NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.5k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Senyum di Balik Luka

Tujuh hari telah berlalu sejak noda darah itu mengotori ambang pintu gerbang, namun bagi Liang Wu, udara di Kuil Teratai Emas tidak pernah terasa bersih lagi.

Secara kasat mata, kehidupan di puncak Gunung Awan Putih telah kembali normal. Lonceng pagi berdentang, asap dupa mengepul ke langit, dan Guru Besar Xuan kembali memberikan ceramah tentang ketidakkekalan. Namun, ada nada sumbang dalam harmoni itu. Sebuah nada asing yang dimainkan oleh tamu di sayap barat.

Namanya Duan.

Dia pulih dengan kecepatan yang tidak wajar. Luka-luka yang seharusnya membuat orang biasa terbaring selama sebulan, kini hanya menyisakan keropeng tipis di kulitnya yang pucat. Guru Xuan menyebutnya "berkah dari pertobatan yang tulus", tetapi Liang Wu menyebutnya sebagai sesuatu yang lain: Ketahanan Iblis.

Pagi itu, kabut turun lebih tebal dari biasanya, menyelimuti halaman kuil dalam selimut abu-abu yang basah.

Liang Wu sedang membersihkan wadah dupa di depan aula utama ketika dia mendengar suara tawa. Itu bukan tawa berat gurunya, bukan pula tawa bisu Mei. Itu adalah tawa yang halus, sopan, namun memiliki getaran logam yang dingin.

Ia menoleh dan melihat pemandangan yang membuat perutnya mual.

Di dekat sumur, Duan sedang membantu Mei menimba air. Pria itu mengenakan jubah biksu abu-abu pinjaman yang sedikit kekecilan, membuat pergelangan tangannya yang kurus terlihat menonjol. Wajahnya yang dulu liar kini tampak bersih, rambutnya disisir rapi ke belakang, dan senyum santun terpasang di bibirnya.

"Biar aku saja, Nona Mei," kata Duan, suaranya lembut. "Tangan sehalus ini tidak seharusnya menarik tali kasar."

Mei tersenyum malu-malu, mengangguk terima kasih, lalu membiarkan Duan mengambil alih ember itu.

Liang Wu mencengkeram kain lap di tangannya. Ia melihat bagaimana mata Duan tidak tertuju pada ember air, melainkan melirik sekilas ke leher Mei yang terbuka sedikit saat gadis itu menunduk. Lirikan itu hanya berlangsung sepersekian detik—cepat, tajam, dan lapar—sebelum kembali menjadi tatapan teduh seorang pertapa.

Serigala tidak pernah menjadi anjing penjaga hanya karena dia diberi kalung, batin Liang Wu.

Ia melempar kain lapnya dan berjalan cepat mendekati mereka. Langkah kakinya sengaja dibuat berat agar terdengar.

"Saudara Duan," panggil Liang Wu datar. "Guru Besar Xuan menunggumu di aula untuk sesi penyalinan sutra pagi. Jangan biarkan beliau menunggu."

Duan menoleh. Senyumnya melebar, menampilkan deretan gigi yang terlalu putih. "Ah, Saudara Muda Liang. Maafkan aku. Aku hanya tidak tega melihat Nona Mei bekerja sendirian sementara aku menumpang makan dan tidur di sini."

"Mei sudah melakukan ini selama sepuluh tahun. Dia lebih kuat dari kelihatannya," balas Liang Wu, posisinya kini berdiri tepat di antara Duan dan Mei, memutus pandangan pria itu. Ia menoleh sedikit ke arah Mei dan memberi isyarat tangan cepat. Kembalilah ke dapur.

Mei menatap Liang Wu dengan bingung, merasa sikap pemuda itu terlalu kasar pada tamu mereka, tapi dia patuh. Dia membungkuk hormat pada Duan lalu bergegas pergi membawa ember airnya.

Setelah Mei hilang di balik pintu dapur, senyum di wajah Duan menyusut sedikit, meski tidak hilang sepenuhnya.

"Kau sangat protektif, Saudara Muda," kata Duan pelan. Matanya yang sipit menatap Liang Wu, seolah sedang membedah isi kepalanya. "Itu sifat yang bagus. Tapi di jalan Buddha, kemelekatan pada seseorang adalah akar penderitaan, bukan?"

"Dan di jalan manusia, kewaspadaan adalah akar keselamatan," jawab Liang Wu dingin. "Jangan kira aku tidak melihat caramu menatapnya."

Duan tertawa kecil, suara yang terdengar seperti gesekan dua batu kali. Dia melangkah maju, mempersempit jarak hingga Liang Wu bisa mencium aroma tubuhnya—campuran aneh antara bau herbal obat dan bau tembaga darah yang samar.

"Kau salah paham, Saudara Muda. Aku hanya mengagumi kecantikannya. Di sekte lamaku... wanita bisu sering dianggap sebagai komoditas berharga. Mereka tidak bisa berteriak, kau tahu?"

