Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbangun di Raga Berbeda
Pernahkah kalian membayangkan, kejadian tak masuk akal dari sebuah film menimpamu? Sebuah non-sense untuk dijelaskan secara sains. Sama halnya yang terjadi pada Laras. Setidaknya itu yang satu-satunya opsi paling masuk akal dari kejadian yang menimpanya.
Bagaimana bisa, tiba-tiba dia bangun di tubuh sosok yang terbaring di rumah sakit. Dengan selang dan infus yang berlomba menempel di tubuhnya. Laras hendak beranjak bangun, namun nyeri menyerang kepala dan beberapa titik. Gadis itu meringis, kembali menghempaskan badan ke ranjang. Apa yang terjadi dengannya?
"Rupanya kamu kuat juga."
Keterkejutannya yang belum usai, bertambah dengan kemunculan sosok yang entah sejak kapan masuk ke ruangan.
Laras mengernyitkan dahi. Menatap asing pada pria beraut datar itu.
"Siapa kamu?"
Pria itu justru mendecih. Terkekeh sinis setelahnya.
"Oh, rupanya kepalamu bermasalah?" menyeringai. "Baguslah. Aku tidak perlu repot-repot mengurusmu."
Pria itu berjalan dan duduk di kursi. Bersidekap angkuh. Tatapannya masih sama. Datar dan menyebalkan.
Laras berniat beranjak. Tapi lagi-lagi nyeri membuatnya mengurungkan niat. Gadis itu memejamkan mata. Nyeri yang menghantam rasanya. Dia kenapa sih? Perasaan, sebelumnya dia gak kenapa-napa. Seingatnya, pagi tadi dia joging di taman dekat rumahnya. Terus duduk di bangku. Menonton anak-anak yang bermain sepak bola. Setelah itu ...
Ah, dia ingat! Bola itu meluncur ke arahnya, dan tanpa ampun membentur kepalanya. Setelah itu tiba-tiba saja gelap. Dan dia gak ingat apa-apa. Apa jangan-jangan itu penyebabnya? Tapi, masak iya, bola doang bisa bikin dia masuk rumah sakit. Tapi, nyerinya gak cuma di kepala doang tuh. Kepalanya di perban. Terus, di tangannya juga ada.
Dan pria asing ini?!
"Kenapa menatapku?" pria itu sadar dirinya ditatap tajam olehnya.
Laras mendecih tipis. Dasar pria ketus angkuh.
"Pinjam hp-mu," ujarnya tak kalah ketus. Menengadahkan tangan.
"Buat?"
"Ck. Pinjem doang, bentar."
Pria itu menyeringai. "Kamu ingat?"
"Ingat apa sih? Dari tadi ngomong gak jelas. Tinggal pinjemin hp nya bentar apa susahnya. Gak bakal gue bawa lari. Lagian lo lihat sendiri, gue lagi sakit."
Pria itu tampak terkejut dengan ucapan Laras yang terkesan berani. Beberapa saat dia menatap gadis itu selidik.
"Kenapa lagi? Masih curiga sama gue? Takutan banget hp nya gue curi," kesal Laras. Lagian dia cuma pinjam bentar. Ada hal yang ingin dia pastikan. Tapi pria aneh itu justru mencurigainya. Menyebalkan! Karna kesal, Laras memalingkan wajahnya ke arah lain. Males ngeliat orang aneh itu.
"Nih."
Laras kembali menoleh. Ponsel di sodorkan ke arahnya.
"Laporkan saja. Aku tidak peduli."
Laras merebut ponsel itu cepat. Lantas jemarinya menggeser layar yang sudah menyala. Mencari aplikasi yang ditujunya.
"Ngomong gak jelas. Orang gue cuma mau mastiin sesuatu," gumamnya, sembari menekan kamera. Mengarahkan ke wajahnya sendiri. Memiringkan kepalanya ke kiri dan kanan. Kerutan di dahinya makin nampak. Tangannya ikut meraba, memencet hidungnya, memanyun dan meringiskan bibir. Sosok di kamera itu mengikuti gerakannya. Laras menarik napas panjang. Lantas menoleh ke pria yang ternyata masih berdiri di sebelahnya itu.
"Lo penipu, kan?" ucapnya, menyorot tajam. "Lo sengaja bawa gue ke rumah sakit, pura-pura ngatain gue amnesia, padahal niat lo mau meras keluarga gue?" tuduhnya.
