Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Segel Merah dan Perang Terbuka
Pagi di rumah tebing itu seharusnya indah, jika saja ponsel Damian tidak bergetar tanpa henti seperti mesin bor yang haus darah. Aruna yang baru saja turun tangga dengan rambut berantakan dan masih mengucek mata, langsung tersentak melihat ekspresi Damian.
Damian berdiri di balkon dengan tablet di tangannya. Rahangnya mengeras, otot-otot di lehernya menegang, dan aura predator yang semalam sempat mendingin kini kembali membara dengan intensitas sepuluh kali lipat.
"Mas... ada apa? Mas kalah main game atau ada cicilan yang belum dibayar?" tanya Aruna, mencoba mencairkan suasana meskipun hatinya mulai merasa tidak enak.
Damian tidak menjawab. Ia memberikan tablet itu kepada Aruna.
Headline berita utama di situs berita bisnis nasional terpampang nyata: "DUGAAN PENCUCIAN UANG DAN KORUPSI PERUSAHAAN LOGISTIK MAHESWARI DISEGEL OTORITAS."
Di bawah berita itu, terdapat foto Ayah Aruna, Baskoro, yang sedang tampak bingung dan pucat di depan kantornya yang kini dipasangi garis kuning polisi dan segel merah besar.
"Ini... ini tidak mungkin," suara Aruna bergetar. Tangannya lemas hingga tablet itu hampir jatuh jika Damian tidak segera menangkapnya. "Ayahku orang jujur, Mas! Dia bahkan selalu minta struk kalau beli bensin untuk laporan pajak! Pencucian uang apa maksudnya?!"
"Ini ulah Lukas," suara Damian terdengar sangat rendah dan berbahaya. "Dia menyerang titik terlemahmu karena dia tahu itu adalah satu-satunya cara untuk membuatku berlutut. Dia menggunakan koneksinya di kementerian untuk menciptakan kasus fiktif."
Aruna merasakan dunianya berputar. "Kita harus pulang, Mas. Sekarang! Ayah pasti ketakutan. Ibu... ya Tuhan, Ibu pasti pingsan!"
"Kita akan pulang," Damian menggenggam bahu Aruna dengan kuat, mencoba menyalurkan ketenangan. "Tapi dengar, Aruna. Jangan biarkan Lukas melihatmu hancur. Itu yang dia inginkan. Dia ingin kamu memohon padanya agar aku kembali menjadi bonekanya."
Kepulangan yang Menyesakkan
Perjalanan kembali ke kota terasa seperti ribuan tahun. Sesampainya di depan rumah orang tuanya, Aruna melihat pemandangan yang menghancurkan hatinya. Beberapa petugas masih berada di sana, dan kerumunan tetangga mulai berbisik-bisik tipe tetangga yang biasanya ramah kini menatap dengan pandangan menghakimi.
Aruna langsung berlari masuk ke rumah. Ia menemukan ibunya menangis di sofa dan ayahnya duduk termenung menatap lantai, seolah-olah seluruh jiwanya telah dicuri.
"Ayah!" Aruna memeluk Baskoro erat-erat.
"Aruna... Ayah tidak tahu apa yang terjadi," ujar Baskoro dengan suara parau. "Semua rekening dibekukan. Mereka bilang Ayah terlibat sindikat gelap. Nak, Ayah tidak pernah melakukan itu..."
Damian melangkah masuk ke dalam rumah sederhana itu. Kehadirannya yang mewah terasa sangat kontras. Ia meletakkan tangan di bahu Baskoro. "Ayah, saya minta maaf. Ini semua karena saya."
Baskoro mendongak bingung. "Maksudmu apa, Damian?"
"Ada orang yang ingin menjatuhkan saya melalui Ayah," jawab Damian jujur. "Tapi saya berjanji, saya akan mengembalikan semuanya. Bahkan lebih dari apa yang mereka ambil."
Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berwarna hitam legam berhenti di depan rumah. Lukas Gavriel keluar dari mobil tersebut, diikuti oleh beberapa pria berjas. Ia melangkah masuk ke rumah Baskoro dengan wajah penuh empati palsu yang menjijikkan.
