SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: BUKTI CINTA JULIAN
#
Tiga hari berlalu dalam keheningan yang menyakitkan. Laura dan Julian tinggal di apartemen yang sama tapi rasanya kayak dua dunia berbeda. Mereka makan terpisah, Laura di kamar tamu, Julian di ruang makan. Mereka jarang ngomong kecuali hal-hal penting tentang obat atau jadwal kontrol ke dokter.
Julian—sesuai saran Felix—kasih Laura space yang dia minta. Gak lagi overprotektif, gak lagi ngikutin kemana-mana. Dia tetap siapin makanan, tapi taruh di depan pintu kamar Laura lalu pergi. Dia tetap ngingetin obat, tapi lewat pesan singkat, bukan langsung datang.
Dan Laura—Laura merasa hampa. Dia minta space, dia dapet. Tapi kenapa rasanya malah lebih sepi? Kenapa dia justru kangen perhatian Julian yang dulu dia pikir berlebihan?
Pagi itu, hari keempat, Laura bangun dengan suara berisik dari ruang tamu. Dia keluar dari kamar—masih pake piyama, rambut berantakan—dan nemuin Julian lagi packing tas ransel besar.
"Lo mau kemana?" tanya Laura, suaranya masih serak habis bangun.
Julian menoleh, sedikit terkejut lihat Laura keluar dari kamar. "Aku—aku mau pergi sebentar. Adrian akan standby di sini kalau lo butuh apa-apa. Nomor dia ada di meja—"
"Kemana?" Laura memotong, merasakan sesuatu di dadanya sesak. "Lo mau ninggalin aku?"
Julian menatapnya dengan tatapan yang lembut. "Bukan ninggalin. Cuma—cuma aku mau ambil sesuatu. Aku akan balik sore. Atau—" dia ragu sebentar "—atau lo mau ikut?"
"Ikut kemana?"
"Ke tempat yang aku mau tunjukkin ke lo," jawab Julian. "Tempat yang—tempat yang penting buat aku. Tempat dimana aku biasa pergi kalau lagi butuh jernih."
Laura menatapnya dengan bingung. Tapi ada sesuatu di mata Julian—ketulusan, kerentanan—yang bikin Laura gak bisa nolak.
"Okay," jawabnya pelan. "Aku ikut."
***
Satu jam kemudian, mereka di mobil melaju keluar Jakarta. Julian nyetir dengan fokus, sesekali melirik Laura yang duduk di kursi penumpang dengan tatapan bingung.
"Kita mau kemana sih?" tanya Laura setelah setengah jam di jalan.
"Puncak," jawab Julian singkat. "Ada tempat di sana—tempat yang dulunya jadi escape aku pas setelah insiden lima tahun lalu."
Laura gak tanya lebih lanjut. Dia cuma natap jalan di depan, merasakan tension di antara mereka yang masih ada tapi entah kenapa sedikit lebih ringan hari ini.
Dua jam kemudian, mereka sampai di area Puncak yang asri. Tapi Julian gak berhenti di resort atau villa. Dia terus nyetir ke jalan yang lebih kecil, lebih sepi, sampai akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana di tengah kebun teh yang luas.
"Ini apa?" tanya Laura, turun dari mobil dan menatap rumah kayu itu dengan kagum.
"Ini milik keluargaku," jawab Julian, buka pintu rumah dengan kunci yang dia bawa. "Kakek aku yang bangun dulu. Setelah kakek meninggal, rumah ini jadi—jadi tempat pelarian aku."
Mereka masuk ke dalam. Interior sederhana—satu ruang tamu dengan perapian, dapur kecil, dua kamar tidur, dan jendela besar yang menghadap ke hamparan kebun teh hijau yang indah banget.
"Lo sering ke sini?" tanya Laura, berjalan ke jendela dan natap pemandangan.