Alih-alih mengelak, pria itu justru terkekeh. Mengambil ponselnya dari tangan Laras.
"Tidur. Aku panggilkan dokter," ujarnya tak menanggapi tuduhan Laras.
"Hey! Gue belum selesai!"
Pria itu hanya menggendikkan bahu. Berlalu.
"Woy! Pinjem ponselnya!"
Blam!
Laras merutuk. Sialan! Bahkan dia belum sempat menghubungi orang tuanya.
Arrh!
.
.
Tatapannya kosong. Laras masih syok dengan apa yang di dengarnya dari dokter. Dokter bilang, dia memang amnesia, gara-gara benturan keras akibat terjatuh dari tangga. Tapi, Bagaimana bisa? Dia cuma kena lemparan bola. Sekali lagi, penyebabnya adalah bola, bukan tangga!
"Untuk dua hari ke depan, ibu Bunga harus menjalani rawat inap. Sampai kondisinya benar-benar kondusif."
Bunga?
Ah, nama siapa lagi itu. Namanya bukan Bunga. Tapi dokter berkali-kali menyebutnya dengan nama itu. Dan baru dia sadari, nama bangsalnya juga tertulis Bunga Ferlisya. Bukan Larasati Velisya.
Laras tidak mendengarkan lagi percakapan dokter dan pria aneh itu. Isi kepalanya lebih ribut. Dia pusing, bagaimana kejadian ini bisa terjadi padanya. Sungguh, di luar nalar. Gak habis pikir.
Kekehan mengejek mengambil alih atensinya. Laras mengembuskan napas kasar. Melirik kesal pada pria itu.
"Jujur. Lo nyogok dokter buat bohongin gue, kan? Supaya gue percaya sama tipuan lo?" Laras menolak percaya. Dia masih berharap kalau ini cuma tipu muslihat pria itu untuk memerasnya.
Pria itu menaikkan sebelah alisnya. Smirk menyebalkan masih tersungging di bibirnya.
"For what? Sama sekali tidak ada untungnya menipu dirimu."
"Halah! Ngaku aja deh."
Pria itu menyodorkan ponselnya.
"Hubungi saja orang tuamu, kalau itu bisa membuatmu percaya."
Laras meraih kasar ponselnya. Namun, sejurus kemudian jemarinya terhenti. Dia gak inget nomor orang tuanya. Sama sekali. Yah, zaman sekarang, siapa sih yang masih sempat menghafalkan nomor? Yang bahkan nomor sendiri saja masih sering lupa. Hembusan kasar pertanda dirinya kesal. Kesal pada dirinya sendiri.
"Hem," menyodorkan ponsel, membuang pandangan.
"Kenapa? Tidak jadi? Bukannya kamu ingin membuktikan tuduhanmu?"
Laras mendecak. "Gue gak inget," ketusnya, masih memalingkan wajah.
Terdengar kekehan bernada ejekan. Siapa lagi sumbernya kalau bukan pria itu.
"Gue mau istirahat. Lo pergi aja sana. Awas aja berani macam-macam," tolehnya, jemarinya menunjuk wajah pria itu, mengancam.
Pria itu hanya tertawa, menyunggingkan smirknya.
Laras memiringkan tubuhnya. Memejamkan mata, paksa. Ayolah, dia masih berharap ini mimpi di alam bawah sadarnya. Bukannya seingat dirinya, terakhir kali dia pingsan? Semoga saja ini cuma mimpi.
"Sayang, Bunga gimana keadaannya?"
Mendengar ada suara orang lain, Laras menoleh. Pandangannya yang langsung bersitatap dengan wanita yang dia takar sekitar umur empat puluhan.
"Ah? Sayang ...."
Bunga mengerjapkan matanya saat wanita itu langsung menghampiri dan memeluknya.
"Gimana keadaanmu, sayang? Mama khawatir sekali mendengar kabar kamu jatuh dari tangga. Mama langsung minta papa buat pesen tiket pulang. Tapi sayangnya pekerjaan papamu gak bisa ditinggalin. Maafin mama ya? Pasti sakit sekali."
Laras masih diam. Diam karna bingung. Wanita itu mengecek luka di tubuhnya. Sorot khawatir terlihat jelas. Begitu perhatian memastikan keadaannya.
