Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
Ruang pertemuan di lantai dua gedung sekolah dipenuhi suara gaduh para orang tua yang mulai tak sabar menunggu. Kursi-kursi berderet memenuhi ruangan, dan di barisan depan, duduk beberapa guru serta pihak yayasan yang bersiap memberikan penjelasan. Di belakang mereka, wajah-wajah penuh tanda tanya menunggu klarifikasi atas semua kekacauan yang sempat viral beberapa minggu terakhir.
Nala duduk di deretan belakang bersama ayahnya. Wajah pria itu datar, tapi kedua matanya menyorotkan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Ia belum banyak bicara pada Nala sejak kabar surat peringatan itu tersebar. Sementara di sisi lain, ibu Juno tampak berbicara dengan guru BK, dan ayah Dita berdiri sambil mengecek jam tangannya berkali-kali.
Satu per satu orang tua mulai bersuara, mempertanyakan kenapa sekolah justru memberi sanksi pada siswa yang menyuarakan keresahan mereka. “Kami datang bukan untuk menyalahkan, tapi kami butuh penjelasan. Kenapa anak-anak kami yang dihukum?” tanya salah satu ayah dengan suara tenang namun tegas.
Kepala sekolah menghela napas panjang, lalu berdiri dan memegang mikrofon. “Kami memahami keresahan yang terjadi. Namun perlu diingat, bahwa semua siswa tetap harus mematuhi aturan. Podcast yang viral itu telah mencoreng nama baik sekolah dan melanggar etika penyampaian pendapat.”
Tiba-tiba, suara tawa sinis terdengar dari belakang. “Etika atau kenyamanan kalian yang terusik?” Suara itu milik ibu Nala, yang baru saja datang dan langsung duduk di sebelah suaminya. “Kalau kalian menganggap menyampaikan kebenaran itu melanggar etika, maka kita sudah gagal sebagai pendidik.”
Suasana ruangan seketika panas. Beberapa orang tua bertepuk tangan, namun sebagian besar terlihat ragu dan mulai berbisik-bisik. Sementara itu, Raka berdiri di pintu masuk bersama beberapa siswa lainnya, menyaksikan bagaimana orang dewasa saling lempar argumen.
Dita menatap Raka dari sisi lain ruangan, ekspresi wajahnya penuh campur aduk. Di satu sisi, ia bangga karena keberanian teman-temannya. Tapi di sisi lain, ia mulai merasa lelah. Semua ini mulai membebani pikirannya. Ia hanya ingin semua kembali seperti semula tapi ia tahu itu tidak mungkin.
“Anak saya tidak bersalah,” kata ayah Juno dengan suara bergetar. “Dia hanya menyuarakan isi hati banyak siswa. Dan jika itu dianggap kesalahan, maka kesalahan itu juga milik kita semua, para orang tua, yang membiarkan sistem ini terus berjalan tanpa pertanyaan.”
Guru BK mencoba menenangkan suasana dengan menyebut bahwa sekolah sedang dalam proses evaluasi. Namun, ibu Dita mengangkat tangan dan berkata, “Evaluasi tidak berarti apa-apa tanpa perubahan nyata. Kalian terus berbicara soal peraturan, tapi tidak pernah mendengarkan.”
Rapat itu berubah jadi medan perang argumen. Beberapa guru mulai kehilangan kesabaran, sementara pihak yayasan terlihat gelisah, terutama setelah beberapa media lokal mulai memberitakan ketegangan antara sekolah dan siswa.
Nala menatap ayahnya, mencoba menangkap isyarat atau reaksi, tapi pria itu hanya menatap ke depan. Hingga akhirnya ia berkata pelan, “Kalau kamu merasa apa yang kamu lakukan benar, Ayah akan berdiri di belakangmu.”
Kata-kata itu cukup membuat mata Nala berkaca-kaca. Ia tidak pernah mengira ayahnya yang pendiam itu akan mengatakan hal seperti itu di depan umum.
Saat rapat berakhir tanpa keputusan bulat, beberapa orang tua memutuskan untuk membuat forum sendiri. Mereka mengajak guru-guru progresif dan siswa yang terlibat untuk berdiskusi tanpa tekanan. “Kalau sekolah tidak bisa jadi rumah bagi dialog, maka kita akan ciptakan rumah itu sendiri,” kata salah satu orang tua.
Juno, yang sejak awal tak hadir di ruangan itu, muncul di luar gedung. Ia membawa lukisan baru potret ruang kelas yang kosong, dengan cahaya dari jendela masuk ke dalam, dan di papan tulis tertulis kata: "Dengarkan."
“Ini,” katanya pada Raka, “bukan akhir dari segalanya. Ini baru awal.”
Raka tersenyum, lalu menatap ke langit yang mulai mendung. Ia tahu, babak baru akan segera dimulai.