NovelToon NovelToon
Derita Setelah Kepergian Ibu

Derita Setelah Kepergian Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Wanita Karir / CEO / Mafia / Romansa / Mengubah Takdir
Popularitas:966
Nilai: 5
Nama Author: Aretha_Linsey

Amel Fira Azzahra gadis kecil yang memiliki wajah sangat cantik, mempunyai lesuk pipi, yang di penuhi dengan kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Namun sayang kebahagian itu tidak berlangsung lama. Setelah meninggalnya Ibu tercinta, Amel tidak lagi mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Bapaknya selalu bekerja di luar kota. Sedangkan Amel di titipkan ke pada Kakak dari Bapaknya Amel. Tidak hanya itu, setelah dewasa pun Amel tetap menderita. Amel di khianati oleh tunangannya dan di tinggal begitu saja. Akankah Amel bisa mendapatkan kebahagiaan?
Yukk ikuti terus ceritanya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aretha_Linsey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 Jaring Sutra Menjerat

Amel membuka mata. Langit-langit kamar sempit itu terasa lebih rendah dari biasanya, seolah menekannya hingga ia kesulitan bernapas. Malam yang baru saja berlalu meninggalkan sisa ketakutan dingin, seperti bau tanah basah setelah badai. Kata-kata Udin, "Aku mencintaimu!" yang

diucapkan dengan nada menuntut, bukan janji manis, masih terngiang.

la meraih ponsel yang tergeletak miring. Jantungnya berdebar kencang

saat ia menekan tombol power dan menyambungkan data seluler. la takut

akan rentetan pesan marah atau makian, namun yang muncul di layar

justru lebih mengganggu.

Udin:

"Selamat pagi, Bidadari. Maaf kalau kemarin malam aku membuatmu kaget. Aku hanya terlalu khawatir. Aku tidak suka kamu terlalu lelah. Aku janji akan lebih sabar dan lebih mengerti batasanmu." (06:05)

"Kamu adalah hal terpenting bagiku, jangan lupakan itu. Aku sudah siapkan sesuatu untuk kamu di gerbang sekolah, biar kamu sarapan sebelum belajar. Jangan pernah melewatkan

sarapan ya, Sayang." (06:30)

Kata Sayang itu, walau diketik dengan huruf biasa, terasa seperti cambukan. Itu bukan ungkapan kasih sayang, melainkan penegasan

kepemilikan. Amel menyadari, Udin adalah perangkap yang terbuat dari kebaikan yang posesif. Udin tidak marah karena dia ingin Amel takut, tetapi dia menjadi sangat manis untuk memancing Amel agar merasa bersalah. Taktik manipulasi yang halus. Ia mematikan layar, rasa mual menjalari perutnya. la harus segera bersiap dan memastikan Alan sudah terbangun.

Suasana di meja makan sangat tegang. Ulfiana duduk menyilangkan kaki, sibuk dengan ponselnya. Bibi (istri paman Amel) hanya melirik sekilas tanpa berkata apa-apa. Keheningan Bibi sering kali lebih menusuk daripada bentakan Ulfiana.

"Alan, makan pelan-pelan." Tegur Amel lembut, menyendokkan nasi ke mangkuk adiknya.

"Heh, Amel!" Suara Ulfiana yang melengking memecah keheningan.

"Kau ini pembantu atau guru? Cepat habiskan sarapanmu. Setelah itu, piring-piring ini jangan kau biarkan sampai siang! Sudah ku bilang, kamar ini bukan gudang. Aku lihat ada kotak-kotak paketmu lagi semalam!"

Amel berusaha mengendalikan napasnya.

"Aku sedang merapikannya nanti, Bak. Itu harus segera diantar ke ekspedisi."

"Nanti? Sampai kapan kau mau hidup di sini, Mel? Kau hanya fokus pada uang recehmu itu, tapi kau tidak sadar kau menumpang di rumah orang Kau kira Ayahmu mengirim uang berapa? Seper separuh biaya listrik di rumah ini pun tidak sampai! Kau mau jadi wanita simpanan seperti difilm-film yang kau tonton itu? Pria dewasa mana lagi yang kau goda sekarang?"

Ulfiana menyipitkan mata penuh curiga.

Amel terdiam, perkataan "Wanita Simpanan" enghujamnya. UIfiana mungkin tidak tahu tentang Udin, tetapi tuduhan itu terasa terlalu akurat dengan apa yang ia rasakan dari Udin.

"Aku tidak menggoda siapa-siapa, Bak,". Balas Amel, suaranya tercekat. la segera menarik Alan dari meja makan dan menyuruhnya bermain di luar

kamar. Amel bergegas mencuci piring, tangannya gemetar.

Saat mencuci piring, ia memutuskan. la tidak bisa menghadapi ini semua sendiri. Ancaman Udin yang terbungkus kebaikan, dan tekanan UIfiana yang tak berkesudahan, membuatnya merasa terkepung. la harus mencari perlindungan.

