Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Livia duduk di ruang tamu apartemen, matanya yang tajam tertuju pada layar ponsel. Beberapa hari yang lalu, ia mendengar kabar yang begitu menggembirakan—Amira, sang menantu, ternyata tidak diterima dengan baik oleh orang tua Arif. Ia tersenyum puas, berpikir bahwa usahanya untuk menanamkan keraguan tentang Amira akhirnya mulai membuahkan hasil.
“Akhirnya mereka mulai melihat sisi buruknya, lebih tepat nya termakan omonganku,” gumam Livia, sambil memainkan ujung rambutnya yang terurai.
Ia teringat percakapan terakhirnya dengan Ibu Arif. Ia tahu Ibu Arif sudah mulai merasa tidak nyaman dengan Amira. Pasti Ibu Arif tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya tentang Amira yang tiba-tiba datang begitu saja ke dalam keluarga mereka. Livia menganggap ini sebagai kesempatan emas—mungkin, justru orang tua Arif akan membantunya menjauhkan Amira dari kehidupan suaminya.
Namun, ketika Livia mendengar kabar dari seorang tetangga Arif yang datang mengunjungi rumah Arif, hatinya mulai terkejut. Mereka bilang, ternyata Ibu Arif dan Ayah Arif justru semakin dekat dengan Amira. Mereka berdua bahkan terlihat sangat akrab, menyambut Amira dengan tangan terbuka. Mereka tidak hanya menganggapnya sebagai menantu, tapi sudah seperti anak kandung sendiri.
Livia merasa seolah-olah tanah yang baru saja ia tabur dengan kebencian itu menghilang begitu saja. Semua rencananya untuk menjauhkan Amira dari Arif sepertinya gagal total.
“Hah, bagaimana bisa? Apa yang mereka lihat dari perempuan itu?” Livia berkata pada dirinya sendiri, merasa marah dan tak terima.
Ia merasa gagal, namun di sisi lain, ada perasaan aneh yang mulai muncul—rasa frustrasi yang semakin dalam. Selama ini ia merasa seperti berhasil mempengaruhi orang lain, namun sekarang, ia merasakan ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri yang seolah memihak Amira. Itu membuatnya semakin bingung, sekaligus membakar amarah yang belum padam.
“Kalau begitu, aku harus lebih hati-hati…” Livia berbisik pelan pada dirinya sendiri, mencoba merencanakan langkah selanjutnya.
Di dalam hatinya, Livia tidak menyerah. Ia tahu kalau dia ingin mendapatkan kembali perhatian Arif, ia harus membuat Amira terlihat kurang dari yang sebenarnya. Ia sudah cukup puas melihat kebahagiaan di wajahnya yang tampaknya semakin terancam, meskipun kenyataannya, semuanya jauh dari apa yang ia bayangkan.
Tapi Livia tahu, ini bukan akhir dari permainan. Ini baru permulaan.
Livia menatap bayangannya di cermin, senyumnya tipis, penuh perhitungan. Meskipun segala usahanya untuk memisahkan Amira dari Arif tampaknya sia-sia, ia merasa takkan berhenti begitu saja. Sejak awal, Livia tahu cara-cara licik untuk meraih tujuannya. Jika cara halus tak berhasil, maka ia akan memakai cara yang lebih keras.
Livia tak bisa menerima kenyataan bahwa Amira justru semakin disukai oleh orang tua Arif. Itu adalah pukulan bagi egonya yang selama ini berusaha menjadi wanita yang sempurna dalam pandangan Arif. Ia harus menemukan cara untuk mengubah segalanya, untuk mengembalikan kendali atas hidup Arif yang sudah mulai menjauh darinya.
Duduk di kursinya, Livia memikirkan langkah selanjutnya. Ia membutuhkan sesuatu yang bisa mengguncang posisi Amira di keluarga itu. Sesuatu yang bisa memutarbalikkan pandangan orang tua Arif, memunculkan keraguan besar pada diri Amira. Dan di benaknya, ada satu ide yang mulai muncul—sesuatu yang lebih buruk dari sekedar fitnah. Sesuatu yang bisa menghancurkan kepercayaan semua orang pada Amira.