"Baskoro, sobat lamaku... aku baru mendengar beritanya. Sungguh malang nasibmu," ujar Lukas dengan nada yang dibuat-buat sedih.
"Tuan Lukas..." Baskoro hendak berdiri, namun Damian menahannya.
Lukas menatap Damian, lalu beralih ke Aruna. "Kasihan sekali Aruna. Memang berat punya suami yang musuhnya ada di mana-mana.
Damian, jika saja kamu mau 'bekerja sama' seperti dulu, mungkin teman kita Baskoro tidak perlu mengalami tragedi ini."
Aruna berdiri, menghapus air matanya, dan menatap Lukas tepat di matanya. Rasa takutnya mendadak berubah menjadi kemarahan yang murni.
"Tuan Lukas," suara Aruna terdengar tajam. "Tuan pikir dengan memasang segel merah di kantor Ayah saya, Tuan bisa menyegel kebenaran? Tuan mungkin punya banyak uang untuk membeli otoritas, tapi Tuan tidak punya cukup uang untuk membeli rasa malu yang harusnya Tuan miliki."
Lukas tertawa hambar. "Berani sekali kamu, gadis kecil."
"Saya memang kecil, tapi saya tidak licik seperti Tuan," balas Aruna. Ia lalu menoleh ke Damian. "Mas Damian, Mas bilang kemarin Mas tidak mau jadi boneka lagi, kan? Kalau begitu, ayo kita putuskan talinya sekarang."
Damian tersenyum tipis sebuah senyum penuh kemenangan. Ia mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah rekaman suara. Itu adalah rekaman pembicaraan Lukas dengan seorang pejabat kementerian semalam, yang membahas tentang "pesanan" penyegelan perusahaan Maheswari.
"Aku sudah tahu kamu akan melakukan ini, Ayah," ujar Damian dingin. "Rekaman ini sudah terkirim ke dewan pengawas pusat secara otomatis satu menit yang lalu. Jika segel di kantor Ayah mertuaku tidak dicabut dalam dua jam, maka bukan hanya karir pejabat itu yang hancur, tapi saham Gavriel Group akan terjun bebas karena skandal campur tangan politik."
Wajah Lukas yang tadinya tenang mendadak memerah padam. "Kamu... kamu berani mengancam ayahmu sendiri demi gadis ini?!"
"Dia bukan sekadar 'gadis ini', Ayah," Damian menarik Aruna ke sampingnya. "Dia adalah istriku. Dan kamu baru saja membuat kesalahan terbesar dengan menyentuh keluarganya."
Lukas menatap Damian dan Aruna dengan kebencian yang mendalam, lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata pun.
Dua jam kemudian, telepon Baskoro berdering. Segel dilepas, otoritas meminta maaf atas "kesalahan teknis". Meskipun semuanya kembali, namun suasana tidak lagi sama.
Aruna duduk di teras rumahnya setelah semuanya tenang. Damian menghampirinya, membawa segelas air putih.
"Mas... terima kasih," bisik Aruna. "Mas sudah menyiapkan rekaman itu sejak kapan?"
"Sejak aku sadar bahwa Ayahku tidak akan berhenti sebelum dia merasa menang," Damian duduk di samping Aruna. "Tapi ini baru permulaan, Aruna. Lukas tidak akan diam. Dia akan membalas dengan cara yang lebih kejam."
Aruna menyandarkan kepalanya di bahu Damian. "Biarkan saja. Selama Mas tidak kembali jadi 'manekin plastik' dan saya tetap jadi 'kerupuk seblak' yang keras kepala, kita pasti bisa lewat."
Damian mencium puncak kepala Aruna. "Aku akan memastikan itu."
Namun di kejauhan, dari dalam mobilnya, Lukas menatap rumah itu dengan tatapan predator. "Nikmatilah kemenangan kecil ini, Damian. Karena di babak selanjutnya, aku tidak akan menyerang perusahaan. Aku akan menyerang jantungmu yang baru saja mulai berdetak untuknya."