NovelToon NovelToon
Hidup Yang Tidak Terpenuhi

Hidup Yang Tidak Terpenuhi

Status: tamat
Genre:Tamat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rifaat Pratama

Menganggur selama 3 tahun sejak aku lulus dari Sekolah Menengah Atas, aku tidak mengetahui ada kejadian yang mengubah hidupku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifaat Pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 1

Sudah 3 tahun semenjak aku lulus dari SMK. Namun, semenjak aku lulus dari sekolah itu aku tidak memiliki apapun. Pacar, uang ataupun pekerjaan. Aku selalu mengisi waktu luangku dengan membaca buku, menonton video dan terkadang bermain game. Aku memiliki impian untuk menjadi seorang penulis terkenal, aku menyukai ketika pikiran dan tanganku serasi ketika aku menulis. Rasanya seperti dunia berhenti dan hanya berpusat kepada diriku.

Aku saat ini tidak memiliki pekerjaan dan hanya berdiam diri di kamar setiap hari. Ayah dan Ibuku selalu menasihatiku untuk pergi melamar pekerjaan. Namun, aku masih yakin dengan mimpi yang kumiliki saat ini.

Seperti halnya diriku, Ayahku tidak bekerja. Semenjak kecelakaan yang membuat pembuluh darah di kepala pecah, karena terjatuh di kamar mandi hotel saat pergi dinas di luar kota. Ayah sempat dirawat 2 bulan di rumah sakit di sana, Ibuku menyusul Ayah dan meninggalkan aku dan adik-adikku di rumah.

Aku memiliki 3 adik dan aku adalah anak pertama, dengan uang yang selalu Ibuku berikan kepadaku setiap minggunya. Aku tidak menemukan kesulitan untuk mengurus adik-adikku. Walaupun tidak ada yang memasak diantara kami dan aku selalu membeli makanan jadi untuk adik-adikku, mereka tampaknya tidak keberatan.

Disaat Ayah pulang ke rumah, dia seperti tidak mengenaliku maupun adik-adikku. Kepalanya terbentur dengan keras hingga menghilangkan hampir setengah dari ingatannya. Namun, saat itu Ibuku sudah berbicara dengan dokter dan dokter mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya akan kembali seperti semula dan Ayahku akan bisa mengingatku dan adik-adikku kembali.

Meskipun Ayahku tidak pernah ke luar rumah untuk bekerja lagi, perusahaannya cukup baik dan selalu memberikan Ayahku gaji yang selalu dia terima setiap bulannya. Begitulah kami bisa hidup, tetapi pengeluaran seakan membengkak. Ibuku harus bekerja sendirian sekarang, membiayai sekolah adik-adikku. Walaupun begitu, aku tidak pernah meminta uang kepada orang tuaku lagi semenjak aku lulus. Aku bisa mencari penghasilanku sendiri dari permainan yang kumainkan.

Namun, meskipun aku memiliki penghasilan dari permainan yang aku mainkan. Ayahku selalu tidak setuju dengan apa yang aku lakukan. Ayah selalu duduk di ruang tamu sendirian, menatap ke luar pintu karena Ayah adalah seseorang yang biasa bekerja di luar ruangan. Terkadang dia juga pergi ke ruang keluarga untuk menonton televisi, walaupun tidak banyak yang bisa ditonton.

Malam ini, seperti biasa sangat sepi. Tiba-tiba Ayah berteriak memanggil namaku.

“Refa! Refa!” Ayahku berteriak memanggilku.

“Apa?” Aku tidak beranjak dari tempat tidurku, memegang ponsel dengan miring sambil tiduran karena sedang bermain game yang bisa menghasilkan uang untukku.

“Sini sebentar.” Ayah berkata dengan lemas.

Aku bangun dengan perasaan kesal, membanting kakiku ke kasur dan segera ke luar dari kamarku. “Ada apa?” Aku berkata sambil berteriak dari belakang pintu.

“Ayah pengen ngobrol sebentar, kamunya sini.” Ayah berkata dengan lemah lembut.

Aku tidak memiliki pilihan lain selain menurutinya. Aku ke luar dari kamarku, melewati ruang keluarga dengan keadaan televisi yang mati dan pergi ke ruang tamu yang gelap karena lampunya tidak dinyalakan.

Ayah sedang duduk bersandar di sofa di ruang tamu. Aku melihat Ayahku di matanya, matanya sangat kosong seperti tidak ada kehidupan di sana. Penerangan di ruang tamu sangat redup, pencahayaannya hanya berasal dari lampu teras dan lampu dari ruang keluarga. Meskipun begitu, tirai yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang keluarga membuat cahaya yang masuk menjadi tidak sempurna.