Malam itu, ia menghubungi salah satu temannya yang bekerja di rumah sakit. Dengan nada tenang, ia mengungkapkan niatnya.
“Kau tahu, aku butuh bantuan untuk membuat Amira terlihat seperti… dia tak sebaik yang orang kira. Aku yakin, dengan sedikit bantuan dari informasi yang tepat, aku bisa membuat semuanya runtuh.”
Livia tersenyum tipis, membayangkan wajah Amira yang terkejut dan bingung. Selama ini Amira selalu terlihat begitu sempurna, begitu tulus. Tapi Livia tahu, di balik kesempurnaan itu, ada celah yang bisa dimanfaatkan.
**************************************
Livia berdiri di jendela rumahnya, memandang keluar dengan senyum puas. Rencananya mulai terwujud. Namun, untuk memastikan bahwa rumor tentang Amira akan sepenuhnya menggoyahkan kedudukannya di keluarga Arif, Livia tahu ia harus mengarahkannya lebih jauh. Tidak cukup hanya dengan gossip dan spekulasi; ia membutuhkan bukti, atau lebih tepatnya, sesuatu yang terlihat seperti bukti.
Sebuah ide brilian melintas di pikirannya. Ia bisa menggunakan orang lain—seseorang yang bisa membuat Amira tampak seperti wanita yang tidak setia pada suaminya. Dengan sedikit kebohongan yang diatur dengan cermat, ia bisa menanamkan keraguan yang lebih dalam di hati Arif dan orang tuanya. Livia tersenyum licik, lalu menghubungi seorang pria yang pernah bekerja sebagai asisten pribadinya di masa lalu.
“Jadi, kamu siap membantu aku?” tanya Livia dengan suara halus namun penuh ancaman.
Pria itu, sebut saja Rudi, mengangguk melalui telepon. “Tentu, Bu. Apa yang harus saya lakukan?”
“Kamu hanya perlu satu hal, Rudi. Kamu harus berpura-pura mengenal Amira, tapi sebenarnya kamu tidak tahu apa-apa tentang dia. Kamu akan menjadi pria yang ‘dekat’ dengannya, seseorang yang ‘terlihat’ sering berkomunikasi dengan dia. Kamu akan mengaku sebagai teman lama, mungkin teman dari kampus, dan kita akan menggunakan cerita itu untuk menambah keraguan tentang Amira. Ini akan sangat mudah.”
Rudi tertawa pelan. “Baik, Bu. Saya paham. Ini akan mudah dilakukan. Saya akan mulai bergerak sekarang.”
Setelah menutup telepon, Livia merasa puas. Ia tahu Rudi cukup pintar untuk memainkan peran ini dengan baik. Bahkan jika Amira tidak mengenalnya, orang-orang yang mendengar cerita itu—terutama orang tua Arif—akan merasa ragu. Bukti palsu itu bisa menjadi alat yang sangat berbahaya.
Livia memandangi ponselnya, memikirkan langkah selanjutnya. Semua sudah direncanakan dengan sempurna. Rudi akan muncul di tempat-tempat yang sering dikunjungi Amira, berpura-pura menjadi teman lama, sambil memicu kesan bahwa ada hubungan yang lebih dari sekadar pertemanan di antara mereka. Rencana ini akan membuat Amira tampak seperti wanita yang memiliki kehidupan tersembunyi, sesuatu yang harus disembunyikan dari suaminya. Ini adalah cara terbaik untuk menanamkan keraguan di hati Arif dan orang tuanya.
Selama beberapa hari ke depan, Livia akan secara terus menerus menyebarkan cerita yang dirancangnya dengan hati-hati, berbicara dengan orang-orang yang dekat dengan keluarga Arif terutama pada Ayah dan Ibu Arif. Ia mengaitkan Rudi dengan Amira lebih dalam lagi, menceritakan kisah-kisah yang seolah-olah berasal dari mulut Amira, namun jelas-jelas bohong. Setiap kata yang keluar dari mulutnya semakin membuat cerita tersebut terasa seperti kenyataan.
Malam itu, Livia merancang dengan sangat baik apa yang harus di sebarkan esok hari kepada keluarga Arif tersebut tentang Amira, di pikirannya dia tidak akan pernh membiarkan siapapun dekat dengan Arif.