"Setelah insiden lima tahun lalu, aku hampir tinggal di sini berbulan-bulan," jawab Julian, berdiri di samping Laura. "Pas aku keluar dari rumah sakit, pas semua orang bilang aku harus therapy dan move on—aku gak bisa. Aku butuh tempat dimana gak ada yang nanya, gak ada yang natap aku dengan kasihan. Jadi aku datang ke sini."
Laura menatapnya dengan lembut, menunggu Julian melanjutkan.
"Gue duduk di jendela ini berjam-jam," lanjut Julian, suaranya mulai bergetar. "Natap kebun teh, mikirin kenapa gue yang selamat sementara dua belas saudara gue mati. Mikirin apa gunanya gue hidup kalau gue cuma ngerasa bersalah terus. Mikirin—" dia berhenti, menarik napas yang gak stabil "—mikirin mungkin lebih baik kalau gue yang mati saat itu."
"Julian—" Laura merasakan air matanya mulai berkumpul.
"Gue gak bilang ini buat bikin lo kasihan," potong Julian cepat. "Gue cerita ini karena lo harus tau—lo harus tau gimana hancurnya gue dulu. Gimana gue nyaris menyerah sama hidup. Dan gimana—" dia menatap Laura sekarang, matanya berkaca-kaca "—gimana lo tanpa sadar ngasih gue alasan buat hidup lagi."
"Apa maksud lo?" bisik Laura.
Julian menarik napas dalam, lalu mulai cerita. "Dua bulan sebelum kita ketemu lagi di kantor, gue datang ke sini. Gue lagi di titik terendah lagi—bisnis lagi susah, Maudy tiba-tiba kontak lagi dan bikin gue bingung, hidup terasa hampa. Gue duduk di beranda belakang, natap matahari terbenam, mikirin apa gunanya semua ini."
Dia berhenti, tersenyum pahit mengingat. "Terus gue dapet email random dari perusahaan lo—Mahkota Property—offering kerja sama. Awalnya gue gak tertarik. Tapi ada sesuatu di proposal itu—cara lo nulis, care to detail-nya, passion yang keliatan di setiap kalimat—yang bikin gue penasaran."
Laura merasakan dadanya sesak mengingat proposal itu—proposal yang dia tulis sendiri, revisi berkali-kali, karena dia tau ini kesempatan untuk ketemu Julian lagi.
"Terus kita ketemu di meeting pertama," lanjut Julian. "Dan gue—gue ngerasa sesuatu yang gak bisa gue jelasin. Kayak ada yang klik. Kayak lo familiar tapi gue gak tau kenapa. Dan setiap meeting setelahnya, setiap kali gue lihat lo kerja keras, lihat lo peduli sama detail kecil, lihat lo senyum pas project jalan lancar—gue ngerasa hidup gue mulai punya warna lagi."
Air mata Julian jatuh sekarang, dan dia gak coba sembunyiin. "Jadi pas lo bilang gue cuma merasa bersalah—pas lo bilang gue cuma jaga lo karena rasa bersalah—itu nyakitin, Laura. Karena lo—lo adalah alasan gue bisa hidup lagi. Bukan karena gue merasa bersalah. Tapi karena lo ngasih gue sesuatu yang berharga: harapan."
Laura gak bisa tahan lagi. Dia menangis—nangis untuk semua yang Julian lalui, nangis untuk semua kesalahpahaman antara mereka, nangis untuk cinta yang begitu rumit tapi begitu tulus.
"Maafin aku," isak Laura, menutupi wajahnya dengan tangan. "Maafin aku karena gak percaya. Karena terlalu takut—"
Julian langsung memeluknya, menarik Laura ke dadanya dengan erat. "Lo gak perlu minta maaf. Gue ngerti ketakutan lo. Gue ngerti kenapa lo ragu. Dan gue gak marah. Gue cuma—gue cuma pengen lo tau kebenarannya. Pengen lo tau gimana pentingnya lo buat gue."