“Duduk.” Sesampai aku di depan Ayah, Ayah menunjuk kursi yang berada di depannya. Dengan hati yang berat aku duduk di sana. Aku merasa Ayah akan menceramahiku lagi untuk mencari pekerjaan.

Aku memang selalu merasa tidak enak karena aku tidak bisa berkontribusi di rumah ini, jadi setiap ada banyak pekerjaan rumah yang tertinggal karena Ibuku harus bekerja di luar. Aku selalu mengerjakannya, mencuci piring, mencuci seluruh pakaian, menyapu. Aku lakukan semua itu demi menjaga kontribusiku dalam keluarga ini dan setidaknya meringankan pekerjaan rumah yang tertinggalkan.

Ayah menatap diriku, dia menghela nafasnya dengan berat dan berkata: “Jadi kamu mau bagaimana nak? Kamu gak bisa kaya gini terus.”

Aku hanya menunduk mendengar pertanyaan Ayah, jujur aku memiliki rencana untuk hidupku sendiri. Namun, aku tidak bisa mengatakannya. Aku bukan orang yang ekspresif atau orang yang bisa mengatakan apa yang ada di dalam hatiku yang sesungguhnya.

Dengan berat hati aku berkata kepada Ayah: “Yah, aku masih pengen jadi penulis. Aku juga menghasilkan uang dari game yang kumainkan saat ini. Bukankah itu cukup untuk aku hidup dan aku juga tidak pernah meminta uang lagi?” Aku mencoba menjelaskan kepada Ayah.

Ayah sekali lagi menghela nafasnya. “Tapi kan game gak bisa bertahan selamanya nak. Kalau kamu kerja juga kamu bisa menulis di sela-sela waktu kamu.”

Aku memang tidak pernah mengatakannya, tetapi aku sudah mencoba melamar ke beberapa tempat. Mulai dari restoran sate, barista dan admin kantor. Seluruh pekerjaan yang menurutku bisa kulakukan aku mencobanya. Namun, hasilnya nihil.

Aku memiliki pikiran yang berlebihan ketika ingin melamar ke pekerjaan yang tidak aku sukai. Aku adalah orang yang selalu memikirkan kemungkinan negatif dalam hal apapun, padahal hal itu bisa saja tidak terjadi. Namun, semua pikiranku itu yang tidak membuatku keluar dari tempatku saat ini.

“Bunda, sekarang keluar-keluar nyari uang. Ayah gak mau kaya gitu, kasihan Bunda kamu. Ayah juga pengen kerja lagi, tapi fisik Ayah gak memungkinkan untuk Ayah kerja.” Ayah mulai menangis, dia menutupi wajahnya dengan telapak tangannya yang besar.

Pemandangan ini tidak menyenangkan untukku, aku tidak pernah melihat Ayah menangis dan aku tidak bisa melihat keluargaku menangis. Dengan sadar, mataku berkaca-kaca dan pandanganku mulai tertutup oleh air mataku. Aku tidak bisa menahan air mataku karena melihat Ayah yang selalu menjadi figur yang kuat tiba-tiba menangis di hadapanku seperti orang yang tidak berdaya.

Suasananya sangat canggung untuk berbicara, aku tidak ingin Ayah mendengar suaraku yang juga sedang menangis. Kemudian Ayah merangkulku dan memelukku.

“Yaudah, kalau kamu masih percaya sama mimpi kamu. Ayah cuma khawatir, kamu setiap hari di kamar terus. Ayah lihat kamu main game terus, Ayah ngiranya kamu gak ngapa-ngapain. Sok atuh, kamu tunjukkin kalau kamu memang sudah milih jalan kamu sendiri. Ayah bakal dukung kamu.” Entah kapan terakhir aku merasakan pelukannya Ayah, aku biasanya menjadi seseorang yang sangat sulit untuk disentuh apalagi dipeluk. Namun, kehangatan Ayah kali ini membuat aku tidak ingin melepaskannya.

Ayah menyentuh dadaku, menutup matanya dan berdoa. Aku tidak bisa mendengar apa yang Ayah katakan. Namun, aku yakin dia sedang berdoa untuk kebaikanku.

“Yaudah, Ayah cuma mau ngobrol itu aja.” Ayah kembali bersandar di sofanya dengan tatapan kosong, sementara itu aku dengan berat hati beranjak dari kursiku dan pergi ke kamar lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!