NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5: Investigasi Dimulai

#

Larasati tidak tidur semalaman.

Dia berbaring di ranjang kamar tamu yang terasa asing—kamar yang dulu mereka jadikan ruang tamu jarang terpakai, sekarang jadi pelariannya dari suami yang berbohong di kamar sebelah. Matanya terbuka menatap langit-langit, mendengar setiap bunyi rumah: AC yang mendengung, jam dinding yang berdetak, dan kadang—sangat jarang—langkah kaki Gavin yang mondar-mandir di kamar utama.

Apakah dia juga tidak bisa tidur? Apakah dia merasa bersalah?

Atau dia sedang chat dengan Kiran, merencanakan pertemuan besok malam?

Pikiran itu membuat perut Larasati mual. Tapi di tengah kepedihan itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dingin, lebih tajam. Tekad.

Dia tidak akan jadi istri bodoh yang menutup mata. Tidak akan jadi perempuan yang menangis sendirian sambil suaminya bersenang-senang dengan perempuan lain. Jika Gavin ingin bermain api, Larasati akan pastikan mereka semua terbakar.

Tapi untuk itu, dia butuh bukti. Bukti nyata. Bukan hanya email atau pesan—tapi bukti visual yang tidak bisa dibantah.

Jam menunjuk pukul lima pagi saat Larasati akhirnya bangkit. Dia mandi dengan air dingin, berharap bisa membangunkan tubuh yang terasa seperti mayat hidup. Lalu dia berpakaian rapi—celana jeans hitam, kemeja putih simpel, kacamata hitam besar yang dia jarang pakai. Penampilannya harus anonim, tidak mencolok.

Di dapur, dia membuat kopi. Tangannya stabil sekarang—tidak gemetar lagi seperti kemarin. Entah kenapa, keputusan untuk bertindak membuat sesuatu dalam dirinya menjadi tenang. Seperti tentara yang sudah siap berperang.

Gavin turun jam tujuh, sudah rapi dengan jas abu-abu gelap dan dasi biru. Dia berhenti saat melihat Larasati di dapur—ekspresinya hati-hati, seperti melihat bom yang bisa meledak kapan saja.

"Pagi," katanya pelan.

"Pagi." Suara Larasati datar, tidak ada emosi.

Gavin mengambil cangkir, menuangkan kopi. Mereka berdiri di dapur yang sama tapi terasa seperti di dunia berbeda—ada dinding tak terlihat di antara mereka yang terbuat dari kebohongan dan pengkhianatan.

"Lara, tentang semalam—"

"Aku tidak mau bahas sekarang," potong Larasati, masih memunggunginya sambil memotong buah untuk sarapan Abimanyu. "Abi akan bangun sebentar lagi. Dia tidak perlu lihat kita... seperti ini."

Gavin diam sejenak. "Oke. Tapi kita harus bicara, Lara. Kita tidak bisa—"

"Nanti." Larasati berbalik, menatapnya dengan mata kosong. "Kamu sibuk kan hari ini? Ada meeting seharian? Atau... janji lain?"

Gavin menegang. Rahangnya mengeras. "Aku ada meeting sampai sore. Lalu mungkin ada dinner dengan klien."

Bohong. Larasati tahu itu bohong. Tapi dia tidak bilang apa-apa. Dia hanya mengangguk, tersenyum tipis—senyum yang tidak sampai ke mata.

"Hati-hati di jalan," katanya, dan kembali memotong buah.

Gavin menatapnya cukup lama—Larasati bisa merasakan tatapannya di punggung. Lalu dia dengar langkah kaki menjauh, pintu depan terbuka dan tertutup, mesin mobil menyala lalu menghilang.

Larasati meletakkan pisau dengan perlahan. Tangannya gemetar sekarang—tidak karena takut, tapi karena amarah yang dia tahan. Dia ambil ponselnya, menelepon Aurellia.