Laras menoleh ke arah pria aneh itu, yang tetap memasang wajah datarnya. Padahal sorotnya memberi kode, meminta jawaban, tentang - siapa wanita ini?
Pintu di dorong lagi dari luar. Kali ini seorang pria paruh baya, yang juga langsung memusatkan perhatian ke arahnya.
"Lihat, Pa. Luka Bunga parah begini. Bisa-bisanya papa malah mentingin pekerjaan. Untung aja Aksa gercep bawa ke rumah sakit. Aish, mama khawatir banget."
Aksa? Apa mungkin nama pria ini adalah Aksa?
"Iya, Ma. Papa minta maaf. Bunga, maafin papa, ya? Papa terkesan mementingkan pekerjaan."
Laras diam saja. Dia masih bingung mencerna situasi.
"Apa kata dokter, Sa?" Pria yang dipanggil papa itu menoleh pada si pria aneh. Alias Aksa. "Tidak ada luka serius, kan?"
"Ini pada kenapa sih? Kalian juga siapa?" tanyanya, memotong Aksa yang hendak menjawab. Sedari tadi dia diam saja, kepalanya rasanya mau meledak.
Seketika, tatapan terkejut tertuju padanya. Kecuali Aksa, tentu saja.
"Sa-sayang .... kamu ...." wanita itu menatapnya nanar.
"Sory, tante. Saya tidak tahu kenapa tante memberi saya perhatian. Saya tidak kenal tante. Juga dia, saya gak kenal."
"Sayang ...."
Wanita itu bahkan kini meneteskan air mata.
Aneh. Kenapa mereka bereaksi seperti itu? Padahal jelas-jelas dia gak kenal mereka. Dan, Laras juga gak ngerasa lupa ingatan, tuh. Buktinya, dia masih ingat siapa dirinya, dimana rumahnya. Juga nama orang tuanya. Jelas sejelas-jelasnya. Termasuk sejarah dirinya dari kecil. Sekolah dimana, teman-temannya siapa. Dia ingat jelas kenangan itu. Tapi orang-orang ini ... sikapnya aneh. Memperlakukannya seolah dia dekat dengan mereka.
"Bunga amnesia, Ma. Terbentur lantai, akibat jatuh." Aksa menjelaskan. Tetap dengan wajah datarnya.
"Ya Tuhan ...."
Wanita itu kembali memeluknya. Bahkan menangis. Si pria yang dipanggil papa itu tertegun. Mengembuskan napas panjang.
Entahlah. Kepalanya makin pusing.
.
.
Dua hari kemudian, dirinya sudah diperbolehkan pulang. Tidak ada pilihan lain, sementara ini Laras pasrah. Ikut saja orang-orang ini membawanya pulang. Lagipula, si Aksa-Aksa itu sudah berjanji padanya, kalau bakal nganterin dia pulang ke rumah, setelah sembuh nanti. Dan gak tahu kenapa, dia percaya kalau Aksa akan menepati janjinya untuk mengantarnya.
Setidaknya, kecurigaannya kalau pria itu penipu sudah gugur. Keluarga Aksa sekaya itu. Rumah orang tuanya besar dan mewah. Tidak mungkin pria itu berniat menipunya. Uangnya pasti sudah banyak.
Orang tua Aksa sebenarnya meminta dirinya untuk tinggal di rumah mereka. Tapi Aksa menolak. Dengan alasan, kalau lebih nyaman di rumah mereka sendiri. Mereka hanya menginap semalam di rumah orang tua Aksa. Dan pagi-pagi, Aksa membawanya pulang ke rumahnya. Rumah yang tak kalah mewah dari rumah orang tuanya. Sejauh ini, Aksa tidak memberinya perlakuan buruk. Minus saja di tingkah dan wajah datarnya yang menyebalkan itu. Sisanya, lumayan lah. Bahkan, sejak di rumah orang tuanya, Aksa yang mendorong kursi rodanya, memasuki rumah.
Hanya saja, ada yang membuatnya tertegun ...
Sebuah figura poto dimana disana ada dirinya dan Aksa. Berfoto berdua. Foto wedding.
Jadi, Aksa dan dirinya .... beneran suami istri? Foto itu nyata. Tapi, bagaimana bisa?!