Pada suatu masa dunia game menjadi rumah kedua bagi semua orang. Game bernama Another Life telah mengubah tatanan dunia menjadi di ambang kehancuran. Bidang perekonomian mengalami dampak terburuk. Banyak pabrik mengalami gulung tikar hingga membuat sembilan puluh persen produksi berbagai macam komoditas dunia berhenti.
Namun dibalik efek negatif tersebut, muncul banyak keluarga besar yang menjadi pondasi baru di tengah terpuruknya kehidupan. Mereka mengambil alih pabrik-pabrik dan memaksa roda perekonomian untuk kembali berputar.
Alex yang menjadi salah satu keturunan dari keluarga tersebut berniat untuk tidak mengikuti sepak terjang keluarganya yang telah banyak berperan penting dalam kehidupan di dunia Another Life. Alex ingin lepas dari nama besar keluarganya demi menikmati game dengan penuh kebebasan.
Namun kenyataan tidak seindah harapan. Kebebasan yang didambakan Alex ternyata membawa dirinya pada sebuah tanggung jawab besar yang dapat menentukan nasib seluruh isi planet.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putra Utra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menara Kehidupan
Alex duduk di kursi taman sekolah. Tubuhnya bersandar lunglai. Wajahnya menengadah, menatap langit biru yang sedang berhias gumpalan-gumpalan awan beraneka ragam bentuk dan ukuran.
"Hai bro! Kau sedang apa, bro?" kata seseorang, diikuti derap langkah yang terdengar semakin mengeras.
Tidak ada respon. Alex tetap mematung di tempat. Kedua matanya masih sibuk mengamati barisan awan. Gumpalan-gumpalan putih itu melaju beriringan ke arah timur.
"Apa ada masalah? Kenapa kau terlihat menyedihkan seperti itu?"
Dada Alex mengembang, lalu mengempis dengan perlahan saat udara di paru-parunya terpompa keluar. Dengan sedikit gerakan menoleh ke samping, Alex melirik laki-laki yang baru saja duduk di sebelahnya. Sosok tersebut mengenakan jubah toga berwarna kombinasi merah dan putih, sama seperti yang membungkus tubuh Alex. Wajahnya dipenuhi kebahagiaan.
"Aku baik-baik saja, Bud." kata Alex acuh. Pandangannya kembali menerawang ke atas. "Hanya saja… "
"Masih bingung harus memilih apa?" Budi memotong.
Alex menghela nafas. "Padahal hanya sebuah permainan, tapi kenapa harus serumit ini? Kenapa kita semua harus memainkannya? Ini sangat tidak masuk akal."
Budi ikut menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Pandangannya juga terlempar ke ketinggian langit. "Apa yang kau tanyakan juga menjadi tanda tanya besar bagiku. Aku rasa semua orang juga berpikiran seperti itu. Tapi ini adalah peraturan pemerintah dunia. Semua negara harus mengikutinya. Mau tidak mau kita sebagai rakyat hanya bisa mematuhi peraturan yang ada. Tujuh belas tahun adalah batas minimum untuk mulai memainkan game dan bagi siapa saja yang belum memainkannya hingga umur dua puluh tahun akan dihukum berat. Memang peraturan yang tidak masuk akal. Tapi yang jelas memainkan game memiliki maksud tertentu. Sebuah tujuan yang kemungkinan besar akan mempengaruhi kehidupan kita kelak."
"Ya. Kau benar. Sebagai rakyat kita harus mengikuti aturan yang ada. Tapi apa aku bisa disebut sebagai rakyat biasa?"
Budi terkekeh. Sejenak laki-laki berkepala botak itu menatap Alex dengan penuh belas kasihan. "Tentu saja tidak. Kau tergolong rakyat super elit. Begitu juga dengan semua keluargamu."
"Itulah yang membuatku merasa tidak nyaman. Aku tidak seperti keluargaku yang lain. Aku tidak bisa mengikuti aturan. Aku lebih menyukai kebebasan dan melakukan apa saja yang aku mau."
"Aku tahu itu. Tapi apa kakekmu akan membiarkanmu bertingkah seenaknya? Aku rasa dia akan langsung memburumu saat tahu kau tidak mengikuti jejak keluargamu."
"Aku pasti akan langsung dipenggal jika berani muncul di depan matanya."
"Dipenggal dengan sekali tebasan."
"Ya. Kakek tua itu pasti melakukannya tanpa belas kasihan."
"Kau benar. Kakekmu benar-benar mengerikan."
"Jauh lebih mengerikan dari Kaisar monster."
-----@@-----
Menara setinggi tiga ratus meter berdiri kokoh tepat di tengah Kota Semarang. Gedung pencakar langit itu berwarna putih. Bagian puncaknya runcing, membuat gedung tertinggi di provinsi jawa tengah itu terlihat seperti duri raksasa. Bangunan tersebut adalah Menara Kehidupan.
Alex turun dari bus. Pandangannya langsung mengarah ke Menara Kehidupan. Dengan perlahan dan santai, Alex menyusuri trotoar, menghadap mantap ke gedung yang menjadi salah satu server game Another Life.
"Ayo cepat! Aku sudah tidak sabar." seorang remaja seumuran Alex berceloteh. Dia berjalan bersama teman-temannya. Tidak jauh dari Alex.
"Aku juga ingin cepat memainkannya." sahut remaja lainnya.
"Uang! Uang! Uang! Tunggu aku! Aku akan mengambilmu!"