"Lara? Pagi banget—"

"Lia, aku butuh bantuan," potong Larasati. "Aku butuh sewa mobil. Yang tidak mencolok. Dan aku butuh kamu temani aku hari ini."

Suara Aurellia langsung serius. "Lara, kamu mau—"

"Aku mau lihat sendiri," kata Larasati, suaranya keras, tegas. "Aku mau bukti yang tidak bisa dia bantah. Kamu bisa bantu aku atau tidak?"

Aurellia diam sejenak, lalu: "Aku akan ke rumahmu jam delapan. Siap-siap ya."

---

Setelah mengantarkan Abimanyu ke sekolah—dengan pelukan ekstra erat dan ciuman ekstra panjang di kening, seolah dia mencoba menyimpan kehangatan anaknya untuk menghadapi dinginnya hari ini—Larasati pulang dan menemukan Aurellia sudah menunggu.

Sahabatnya turun dari mobil sedan hitam yang tidak mencolok—bukan mobil biasanya yang merah sporty. Aurellia pakai kacamata hitam besar dan topi baseball, seperti mata-mata di film.

"Ini mobil rental," kata Aurellia, melempar kunci ke Larasati. "Atas nama gue, jadi aman. Dan ini." Dia mengeluarkan kamera DSLR dari tasnya. "Telephoto lens. Bisa foto jarak jauh dengan jelas."

Larasati menatap kamera itu, lalu menatap sahabatnya. "Kamu... kamu udah siapin semua ini?"

"Gue tahu lo bakal sampai di titik ini," kata Aurellia pelan. "Sejak gue cerita soal liat Gavin di restoran. Gue cuma tunggu lo siap." Dia menggenggam tangan Larasati. "Dan sekarang lo siap kan?"

Larasati mengangguk. "Aku harus tahu, Lia. Aku harus lihat dengan mata kepalaku sendiri. Kalau tidak, aku akan terus bertanya-tanya, terus berharap mungkin aku salah, mungkin ini cuma kesalahpahaman—"

"Tapi lo tahu ini bukan kesalahpahaman."

"Aku tahu." Larasati menarik napas panjang. "Tapi aku butuh bukti. Buat aku sendiri. Buat... nanti."

Aurellia mengangguk paham. "Okay. Mari kita lakukan ini."

---

Mereka parkir di seberang kantor Narendra Group jam sembilan pagi. Gedung pencakar langit dengan kaca biru mengkilap—kebanggaan Gavin, warisan yang dia kembangkan dari perusahaan ayahnya. Dulu, Larasati bangga saat Gavin cerita tentang pencapaiannya. Sekarang, gedung itu hanya simbol dari semua yang dia korbankan—karirnya, impiannya, identitasnya—untuk mendukung ambisi suami yang akhirnya mengkhianatinya.

"Gavin biasanya meeting dimana?" tanya Aurellia sambil mengatur kamera.

"Kalau meeting penting, di ruang boardroom lantai 25. Tapi kalau meeting sama... dia," Larasati hampir tersedak menyebut nama Kiran, "biasanya di kantor Gavin. Lantai 28."

Mereka menunggu. Jam berdetak lambat. Aurellia membeli kopi dari vendor dekat situ, mereka minum sambil berpura-pura scrolling ponsel seperti orang biasa yang sedang menunggu seseorang.

Pukul sebelas, Larasati melihatnya.

Kiran keluar dari pintu depan gedung—rambut panjang bergelombang tertata sempurna, gaun kerja biru navy yang pas di tubuhnya, heels yang membuat langkahnya percaya diri. Dia cantik. Sangat cantik. Tipe cantik yang membuat orang menoleh saat dia lewat.

Dan lima menit kemudian, Gavin keluar. Jas abu-abu yang sama yang dia pakai pagi ini. Mereka tidak keluar bersama—terlalu obvious. Tapi Larasati melihat cara mereka berjalan ke arah yang sama, ke restoran di gedung sebelah.

