Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Pagi itu, aroma espresso buatan Damar beradu dengan aroma roti panggang. Senja duduk di meja makan, mengamati suaminya yang bersiap ke kantor. Ada ketenangan yang menaungi rumah itu, keheningan yang nyaman, bukan keheningan mencekam.
"Kau yakin hari ini tidak perlu kuantar ke kursus?" tanya Damar, menyerahkan cangkir kopi kepada Senja.
"Tidak, Sayang. Aku sudah bisa naik bus. Lagipula, kau punya janji penting dengan klienmu," jawab Senja, sambil menyesap kopi. "Hmm, kopimu hari ini lebih enak. Apa rahasianya?"
"Rahasia? Kau harus tahu, Suami-mu ini punya sentuhan ajaib," balas Damar, tersenyum lebar. Ia duduk di seberang Senja. "Tapi, kalau kopiku enak, itu artinya kau tidur nyenyak. Dan itu adalah pujian terindah dari istriku."
Senja tertawa kecil, suara yang Damar baru dengar sejak mereka menikah. "Aku juga harus bilang, sofa di ruang tamu kita sekarang lebih dingin. Aku jadi tidak tega melihatmu di sana."
Damar tertawa, mengerti sindiran itu merujuk pada malam-malam sebelumny. "Nah, sekarang aku punya alasanku sendiri untuk selalu pulang cepat. Jadi, tugasmu hari ini adalah bersinar di kursus fotografi dan jangan terlalu merindukanku."
Damar akhirnya mengantar Senja sampai halte bus. Di dalam mobil, Senja mencuri pandang ke wajah suaminya. Wajahnya sederhana, penuh tanggung jawab, jauh dari citra kekayaan Baskara atau Paramita, tetapi memancarkan aura kejujuran yang menenangkan.
"Aku sangat bersemangat hari ini," kata Senja. "Fotografi itu sangat menyenangkan. Aku tidak tahu aku akan menyukainya sebesar ini."
"Aku sudah bilang, kau pantas mendapatkan yang kau inginkan," kata Damar, memegang tangan Senja di konsol mobil. "Aku bangga padamu."
"Aku juga bangga padamu," balas Senja. Ia memajukan tubuhnya dan mengecup pipi Damar sebuah tindakan spontan yang berani. "Aku bangga memiliki suami yang tidak hanya melindungi, tapi juga orang yang sangat jujur dan sederhana."
Damar terkejut, pipinya sedikit memerah.
"Nah, kau mulai menggodaku. Cepat turun, atau aku akan terlambat ke kantor dan kau terlambat ke kursus!"
Senja tertawa, keluar dari mobil dengan hati yang ringan. Dia adalah istri dari seorang pria yang bangga padanya, bukan dari seseorang yang melihatnya sebagai sumber masalah.
Sore hari, Damar pulang tepat waktu. Ia menemukan Senja sedang berjuang dengan resep ayam asam manis di dapur. Ada tepung di pipi Senja.
"Astaga, kau sedang memasak atau sedang berperang?" canda Damar, tertawa.
"Aku sedang berusaha menjadi istri yang baik!" balas Senja, cemberut. "Tapi resep ini tidak mau bekerja sama denganku. Aku merindukan masakan sederhana Ibu Fatimah."
"Sini," kata Damar, mencuci tangan dan berdiri di belakang Senja. Ia memeluk Senja, tangannya meraih sendok di panci. "Satu-satunya cara agar resep ini berhasil adalah jika kita memasaknya berdua. Ini adalah dapur tim, Sayang. Beban dibagi, rasa juga dibagi."
Mereka memasak bersama. Damar mengajarkan Senja trik-trik memasak sederhana. Percakapan mereka penuh dengan candaan, tawa, dan sedikit adu argumen tentang rempah-rempah semua yang Senja tidak pernah alami di rumahnya dulu.
"Kau tahu, dulu, kalau aku membuat kesalahan kecil di dapur, ibu akan menyuruhku membersihkan seluruh rumah sebagai hukuman" kata Senja tiba-tiba, nada suaranya netral, tidak lagi penuh trauma, hanya bercerita fakta.
"Nah, sekarang, kalau kau membuat kesalahan," Damar mengangkat Senja dan mendudukkannya di counter dapur. "Kau harus membayar denda. Dendanya adalah ciuman."
Senja tersenyum, menyentuh pipi suaminya. "Aku pikir aku akan membuat banyak kesalahan, kalau begitu."
Malam menjelang, mereka berdua meringkuk di sofa, menonton film komedi. Damar memeluk Senja erat, dan Senja menyandarkan kepalanya di dada suaminya.
"Aku tidak pernah membayangkan kebahagiaan terasa sesederhana ini, Damar," bisik Senja.
"Hanya aroma kopi, tawa, dan menonton film di hari kerja bersamamu. Aku rasa, inilah surga."
"Surga itu ada di mana ada kau," balas Damar. "Besok, aku akan membuat janji dengan bank. Kita akan mulai mencari rumah yang lebih besar, dengan studio kecil untuk fotografimu. Bagaimana menurutmu?"
Senja mendongak, matanya berkaca-kaca. "Kau tidak harus melakukan itu. Aku senang di sini."
"Aku tahu. Tapi aku ingin memberikanmu ruang untuk bermimpi. Kita harus bersiap untuk masa depan kita, Sayang. Pernikahan ini bukan hanya tentang menyembuhkan masa lalu, tapi juga membangun masa depan yang kau inginkan."
Senja mencium rahang Damar, rasa terima kasih yang mendalam membanjiri hatinya. Ia menyadari bahwa cinta Damar adalah pelita yang tak pernah padam. Ia telah sepenuhnya menerima suaminya, dan ia siap menghadapi apa pun yang Paramita lemparkan pada mereka.
Mereka terlelap di sofa, kebahagiaan mereka terasa manis dan nyata, siap diuji oleh kekuatan jempol netijen yang bilang kalau Damar tidak akan setia sampai akhir.