"Dasar otak uang! Apa hanya itu tujuanmu memainkan Another Life?"
"Tidak. Aku juga akan menjadi petualang terhebat dan menjadi yang terkuat."
Alex hanya bisa merekahkan senyum saat segerombol remaja di dekatnya membicarakan game Another Life dengan penuh semangat dan bebas. Tidak ada beban yang tergurat di wajah. Hanya ada kebahagiaan di mata mereka.
"Senangnya jadi mereka." Alex iri.
Tak berselang lama gerbang Menara Kehidupan menyambut semua calon pemain baru. Antusiasme terlihat jelas di sana. Senyuman, semangat dan kegembiraan mendominasi antrian yang cukup panjang dan berkelok-kelok layaknya ular.
"Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu?" Langkah Alex melambat saat melewati gerbang.
Bagi Alex situasi di sekitarnya sekarang bukan sesuatu yang selama ini dia bayangkan. Selama ini Alex selalu didoktrin oleh keluarganya jika game Another Life bukan sekedar permainan. game tersebut bisa mempengaruhi kehidupan nyata. Apapun yang terjadi di dalam game sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi kehidupan nyata setiap pemainnya, entah itu baik maupun buruk. Oleh karena itu seluruh keluarga Alex menganggap game yang dikendalikan oleh pemerintah dunia itu sebagai dunia kedua dan akan menjalaninya dengan serius.
Seraya mendekati ekor barisan, Alex mencoba mempengaruhi otaknya yang terlanjur terkontaminasi ajaran keluarganya sendiri. Alex berusaha menerima dan menganggap situasi di sekitarnya sebagai sebuah kewajaran.
"Sepertinya tidak seburuk yang kakek bilang." Alex mengamati keramaian di sekitarnya. Mau dilihat dari sisi manapun, mereka semua menebar kebahagiaan. Tidak ada guratan kekhawatiran di wajah mereka, apalagi ketakutan atas hancurnya masa depan jika seandainya permainan mereka hancur dan gagal total. "Baiklah! Aku akan menjadi seperti mereka." Senyum merekah lebar di bibir Alex.
Seiring berjalannya waktu, barisan bergerak perlahan ke depan. Alex yang awalnya berdiri di ekor barisan kini berada di bagian depan. Hanya tinggal menunggu belasan orang. Namun saat giliran Alex tiba, sebuah suara seketika menggelegar dan menarik perhatian semua orang di dalam barisan. Alex yang juga mendengarnya ikut menoleh ke sumber suara.
Sekitar lima puluh meter dari tempat pendaftaran, tepat di jalan setapak di tengah taman, sekelompok remaja laki-laki sedang berdiri angkuh di depan seorang gadis yang sedang sibuk memasukan beberapa perlengkapan ke dalam sebuah koper hitam. Beberapa satpam menghampiri tak lama kemudian. Mereka mencoba menengahi dan menenangkan situasi. Namun usaha mereka di acuhkan dan si gadis semakin mendapat perlakuan diskriminatif.
"Kenapa mereka selalu membuat masalah?" gerutu Alex seraya menggelengkan kepala. "Sepertinya mereka harus diberi pelajaran." Lanjut Alex seraya meninggalkan tempat pendaftaran. Langkahnya terayun cepat ke arah kericuhan yang kini menjadi pusat perhatian, dan dalam waktu singkat Alex berdiri di depan barisan kelompok yang mencoba menjadi pengacau di hari bersejarah bagi calon pemain Another Life.
"Sebenarnya seberapa besar kebencianmu padaku?" tanya seorang remaja laki-laki dengan suara tinggi saat Alex tiba dilokasi kericuhan. Laki-laki tersebut berperawakan kekar dan berambut merah menyala.
"Sudah aku bilang, aku tidak pernah membencimu. Hanya saja aku tidak suka caramu melampiaskan masalah dengan selalu membuat keributan. Bukankah kau tau itu, Miko."
Miko meludah ke samping. Tatapannya tajam dan penuh permusuhan. "Kau tidak mengenalku, dan kau tidak tahu apa-apa tentang masalahku. Jadi jangan bersikap seolah kau tahu segalanya tentang aku."
"Ayolah! Kita bicarakan ini baik-baik. Mungkin setelah..."
"Apa? Bicara? Jangan sok suci di depanku! Apa yang terjadi padaku sekarang itu karena keluargamu."
"Tapi… "
"Teman-teman ayo kita pergi! Tidak ada untungnya kita berada di sini."
Miko dan teman-temannya pergi layaknya kucing kehilangan mainan. Meninggalkan Alex bersama beberapa satpam dan gadis yang menjadi salah satu sumber keributan. Setelah memastikan semua sudah terkendali, para satpam ikut pergi.
"Kau baik-baik saja?" tanya Alex pada gadis di dekatnya.
"Ya. Terima kasih." balas gadis yang rambutnya dikuncir kepang itu. Setelah selesai memasukan semua barangnya yang tercecer ke dalam koper, gadis berkacamata tebal dan berwajah kusam itu berdiri dan sedikit membungkuk pada Alex sebelum pergi.
Alex yang akhirnya ditinggal sendirian hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya sudahlah! Tidak semua niat baik mendapat sesuatu yang menyenangkan, dan sepertinya aku harus mengantri lagi." Alex lesu saat pandangannya mendapati barisan antrian yang jauh lebih panjang dari sebelumnya.
support ceritaku juga ya....
Imajinasi dunia game yang berbeda dari novel sejenis.
Mantap.