"Itu dia," bisik Larasati, tangannya mencengkeram dashboard.

Aurellia sudah siap dengan kamera. "Gue foto?"

"Belum. Tunggu sampai mereka... sampai ada yang jelas."

Mereka pindah parkir lebih dekat ke restoran—Italia mewah dengan jendela kaca besar. Dari luar, mereka bisa lihat Gavin dan Kiran duduk di meja pojok, yang agak tersembunyi tapi masih kelihatan dari sudut tertentu.

Aurellia zoom kameranya. "Lara... lo yakin mau lihat ini?"

Larasati tidak menjawab. Matanya terpaku pada suaminya di dalam restoran.

Gavin tersenyum—senyum yang belum dia lihat berbulan-bulan. Senyum yang dulu hanya untuk dia. Sekarang untuk Kiran.

Mereka tertawa. Kiran menyentuh lengan Gavin di atas meja—sentuhan kecil, tapi intim. Gavin tidak menjauhkan tangannya. Malah dia balik memegang tangan Kiran, mengusapnya dengan ibu jari.

Klik. Klik. Klik.

Aurellia mengambil foto. Tapi Larasati bahkan tidak mendengar suara shutter. Dia terlalu fokus pada pemandangan di depannya—pada cara suaminya menatap perempuan lain dengan tatapan yang dulu miliknya.

Pelayan datang dengan makanan. Mereka makan sambil ngobrol, sesekali tertawa. Seperti pasangan normal. Seperti pasangan yang jatuh cinta.

Dan yang paling menyakitkan—Gavin terlihat bahagia. Lebih bahagia dari yang pernah Larasati lihat bertahun-tahun terakhir.

"Lara, lo menangis," bisik Aurellia.

Larasati menyentuh pipinya—basah. Dia tidak sadar dia menangis. Tapi air matanya mengalir deras sekarang, kabur membuat pandangannya blur.

"Gue foto dulu ya," kata Aurellia lembut, dan terus mengambil foto sebagai bukti.

Setelah lunch selesai, Gavin dan Kiran keluar bersama. Kali ini mereka tidak berpura-pura lagi—mereka berjalan berdekatan, hampir menyentuh. Di depan gedung, sebelum masuk, Kiran berdiri menghadap Gavin, merapikan dasinya—gerakan istri, gerakan intim—dan Gavin membiarkan, bahkan tersenyum.

Klik. Klik.

Lebih banyak bukti.

"Okay, mereka balik ke kantor," kata Aurellia. "Lo mau tunggu sampai—"

"Sampai sore," potong Larasati dengan suara serak. "Aku mau lihat dia ke mana setelah kantor."

---

Mereka menunggu berjam-jam. Beli makan siang, tapi Larasati tidak bisa makan—makanan terasa seperti abu di mulutnya. Aurellia coba mengajaknya bicara, alihkan pikiran, tapi Larasati hanya diam, menatap gedung itu seperti menatap musuh.

Pukul tujuh malam, langit sudah gelap. Karyawan mulai keluar dari gedung—pulang ke rumah mereka, ke keluarga mereka, ke kehidupan normal mereka.

Lalu dia melihat Gavin keluar—tidak dengan jas kantor lagi, tapi casual dengan kemeja lengan panjang yang digulung. Dia bawa tas kecil. Langkahnya cepat, seperti orang yang menantikan sesuatu.

Lima menit kemudian, Kiran keluar—sudah ganti baju juga. Gaun hitam simpel tapi elegan, rambut terurai. Dia naik ke mobil sendiri—Mazda putih.

"Ikutin mobilnya," kata Larasati cepat.

Aurellia nyalakan mesin. "Yang mana? Gavin atau Kiran?"

"Gavin."

Mereka mengikuti BMW hitam Gavin dengan jarak aman. Gavin keluar dari area bisnis, melewati jalan-jalan Jakarta yang mulai macet. Lalu masuk ke area SCBD—area apartemen mewah.