Di gerbang sekolah, Udin sudah menunggu, bersandar santai di sepeda motornya, memegang kantong kertas. la tersenyum lembut, senyum yang bagi Amel terasa seperti mata pisau yang dilapisi madu.

"Hai, Sayang. Ini untuk kamu. Bubur ayam kesukaanmu, aku ingat, ". kata Udin, menyodorkan kantong itu.

Amel meraih kantong tersebut tanpa menatap Udin.

"Terima kasih". 'katanya datar.

"Kenapa kamu tidak membalas pesanku? Kamu tidak suka aku memanggilmu Savang?" tanya Udin, nadanya tetap ramah, tetapi matanya

menuntut jawaban.

"Bukan begitu, Din. Aku sibuk. Aku harus cepat masuk."

Udin menarik pergelangan tangan Amel pelan, menahan kepergiannya

Amel, dengarkan. Aku tidak suka kamu terburu-buru. Aku hanya ingin kamu tahu, apa pun yang kamu lakukan, aku hanya ingin yang terbaik. Fokus padaku, aku akan melindungimu. Jangan sampai kamu cari-cari masalah lain lagi, ya.

Kata-kata "masalah lain" itu membuat Amel membeku. Apakah Udin tahu tentang Ulfiana? Atau apakah dia hanya mengacu pada pekeriaan olshopnya? Amel menarik tangannya cepat.

"Aku mengerti, Din ". Amel berbohong, lalu bergegas masuk ke gerbang sekolah.

Pulang sekolah, Amel segera mencari Agus. Agus, Rizal, Arif, dan Jalil biasanya berkumpul di bawah pohon rindang dekat lapangan basket. Agus yang selalu paling dewasa dan pendiam di antara mereka, adalah satu-satunya yang ia percaya.

"Gus, bisa kita bicara sebentar? Berempat saja, " pinta Amel, suaranya nyaris berbisik

Agus mengangguk, melihat raut wajah Amel yang pucat. la memberi isyarat kepada Rizal, Arif, dan Jalil, dan mereka berjalan ke area belakang perpustakaan yang sepi, dibatasi oleh tembok tinggi.

Amel duduk di bangku beton, tangannya meremas ujung roknya.

"Mel, ada apa? Kamu pucat banget, ". tanya Rizal, si paling cerewet.

"Ini tentang Udin,". Amel memulai

"Dia... aku nggak tahu harus bagaimana

lagi." Amel menceritakan semuanya, dari pesan-pesan perhatian yang tak pernah berhenti, janji janji untuk membiayai sekolahnya, sampai panggilan telepon malam kemarin yang penuh ancaman terselubung. la menceritakan tentang Udin yang melarangnya kerja, melarangnya capek, seolah-olah Amel adalah boneka yang harus diurus.

"Dia bukan jahat. Dia sangat baik dan perhatian. Dia kuli bangunan, dia bilang dia punya uang, dia cuma ingin aku istirahat. Tapi... dia nggak pernah mau mendengar kalau aku bilang 'tidak', " . Amel mengakhiri ceritanya dengan mata berkaca-kaca.

"Sudah melampaui batas". seru Arif.

Agus terdiam. Di dalam hatinya, kemarahan membuncah. Selama ini dia hanya bisa melihat Amel bekerja keras dari jauh, mengagumi ketangguhan gadis itu. Kini, ada pria dewasa yang mencoba mengambil alih hidup Amel

"Dia bilang dia mencintaimu?" tanya Agus, suaranya tenang, tetapi ada ketegangan yang jelas.

Amel mengangguk

"Dengan nada dingin, Gus. Itu yang membuatku takut." Rizal dan Arif tampak marah.

"Orang gila itu! Kita hajar saja dia, Me!! Dia sudah melampaui batas". Seru Arif

"Jangan bodoh, Rif!" potong Agus tegas.

"Dia orang dewasa, kita ini masih

anak sekolah. Kalau kita lawan fisik, kita yang akan kena masalah. Apalagi dia mungkin orang terpandang di desanya karena merantau." Agus kembali menatap Amel, tatapannya penuh perhatian, cinta yang terpendam itu membuat ia ingin melindungi Amel tanpa pamrih.

"Amel, dengarkan aku. Baik itu bukan berarti tidak mengancam. Jika dia mencintaimu, dia harusnya menghormati batasanmu. Dia kuli bangunan, dia sudah dewasa, dia harusnya tahu kamu butuh fokus sekolah. Dia bukan peduli, Mel. Dia ingin mengontrol. Itu posesif, dan itu buruk.Dia sedang memanfaatkan kerentananmu. Dia tahu kamu kehilangan Ibu, dia tahu kamu butuh perhatian, dan dia menggunakan itu untuk

menjeratmu". jelas Agus setiap kata-katanya terasa menampar Amel kembali ke kenyataan.

