Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1.
Motor tambang yang membawa penumpang dengan pelan mengarungi selat Rengit menuju kota Kabupaten. Motor tambang adalah istilah yang digunakan oleh orang-orang suku Melayu Riau yang berarti kapal yang mengangkut penumpang.
Sudah dua jam Mumu berpanasan dan berhimpitan dalam motor tambang ini. Tapi hal tersebut tidaklah membuat ia merasa capek. Malah diwajahnya senantiasa terukir senyum karena sebentar lagi ia akan menginjakkan kakinya di kota Selatpanjang.
Selatpanjang adalah salah satu kota Kabupaten yang berada di Provinsi Riau.
...Betapa megahnya itu!...
Kata orang bekerja di kota itu enak, kerja santai setiap bulan nerima duit. Oleh karena itu dengan berbekal ijazah SMA-nya dan dengan berbagai pertimbangan yang matang akhirnya Mumu nekad untuk bekerja di kota Kabupaten.
Setengah jam kemudian Motor tambang merapat di pelabuhan. Dengan penuh kagum, Mumu mengikuti arus penumpang yang tergesa-gesa meniti jembatan memasuki lorong toko dan akhirnya muncul di depan toko milik orang cina tersebut.
Mumu menghirup nafas. Ah, inilah aroma kota. Ini adalah pasar Juling. Sejauh mata memandang, toko-toko berderet-deret sepanjang pantai. Pejalan kaki, sepeda motor dan becak hilir mudik memenuhi jalan menambah kebisingan kota ini.
"Becak, Dik?"
"Ngojek, Dik?" beberapa orang menawarkan jasanya.
"Kalau ke jalan Dorak dekat kantor Bupati berapa ongkosnya, Pak?" Sebelumnya Mumu sudah mendapat informasi area perkantoran kota Kabupaten ini berada di jalan Dorak.
"Tiga puluh ribu, Dik."
"Tak bisa kurang, Pak?" Mumu mencoba nawar. Setelah terjadi tawar menawar akhirnya disepakati ongkosnya menjadi dua puluh ribu rupiah.
Memang benar kata Bapaknya, di kota itu kita harus berani menawar.
Uang Mumu tidak banyak. Mengingat sebentar lagi ia akan mendapatkan pekerjaan, maka apa salahnya sedikit boros pikir Mumu.
Gedung kantor Bupati sangat megah. Mumu sangat takjub melihatnya. Jika saja Mumu tahu bahwa kantor Bupati ini tergolong sederhana jika dibandingkan dengan Kabupaten lain, mungkin Mumu akan pingsan.
Setelah agak ragu sejenak, Mumu memberanikan diri menuju pos jaga di samping pintu gerbang kantor Bupati.
"Mohon izin, Pak, apakah ada lowongan kerja di sini, Pak?" tanya Mumu sesopan mungkin.
Ada tiga orang yang jaga di pos ini. Menggunakan seragam dan berbadan tegap ditambah dengan kumis dan brewok membuat tampang ketiga penjaga itu sangat macho. Tapi ketiga pandangan Mumu agak ke bawah, melihat baju mereka yang super sempit di bagian perutnya yang menonjol, kesan macho tiba-tiba hilang dari pikiran Mumu.
"Tak ada lowongan kerja di sini." kata salah seorang penjaga yang sedang main game dihandponenya. "Pulang sana!"
Mumu heran, kan cuma bertanya kenapa harus emosi. "Kerja apa saja boleh, Pak. Kebetulan saya punya ijazah SMA." Kali ini pandangan Mumu menoleh ke arah pria paruh baya yang sedang menghisab rokoknya.
"Kamu ada rekom?" Pria paruh baya itu menjawab pertanyaan Mumu dengan balik bertanya.
"Rekom apa ya, Pak?" Mumu garuk-garuk kepala.
Pria paruh baya itu memandang Mumu dengan tatapan kasihan.
"Apakah kamu punya saudara yang kerja di sini?" tanyanya kemudian.
Mumu tambah heran. Apa memang seperti ini tata cara mencari kerja di kota.
Tapi belum sempat Mumu menjawab, tiba-tiba penjaga yang sedang main game tadi menghentakkan tangannya di meja. Wajahnya merah menahan marah.
"Kan sudah dibilang tak ada lowongan kerja di sini. Pergi sana!" hardiknya.
Cepat pergi! Sebelum aku tendang kamu keluar!"
Dengan terpaksa Mumu pun berbalik melangkah pergi.