Mereka berdiri seperti itu—berpelukan di depan jendela dengan pemandangan kebun teh yang luas—membiarkan semua sakit, semua kesalahpahaman, semua air mata mengalir dan perlahan sembuh.
"Gue mencintai lo," bisik Julian di rambut Laura. "Gue mencintai lo bukan karena gue kasihan atau merasa bersalah. Gue mencintai lo karena lo adalah lo. Karena lo ngajarin gue gimana caranya hidup lagi. Gimana caranya berharap lagi. Gimana caranya—" suaranya pecah "—gimana caranya mencintai lagi."
Laura mengangkat wajahnya, menatap Julian dengan mata yang basah tapi lebih jernih sekarang. "Aku juga mencintai lo. Selalu. Dari dulu sampai sekarang. Aku cuma—aku cuma takut lo gak beneran mencintai aku."
"Gue beneran mencintai lo," ujar Julian dengan tegas, memegang wajah Laura dengan kedua tangannya. "Dan gue akan buktiin setiap hari kalau lo butuh. Gue akan buktiin dengan cara apapun sampe lo percaya."
Laura tersenyum—senyum pertama yang tulus dalam empat hari ini. "Aku—aku mau coba percaya. Mau coba gak takut lagi."
"Itu cukup buat gue," bisik Julian, dahinya menyentuh dahi Laura. "Itu lebih dari cukup."
Mereka berdiri seperti itu, dalam pelukan yang hangat dan menyembuhkan, membiarkan matahari sore menerangi mereka lewat jendela besar itu.
***
Sore harinya, mereka duduk di beranda belakang dengan dua cangkir teh hangat, natap matahari yang mulai terbenam di balik gunung.
"Lo sering datang ke sini sendirian?" tanya Laura, kepalanya bersandar di bahu Julian.
"Dulu sering. Sekarang—" Julian mengecup puncak kepala Laura "—sekarang gue gak perlu lagi. Karena gue udah punya lo. Lo adalah home gue sekarang."
Laura merasakan pipinya memanas dengan kata-kata itu. "Lo cheesy banget sih."
"Lo yang bikin gue jadi cheesy," balas Julian dengan senyum. "Lo bikin gue jadi orang yang gak pernah gue pikir gue bisa jadi."
Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati pemandangan dan kehangatan satu sama lain.
"Julian," panggil Laura setelah beberapa saat.
"Hm?"
"Terima kasih. Untuk bawa aku ke sini. Untuk—untuk cerita semua itu." Laura mengangkat kepalanya, menatap Julian. "Aku tau itu gak gampang buat lo."
"Gak ada yang gampang soal lo," jawab Julian dengan jujur. "Tapi lo worth it. Semua perjuangan, semua sakit—lo worth it semua."
Laura merasakan matanya berkaca-kaca lagi—tapi kali ini bukan karena sedih. Ini karena bahagia. Karena akhirnya—akhirnya dia bisa percaya. Bisa membuka hatinya tanpa takut lagi.
"Aku mencintaimu," bisiknya, untuk pertama kalinya ngomong itu dengan suara keras di depan Julian yang sadar.
Julian tersenyum—senyum yang genuine, yang sampe ke mata. "Gue juga mencintai lo. Selalu. Selamanya."
Dan saat matahari terbenam sepenuhnya, meninggalkan langit dengan warna oranye dan ungu yang indah, mereka duduk dalam pelukan satu sama lain—dua orang yang udah terlalu lama terluka, terlalu lama takut, akhirnya menemukan kedamaian di dalam cinta yang mereka bagikan.
Cinta yang gak sempurna, yang penuh luka dan kesalahpahaman. Tapi cinta yang tulus, yang kuat, yang worth fighting for.
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka kenal, Laura dan Julian merasakan sesuatu yang sama: peace. Kedamaian karena tau mereka gak sendirian lagi. Kedamaian karena tau mereka punya satu sama lain.
Dan itu—itu lebih dari cukup.