Darah Liang Wu mendidih. "Tutup mulutmu."

"Tenanglah," Duan mengangkat kedua tangannya dengan gaya menyerah yang mengejek. "Itu masa lalu. Aku sudah bertobat, ingat? Guru Xuan bilang masa lalu adalah debu. Kenapa kau masih memungut debu itu?"

Sebelum Liang Wu bisa membalas, suara langkah kaki terdengar dari koridor.

"Wu'er? Duan?"

Guru Besar Xuan muncul, memegang gulungan kitab di tangannya. Wajahnya berseri-seri melihat kedua pemuda itu berdiri berdekatan.

"Ah, bagus sekali kalian berbincang," kata Guru Xuan sambil tersenyum. "Duan, aku baru saja memeriksa salinan Sutra Hati yang kau tulis kemarin. Tulisanmu memiliki kekuatan. Ada ketenangan di setiap goresannya."

Duan segera membungkuk dalam, wajahnya berubah instan menjadi topeng kerendahan hati yang sempurna. "Guru terlalu memuji. Tinta itu hanya mengikuti bimbingan Guru. Tangan saya masih kotor oleh dosa, saya hanya mencoba mencucinya dengan tinta suci."

Guru Xuan mengangguk puas, lalu menatap Liang Wu. "Lihat, Wu'er? Seseorang bisa berubah jika diberi kesempatan. Kau harus belajar darinya tentang ketekunan."

Liang Wu merasakan kepahitan naik ke tenggorokannya. Ia ingin berteriak, ingin memberitahu Gurunya apa yang baru saja dikatakan Duan tentang Mei. Tapi ia melihat tatapan Gurunya—tatapan penuh harap itu—dan kata-kata itu mati di lidahnya. Jika ia bicara sekarang, ia hanya akan terdengar seperti murid yang iri hati dan pendendam.

"Baik, Guru," kata Liang Wu akhirnya, suaranya serak. "Saya akan... belajar."

"Bagus," Guru Xuan menepuk bahu Duan. "Mari, Duan. Aku ingin menunjukkan koleksi di Paviliun Kitab Kuno. Mungkin ada naskah yang bisa membantumu memulihkan meridianmu yang rusak."

Mata Duan berbinar. Kilatan itu kembali—kilatan keserakahan yang telanjang. "Paviliun Kitab Kuno? Apakah... apakah murid pendosa ini pantas memasukinya? Saya dengar di sana tersimpan teknik warisan Kuil Teratai Emas yang legendaris."

"Ilmu tidak memiliki pemilik, Duan. Ia hanya memiliki wadah. Jika wadahmu siap, ilmu itu milikmu," jawab Guru Xuan dengan kenaifan yang menyakitkan.

Mereka berdua berjalan pergi menuju bangunan kayu dua lantai di belakang aula utama. Liang Wu ditinggalkan sendirian di dekat sumur, ditemani ember air yang permukaannya beriak, memantulkan wajahnya yang keruh oleh amarah.

Malam itu, hujan turun membasahi Gunung Awan Putih.

Liang Wu tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar pada tatapan Duan di leher Mei dan kilatan matanya saat mendengar tentang Paviliun Kitab. Intuisinya menjerit bahwa ada sesuatu yang salah. Sangat salah.

Ia bangkit dari tempat tidurnya, menyalakan pelita minyak kecil, dan memutuskan untuk berpatroli.

Lorong-lorong kuil sunyi, hanya suara hujan yang menghantam genting. Namun, saat ia melewati halaman belakang yang mengarah ke sayap barat—kamar Duan—langkahnya terhenti.

Di tanah basah dekat rumpun bambu, ia melihat sesuatu yang kecil tergeletak.

Liang Wu mendekatkan pelitanya.

Itu adalah seekor burung pipit. Mati.

Tapi burung itu tidak mati karena jatuh atau sakit. Lehernya patah, dipuntir dengan sudut yang tidak wajar. Dan yang lebih mengerikan, tubuh burung kecil itu kering. Keriput. Seolah-olah setiap tetes darah dan cairannya telah disedot habis.

Liang Wu berjongkok, menyentuh bangkai kering itu. Masih hangat.

Teknik Penyerap Darah.

Ini adalah teknik dasar dari sekte sesat tingkat rendah untuk memulihkan tenaga dalam dengan cepat. Mengorbankan nyawa makhluk hidup untuk mengisi ulang Qi.

Jantung Liang Wu berdegup kencang. Ia menatap ke arah jendela kamar Duan yang gelap.

Jika hari ini burung pipit... besok apa?

Atau siapa?

Liang Wu berdiri, memadamkan pelitanya agar tidak terlihat. Ia mencengkeram tasbih kayu cendana di lehernya, jari-jarinya memutih. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak berdoa memohon keselamatan.

Malam itu, di tengah hujan yang menderu, Liang Wu berdoa memohon kekuatan untuk melakukan apa yang tidak berani dilakukan gurunya.

Ia berdoa memohon keberanian untuk menjadi hakim.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!