Penjaga tadi masih marah-marah. Ketika melihat Mumu masih belum keluar dari pintu gerbang, emosinya kembali naik. Penjaga itu berdiri langsung menendang Mumu tepat dipunggungnya. Tak ayal Mumu langsung terlungkup mencium aspal.
"Kan sudah aku bilang tadi, cepat pergi dari sini. Berjalan seperti siput." Bentaknya.
"Sudah lah, Har!" Pria paruh baya menegur penjaga itu.
"Kamu tak apa-apa, Dik?" Dia menarik Mumu supaya berdiri. "Cepatlah kamu pergi dari sini. Kalau tidak kamu bakalan dipukul olehnya."
"Terima kasih banyak atas pertolongannya, Pak." Mumu membersihkan debu dan sedikit darah diwajahnya. Dengan hati yang sakit ia mulai melangkah menjauhi gerbang itu. Wajah yang tergores aspal masih bisa ditahan, penghinaan tanpa sebab yang jelas sungguh membuat hati terasa perih.
"Makanya kalau mau cari kerja tu jangan asal nyosor, Bung! Dasar orang kampung!" Tiba-tiba sebuah suara telah mengejutkan Mumu. Ia segera berpaling. Di pintu gerbang berdiri seorang pemuda yang berkacak pinggang sambil tertawa sinis. Entah sejak kapan dia berada di sana. Disampingnya ada seorang wanita cantik dengan rambut panjang sebahu.
"Maaf, bang. Abang ini siapa? Datang-datang langsung ngatain orang. Memangnya ada persoalan apa abang sama saya. Kenal saja tidak." Heran Mumu. Apa memang seperti ini sikap orang kota.
Suka cari masalah dengan orang lain.
"Hm. Terserah aku lah, apa yang mau aku katakan. Mulut, mulut aku. Lidah, Lidah aku. Kamu sebagai orang kampung seharusnya sadar diri. Kamu tak layak berada di sini."
Mumu hanya menatap wajah pemuda yang bernama Roni itu. Malas ia membalas. Belum selesai masalah dengan penjaga tadi sekarang timbul pula masalah baru dengan pemuda sombong yang suka cari perkara.
"Ha ha bang Hardi lama tak jumpa." Melihat Mumu tak membalas ucapannya Roni langsung menyapa petugas jaga sambil berjalan ke arah mereka. Sedangkan gadis tadi tetap diam sambil mengekor ke mana Roni pergi.
Karena sudah tak ada kepentingan di sini, Mumu langsung pergi dari sana.
Tapi lamat-lamat masih didengarnya obrolan Roni dan petugas yang bernama Hardi itu. Si Roni nampaknya sengaja mengeraskan suaranya supaya Mumu mendengar keperluannya.
Ternyata dia datang ingin mengantar gadis yang mengikutinya tadi untuk bekerja di bagian Kabag Hukum.
Mumu tak lagi ambil peduli. Paling tidak ia sudah mulai memahami arti lowongan kerja di sini. Kalau ada kenalan orang dalam, maka akan akan bisa kerja.
Tapi Mumu tak percaya semua kantor seperti itu.
Oleh sebab itu dengan sisa asa yang ada di dada, Mumu melanjutkan langkah kakinya menuju area perkantoran yang lain.
Walau pun semangatnya masih terpatri di dada, tapi tidaklah sekuat waktu ia masih di kampung.
Ternyata tidak mudah untuk mencari kerja di kota.
Ijazah SMA yang awalnya sangat ia banggakan ternyata susah laku di sini.
...****************...
"Kenapa kamu berlaku kasar terhadap pemuda tadi, Har?" Tanya pak Somad sambil menghirup kopi.
Hardi yang sedang main game tanpa sadar menghentikan permainannya. Ada sedikit rasa segan dihatinya terhadap pak Somad.
"Anak itu sangat menyebalkan. Kan sudah dibilang tak ada lowongan tapi masih saja ngeyel."
"Kenapa harus emosi sampai main fisik segala? Apa memang karena sebal terhadap anak itu atau karena kamu kalah main game?"
Hardi terdiam. Karena apa yang dikatakan oleh pak Somad memang benar. Dia kalah main game. Jadi anak tadi itu hanya pelampiasan emosinya saja.
Siapa juga suruh datang di saat yang salah pikir Hardi.
'Awas kamu jika ketemu lagi akan aku pukul hingga masuk rumah sakit. Gara-gara kamu, aku ditegur oleh pak Somad.' Gumam Hardi dalam hati.