Larasati tahu ke mana mereka akan pergi. Tapi melihatnya secara langsung membuat dadanya sesak, napasnya pendek.

Gavin parkir di basement apartemen mewah—Senopati Suites, gedung dengan harga sewa yang fantastis. Larasati dan Aurellia parkir jauh, di spot yang tidak kelihatan tapi masih bisa lihat pintu masuk.

"Gue tunggu di sini," kata Aurellia. "Lo—"

"Aku akan turun sebentar." Larasati sudah buka pintu mobil.

"Lara, itu bahaya—"

"Aku cuma mau lihat. Aku janji gak akan bikin ribut." Belum, tambah Larasati dalam hati. Belum waktunya.

Dia keluar dengan kacamata hitam dan topi—meski sudah malam, dia tidak mau risiko tertangkap CCTV dengan jelas. Dia berjalan ke lobi apartemen, berpura-pura menunggu seseorang di sofa lobby.

Dari sini dia bisa lihat lift. Lima menit kemudian, Kiran datang—masuk dengan percaya diri, tersenyum pada security seperti dia sering ke sini.

Kiran naik lift. Layar digital menunjukkan lift berhenti di lantai 18.

Larasati duduk di lobby, menunggu. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar. Tapi dia harus lihat. Harus tahu.

Setengah jam berlalu. Satu jam. Tidak ada yang keluar. Mereka di atas sana—di apartemen, berdua, melakukan hal-hal yang seharusnya hanya untuk pasangan yang menikah.

Melakukan hal-hal yang dulu Gavin lakukan dengan Larasati.

Larasati tidak tahan lagi. Dia keluar dari lobby, berjalan cepat kembali ke mobil. Aurellia langsung melihat wajahnya—wajah yang pucat, mata yang merah, bibir yang bergetar.

"Lara—"

"Foto gedungnya," kata Larasati dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Foto plat nomor mobilnya. Semuanya. Aku butuh bukti mereka di sini, sekarang."

Aurellia tidak bertanya lagi. Dia ambil kamera, foto gedung apartemen dengan jelas, foto plat mobil Gavin dan Kiran. Bukti bahwa mereka berdua ada di sini, malam ini, bersama.

Larasati duduk di kursi penumpang, memeluk tubuhnya sendiri. Seluruh tubuhnya gemetar—tidak karena dingin, tapi karena shock, karena sakit yang terlalu besar untuk ditampung.

Ini nyata. Semuanya nyata.

Gavin dan Kiran. Bersama. Di apartemen. Sekarang.

Sementara dia di sini, sendirian, hancur.

"Lo mau pulang?" tanya Aurellia lembut.

Larasati menggeleng. "Aku mau tunggu. Aku mau lihat kapan dia keluar."

"Lara, itu bisa berjam-jam—"

"Aku tidak peduli." Suara Larasati keras, putus asa. "Aku sudah sampai sejauh ini. Aku harus lihat sampai akhir."

Mereka menunggu. Jam berlalu seperti siksaan. Pukul sembilan. Pukul sepuluh. Pukul sebelas.

Akhirnya, pukul sebelas lewat tiga puluh menit, Gavin keluar dari lobby. Rambutnya berantakan, kemejanya kusut, senyum masih menempel di wajahnya.

Klik. Aurellia foto.

Gavin masuk ke mobilnya, tapi tidak langsung pergi. Dia ambil ponsel, ketik sesuatu—kemungkinan pesan untuk Kiran. Lalu dia tersenyum lagi—senyum puas, senyum pria yang baru saja menghabiskan malam dengan selingkuhannya—dan menyalakan mesin.

"Ayo pulang," bisik Larasati. "Aku sudah cukup lihat."

---

Mereka pulang dalam keheningan. Aurellia tidak tanya apa-apa, tidak bilang apa-apa—dia tahu Larasati butuh diam.