Amel menunduk.

"Aku nggak tahu harus gimana, Gus. Di rumah ada UIfiana, di sekolah ada dia. Aku nggak punya siapa-siapa lagi, cuma Alan."

"Kamu punya kami, Mel. Kami sahabatmu, " kata Jail

"Begini, " Agus mengambil keputusan

"Kita tidak bisa melawan dia secara fisik. Dia dewasa, dia punya kekuatan dan uang. Kita harus melawannya dengan menghilang. Blokir dia, Amel. Ganti nomor ponselmu. Jangan pernah berinteraksi dengannya lagi. Kalau dia datang ke sekolah, kita semua akan berdiri di dekatmu. Kita akan jadi perisaimu."

Amel merasa lega, beban di dadanya berkurang separuh. Dukungan ini adalah udara segar yang ia butuhkan setelah berbulan-bulan menderita

sendirian. la menatap Agus, rasa terima kasih yang mendalam terpancar di matanya.

"Terima kasih, Gus.Aku akan coba memblokirnya, ". janji Amel.

"Dan kalau Ulfiana keterlaluan lagi, ceritakan pada kami. Kami bisa bantu kamu bawa Alan keluar rumah sebentar, biar kamu bisa istirahat". tambah Rizal.

Pertemuan itu berakhir, Amel merasa sedikit lebih kuat. la tidak lagi harus menghadapi Udin sendirian. la memiliki sahabat, dan yang paling penting, ia memiliki Agus yang diam-diam menjaganya.

Malam itu, setelah menyembunyikan ponsel lamanya dan menyiapkan ponsel cadangan yang hanya ia gunakan untuk pelanggan olshop, Amel merasa tegang namun optimis.

la baru saja selesai mengemas paket terakhirnya, ketika ia mendengar suara sepeda motor di kejauhan. Suara itu familiar, suara motor matic tua. Jantung Amel kembali berpacu.

la mendekat ke jendela, mengintip melalui celah tirai yang sedikit robek.

Di bawah rembulan yang samar, sekitar tiga puluh meter dari rumahnya, di sudut jalan dekat warung Pak Bimo yang sudah tutup, sepeda motor Udin terparkir.

Di sebelahnya, Udin sedang berbicara dengan seseorang. Seseorang yang ia kenal. Bapak RT.

Amel menahan napas. Apa yang mereka bicarakan? Mengapa Udin ada di sini, larut malam?

Saat Udin berbalik, dia melihat ke arah rumah Amel, seolah dia tahu Amel sedang mengawasinya. Udin tidak tersenyum. Ekpresinya datar.

Amel buru-buru mundur, tubuhnya merosot ke lantai. Rasa takut yang baru kini datang. Bukan takut karna ancaman fisik, tetapi takut karna Udin sudah membangun jaringan di lingkungan sekitar. Udin sudah mulai bergerak di luar batas personal, mendekati pihak berwenang di desa.

Ia meraih ponselnya yang baru. Layar ponsel lama telah ia matikan, tetapi ia lupa satu hal. Ponsel barunya yang ia gunakan untuk pelanggan olshop, masih menyala dan tersambung ke WIFI rumah

Layar itu bergetar. Satu notifikasi masuk dari nomor tak dikenal.

Nomor Tidak Dikenal:

"Jangan sia-siakan perhatianku, Amel. Kamu pikir dengan bicara pada teman-temanmu, kamu bisa lari? Aku tahu kamu bertemu Agus, Rizal, Arif, dan Jalil tadi di belakang perpustakaan. Aku tahu semua tentangmu. Besok, aku tunggu

kamu di tempat biasa. Kita perlu bicara tentang kesetiaan."

Amel menjatuhkan ponsel itu. Bunyi pelan di lantai kayu itu terasa memekakkan telinga. Air mata yang sudah lama ia tahan tumpah. Udin

tahu segalanya. Jaring sutra yang ia anggap hanya mengikat lehernya, kini menjerat seluruh kakinya. Dia tidak bisa lari, dan bantuan yang baru saja ia peroleh dari sahabatnya sudah diketahui oleh sang pengawas. Penderitaan Amel baru saia dimulai, dan kali ini, penderitaan itu berwujud kebaikan yang posesif.

1
Cici Febryanti
plot twist yah wakk🤭
Aretha_Linsey: jangan lupa like nya kak🤭🙏
total 1 replies
Wiwit
lanjut
Aretha_Linsey: besok up lagi ya kak
total 1 replies
Kei Kurono
Aaaahhh! Begitu seru sampe gak berasa waktu berlalu!
Aretha_Linsey: mkasih kak di tunggu next ceritanya ya kak
total 1 replies
000 1
Aku suka gaya penulisanmu, jangan berhenti menulis ya thor!
Aretha_Linsey: Terimakasih kasih kak. siap makasih suportnya. mohon kritik dan sarannya ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!