah itu terlihat sepi. Ia turun dan menghampiri pos satpam.
“Pak, Arga ada di rumah?” tanya Jaka.
Satpam yang berjaga, Pak satpam penjaga rumah, tampak bingung. "Maaf den siapa ya?" Tanya satpam " saya teman nya arga pak" jawab jaka “E... Den Arga sudah pergi, Den. Katanya mau ke kos. Tapi... e... sebenarnya Den Arga habis kecelakaan, Den. Semalam diantar orang ke rumah sakit.”
Jaka terkejut bukan main. “Ya Allah... kecelakaan? Sekarang di rumah sakit mana, Pak?”
“Rumah Sakit bina kasih, Den.”
Tanpa pikir panjang, Jaka segera menyalakan motornya lagi. Hatinya dipenuhi cemas. Dalam hati ia berdoa semoga sahabatnya itu baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit, Jaka langsung berlari menuju resepsionis dan bertanya di mana ruang Arga dirawat. Tak lama, ia sudah berdiri di depan pintu ruang ICU, terengah karena tergesa.
Di dalam ruangan, Tere, Vina, dan Mama Linda menoleh begitu melihat Jaka muncul. Tere bingung siapa dia. Kenapa kesini
Jaka tahu kebingungan mereka. "Saya jaka mba, teman nya arga dari kampung, kami serempak pergi merantau kesini". Tere mengangguk, mencoba tersenyum meski cemas memikirkan suaminya. “Aku tadi kerumah mba tapi pak satpam bilang arga kecelakaan makanya aku lansung kesini" ucap jaka. "Kenapa bisa begini Mba tere?"
Tere hanya bisa menggeleng, "aku nga tahu.... semua ini begitu cepat jak".
Jaka mendekat, menatap arga penuh iba.
"Bangun, Ga..... jangan bikin kami semua khawatir...."
Malam itu rumah sakit sudah sepi. Lampu-lampu koridor hanya menyala redup. Di ruang tunggu ICU, Tere duduk diam memandangi pintu ruang tempat Arga terbaring koma. Wajahnya pucat, matanya sembab.
Jaka duduk di samping Tere. Hening beberapa saat. Hanya suara alat-alat medis dari ruang ICU yang terdengar samar.
“Mba... aku ikut sedih, aku kaget banget. Tapi... boleh aku cerita sesuatu? Mungkin ini saatnya Mba tahu,” ucap Jaka hati-hati.
Tere memandang Jaka dengan mata penuh tanya. “Cerita apa, Jak?”
Jaka menghela napas panjang. “Tentang Arga... tentang kenapa dia ke Jakarta, kenapa dia akhirnya ada di hidup Mba sampai hari ini.”
Tere menahan napas. Jantungnya berdebar.
“Arga cerita sama aku, gimana pertama kali dia lihat Mba di kampung waktu mobil mba mogok. Dia jatuh hati dari pandangan pertama. Tapi dia sadar, dia siapa... cuma pemuda desa yang nggak punya apa-apa. Sementara Mba... Mba Tere beda, dari keluarga berada, cantik, pintar. Tapi cinta Arga nggak pudar. Dia simpan itu dalam-dalam.”
“tapi takdir berkata lain. Waktu itu, kejadian di kampung yang bikin kalian harus nikah... aku tahu persis. Arga curhat ke aku. Dia nggak pernah niat buruk sama Mba. Dia bilang, ini takdir. Takdir yang dikasih Allah biar dia bisa jagain Mba, meski caranya pahit.”
Tere menggigit bibirnya. Hatinya semakin remuk mendengar kata-kata Jaka.
“Arga bilang, dia mau ke Jakarta untuk menyusul mba. Dia ingin nunjukin ke Mba kalau dia serius, kalau dia cinta... bukan karena terpaksa. Dia kerja keras di cafe. dia cari cara biar Mba bisa lihat dia layak. Bukan seperti yang mba pikir. Dia hanya seorang bocah tidak mengerti tentang menjadi suami. Walaupun gajinya kecil di bandingkan dengan uang mba tere. Dia hanya ingin melakukan kewajiban nya sebagai suami untuk memberi nafkah."
Air mata tere menetes lagi.
Dia teringat, akan penolakan nya saat arga memberi nya nafkah.
“Selama ini Arga sering bilang ke aku, dia nggak butuh Mba balas cintanya. Dia cuma mau Mba bahagia. Kalau kebahagiaan Mba sama Rio, dia siap mundur. Tapi dia nggak pernah berhenti sayang.”
Tere menggeleng-geleng, sesak dadanya. “Kenapa aku baru tahu semua ini sekarang, Jak... kenapa aku buta selama ini...”
Jaka menepuk pelan bahunya. “Mba nggak buta. Mba cuma nggak pernah dikasih lihat. Karena Arga terlalu takut Mba karena dia pikir dunia mba dan dia sangat jauh berbeda. Tapi Mba... sekarang yang penting, Arga butuh doa Mba, butuh Mba di sini.”
Tere mengangguk pelan. Matanya memandang pintu ICU dengan mata penuh air mata. “Aku akan tunggu dia... aku akan tunggu dia bangun...” bisiknya lirih.
Dan malam itu, Tere tetap setia di kursi itu. Tak bergeming, tak mau beranjak. Setiap jam ia tengok Arga, mengelap peluh di dahinya, memegang tangannya yang dingin. Hatinya kini benar-benar telah berubah. Ia baru sadar, lelaki yang selama ini ia abaikan... adalah lelaki yang tulus mencintainya.
“Arga...” bisiknya parau.
Tere duduk di sisi ranjang. Tangannya tak lepas menggenggam tangan Arga. Ia dekatkan wajahnya, suaranya lirih bergetar.
“Kamu dengar aku, kan? Ini aku, Tere... istrimu. Kamu jangan tinggalin aku, ya... Kamu janji mau jagain aku, kan? Arga... aku nggak kuat kalau kamu pergi. Bangun, ya, sayang. Aku di sini... aku tunggu kamu...”
Ia usap peluh di dahi Arga dengan lembut, jemarinya menyentuh pipi Arga penuh kasih.
“Aku salah, Arga... aku selama ini egois, nggak pernah mau lihat ketulusan kamu. Tapi aku janji, aku janji aku akan jadi istri yang kamu mau... asal kamu bangun, Arga. Aku mohon... demi aku... demi kita...”
Tere menunduk, mencium tangan Arga penuh harap.
“Kamu pasti dengar aku, kan? Tolong buka matamu, Arga. Aku sayang kamu... aku baru sadar, aku sayang kamu...”
Detik-detik berlalu. Hanya suara mesin monitor yang jadi saksi betapa Tere menunggu penuh harap. Hatinya berdoa, semoga Tuhan beri mukjizat, semoga Arga kembali membuka mata, kembali menyebut namanya dengan sebutan mba tere. Yang dia rindukan suara itu.
Malam kian larut, dingin makin menusuk. Tere masih setia duduk di sisi Arga. Jemarinya tak lepas menggenggam tangan lelaki yang diam terbaring itu.
Tubuhnya sudah letih, matanya berat. Perlahan tanpa sadar, Tere menyandarkan kepala di pinggiran ranjang, napasnya teratur, lelap dalam kelelahan.
Namun genggaman itu tetap erat. Seolah dalam tidur pun, Tere tak ingin Arga pergi meninggalkannya.