Di depan rumah, Larasati turun dengan kaki yang terasa seperti timah.

"Lo punya semua buktinya sekarang," kata Aurellia pelan. "Foto, email, semuanya. Lo bisa—"

"Aku tahu." Larasati menatap rumahnya—rumah besar yang kosong, yang tidak lagi terasa seperti rumah. "Terima kasih, Lia. Untuk semuanya."

"Apapun yang lo butuhkan, kapanpun, gue ada." Aurellia memeluknya erat. "Lo gak sendirian, Lara."

Tapi saat Larasati masuk ke rumahnya yang gelap, sepi, dia merasa sangat sendirian.

Dia naik ke kamar tamu—kamarnya sekarang. Duduk di ranjah, menatap ponselnya. Tidak ada pesan dari Gavin. Tentu saja tidak. Dia masih dalam perjalanan pulang dari apartemen Kiran.

Larasati buka gallery foto yang Aurellia kirim via airdrop. Ratusan foto—bukti pengkhianatan suaminya. Foto Gavin dan Kiran tertawa di restoran. Foto mereka bergandengan tangan. Foto mereka masuk ke gedung apartemen.

Setiap foto seperti pukulan. Tapi Larasati tidak menangis lagi. Tidak ada lagi air mata. Hanya kekosongan yang dalam, lubang hitam di dadanya yang menelan semua perasaan.

Jam satu pagi, dia dengar mobil masuk garasi. Pintu depan buka, langkah kaki naik tangga, berhenti di depan kamar tamu.

Ketukan pelan. "Lara? Lo tidur?"

Larasati tidak jawab. Dia berbaring memunggungi pintu, pura-pura tidur.

Gavin diam sejenak di luar, lalu langkahnya menjauh ke kamar utama.

Larasati menatap tembok dengan mata terbuka, mendengar suara air shower di kamar sebelah—Gavin mandi, mencuci bau parfum Kiran, mencuci bukti perselingkuhannya.

Lalu semuanya sepi.

---

Pagi harinya, Larasati bangun lebih awal. Dia siapkan sarapan seperti biasa—pancake untuk Abimanyu, kopi untuk Gavin, seolah semalam tidak terjadi apa-apa.

Gavin turun dengan wajah yang agak canggung. "Pagi."

"Pagi." Larasati tersenyum—senyum yang tidak sampai ke mata, tapi cukup untuk menutupi.

Dia taruh piring sarapan di depan Gavin—omelet dengan toast, seperti yang dia suka.

"Thanks," kata Gavin, duduk dengan hati-hati, seperti takut bom akan meledak.

Mereka sarapan dalam diam. Abimanyu belum bangun, jadi hanya mereka berdua di meja makan yang terlalu besar.

"Lara," kata Gavin akhirnya. "Tentang... tentang kemarin—"

"Kamu pulang larut," potong Larasati tenang, sambil sipping kopinya. "Dinner dengan klien sampai tengah malam ya?"

Gavin menegang. "Iya. Meeting-nya panjang."

"Aku tahu." Larasati menatapnya langsung ke mata—tatapan yang membuat Gavin tidak nyaman. "Kamu pasti capek."

"Iya." Gavin menelan ludah.

Larasati berdiri, membawa piringnya ke wastafel. Lalu dia berjalan ke Gavin, berdiri di belakangnya, dan mencium keningnya—ciuman yang lembut, yang dulu penuh cinta.

Gavin tertegun.

"Hati-hati hari ini," bisik Larasati. Lalu dia pergi, meninggalkan Gavin sendirian dengan kebingungannya.

Tapi jika Gavin bisa lihat wajah Larasati saat dia berjalan menjauh—wajah yang dingin, mata yang kosong, senyum yang menyimpan dendam—dia akan tahu bahwa ini bukan pengampunan.

Ini adalah awal dari kehancurannya.

---

**Bersambung ke Bab 6**

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!