NovelToon NovelToon
Rahim Untuk Balas Budi

Rahim Untuk Balas Budi

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Pengganti / Romansa
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Sea

Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10 – Luka Karina

Rumah besar bercat putih itu selalu tampak sempurna dari luar. Pagar besi hitam mengilap, taman yang dirawat pekerja harian, lampu-lampu kecil yang memancarkan kesan hangat. Namun malam itu, kehangatan itu tak lebih dari dekorasi. Di dalamnya, udara terasa seperti kaca tipis yang siap pecah kapan saja.

Karina duduk di ruang keluarga, memeluk kedua lengannya sendiri. Di pangkuannya, ponsel terbuka menampilkan pesan dari Rendra: “Karina aku pulang agak malam, ada urusan kantor.”

Pesan singkat, dingin, seperti tidak ada lagi ruang bagi kalimat-kalimat manis yang dulu selalu ia dapatkan.

Ia menatap layar itu cukup lama hingga cahaya ponsel meredup sendiri. Rendra pulang terlambat bukanlah hal baru—ia memang pengusaha. Tapi ketelatan kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal, dan Karina membenci fakta bahwa ia tahu betul penyebabnya.

Nayara.

Nama itu saja sudah membuat dadanya terasa sesak.

Sejak proyek “balas budi” itu dimulai, Karina awalnya merasa menang. Ia berhasil mendapatkan sesuatu yang ia impikan selama bertahun-tahun—kesempatan menjadi seorang ibu, meski dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Nayara adalah pilihan sempurna: gadis baik, sopan, dan mudah diatur. Setidaknya begitu yang ia kira.

Tapi belakangan ini, sesuatu berubah. Sikap Rendra… tatapannya… caranya bertanya tentang Nayara… semuanya seperti tanda yang tidak mau Karina baca, tapi memaksa dirinya untuk melihat.

Pintu utama terbuka. Rendra masuk dengan langkah pelan, jasnya terlipat di lengannya. Karina langsung berdiri.

“Kamu dari mana?” tanyanya datar.

“Dari kantor,” jawab Rendra, tidak menatapnya.

“Kantor lagi.” Karina tersenyum miris. “Atau… ke tempat lain?”

Rendra menghentikan langkahnya. “Kenapa kamu bicara begitu?”

“Karena kamu berubah.” Suara Karina meninggi, tapi masih terkontrol. “Dan jangan pura-pura tidak tahu.”

Rendra menghela napas, jelas lelah. “Aku cuma sedang banyak urusan. Untuk projek perusahaan, untuk—”

“Untuk Nayara,” potong Karina.

Rendra terpaku. Sesaat, ia tidak mengeluarkan suara. Diamnya tanpa sadar menguatkan tuduhan itu.

Karina mendekat, matanya berkaca-kaca. “Aku bukan orang bodoh, Ren. Aku tahu kamu makin sering bersamanya. Kamu makin peduli pada dia. Kamu bahkan tahu jadwal kontrolnya sebelum aku.”

Rendra menutup mata, bukan marah—lebih seperti ingin menenangkan diri. “Karina, aku hanya memastikan dia dan kandungannya aman. Itu anak kita.”

“Anak kita?” Nada Karina hampir pecah. “Anak yang dikandung perempuan lain. Perempuan yang sekarang kamu temani lebih sering dari aku, istrimu sendiri.”

Rendra menggeleng. “Kamu salah paham.”

“Benarkah?” Air mata jatuh juga. “Atau kamu yang sebenarnya mulai lupa siapa yang kamu perjuangkan selama ini?”

Rendra mendekat, tapi Karina mundur. Jarak di antara mereka begitu nyata. Seolah rumah itu sendiri menyingkirkan mereka, memperlihatkan retakan yang selama ini mereka tutupi.

“Aku melakukan semua ini untuk kita, Karina,” ucap Rendra dengan suara rendah. “Untuk keluarga yang kita impikan.”

“Tapi aku kehilangan kamu dalam prosesnya,” bisik Karina. “Kamu tak melihat aku lagi.”

Sementara itu, di tempat berbeda, Nayara menahan napas ketika mendengar suara Nadim terbatuk keras dari kamar. Ia cepat-cepat masuk dengan segelas air hangat.

“Nadim, bangun sebentar… minum dulu.” Ia menepuk pelan bahu adiknya.

Nadim membuka mata setengah, wajahnya pucat. “Kak… maaf, aku ganggu.”

“Tidak. Kamu nggak pernah ganggu.” Nayara memaksa tersenyum. “Minum dulu, ya.”

Anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu meneguk airnya pelan. Tubuhnya belum pulih benar setelah krisis beberapa minggu lalu. Setiap kali melihat adiknya seperti itu, rasa bersalah Nayara selalu menyerang: semua ini dimulai demi menyelamatkan Nadim… tapi apa yang ia korbankan mungkin lebih besar dari yang ia perkirakan.

Setelah Nadim kembali tidur, Nayara keluar kamar dan duduk di ruang tengah. Ada pesan dari Rendra.

“Ada yang ingin aku tanyakan. Besok siang aku datang.”

Pesan itu singkat. Tidak ada emoji. Tapi entah kenapa terasa seperti sentuhan yang tidak seharusnya ada.

Nayara menatap ponsel itu lama, sebelum akhirnya memutuskan: ia tidak boleh membiarkan hal ini semakin jauh.

Ia membalas:

“Ibu Karina sebaiknya ikut, Pak.”

Tidak ada balasan. Lama sekali.

Namun jauh di dalam rumah besar itu, Rendra membaca pesan yang sama, sementara Karina menahan napas di ambang pintu, melihat suaminya mengetik sesuatu—lalu menghapusnya—berulang kali.

Karina bukan lagi sekadar curiga. Ia takut. Ia terluka. Dan ia merasa sesuatu dalam dirinya mulai runtuh.

Pagi harinya, Karina duduk sendirian di meja makan. Rendra sudah berangkat lebih awal. Ia meraih cangkir kopi yang bahkan tidak ia sentuh sejak tadi. Tangannya bergetar sedikit. Ia akhirnya membuka pesan yang ia ketik sejak malam, tapi belum berani kirim:

“Ren… jujur sama aku. Apa ada yang berubah?”

Ia menatap kalimat itu. Menghapusnya. Mengetiknya lagi.

Ketika akhirnya ia beranikan diri menekan tombol kirim, ponselnya justru bergetar duluan.

Pesan dari Rendra:

“Kita perlu bicara. Malam ini.”

Karina merasa dunia di sekelilingnya berhenti sejenak. Kata-kata itu terdengar seperti awal dari sesuatu yang tidak ia siap hadapi.

Sementara itu, Nayara yang sedang menyiapkan bubur untuk Nadim, merasakan hal yang sama—ketakutan yang tampaknya mulai menyelimuti semua orang.

Yang tidak mereka tahu adalah: konflik ini baru saja dimulai.

***

Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Karina duduk di sofa sambil menunggu Rendra pulang. Lampu-lampu ruang tamu ia biarkan menyala semua—entah untuk mengusir sepi, atau memaksa dirinya tetap waras.

Jam menunjuk pukul sembilan saat Rendra akhirnya masuk ke rumah. Wajahnya kelelahan, tapi tatapannya mantap. Karina tahu, percakapan malam ini tidak akan mudah.

“Kamu mau minum dulu?” tanya Karina, suaranya kecil.

“Tidak usah.” Rendra duduk di hadapannya. “Kita bicara sekarang saja.”

Karina menarik napas panjang. “Baik. Aku dengar.”

Rendra diam sebentar, seperti sedang memilih kata. “Karina, aku tahu kamu merasa aku menjauh. Dan aku tidak menyalahkanmu. Mungkin aku memang tidak cukup memperhatikanmu akhir-akhir ini.”

Karina menunduk. “Bukan ‘mungkin’. Kamu memang begitu.”

Rendra tidak membantah.

“Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan baik,” lanjutnya. “Kehamilan Nayara… kondisi adiknya… itu tanggung jawab kita juga.”

“Tanggung jawab bersama,” ulang Karina lirih. “Tapi kenapa aku merasa kamu mengurus dia lebih daripada aku?”

Rendra menatap istrinya hati-hati. “Karina… aku tidak punya perasaan apa pun pada Nayara.”

Kalimat itu menenangkan, sekaligus menyayat.

“Tapi kamu peduli,” jawab Karina. “Dan itu saja sudah cukup membuatku takut.”

Rendra membuka mulut ingin menjelaskan, tapi Karina mengangkat tangan, meminta ia mendengarkan dulu.

“Aku tidak membenci Nayara. Aku memilih dia karena aku percaya dia tidak akan macam-macam. Tapi sekarang… semakin kamu dekat dengannya, semakin aku merasa tersingkir.”

“Karina, dia hanya perempuan yang membantu kita. Itu saja.”

“Kalau memang cuma ‘itu saja’, kenapa kamu selalu terlihat gelisah setiap dia tidak membalas pesanmu?” tanya Karina perlahan. “Kenapa kamu tahu lebih banyak tentang jadwal kesehatannya daripada aku?”

Rendra terdiam. Bukan karena salah, tetapi karena Karina benar.

Ia tidak menyadari betapa sering ia memikirkan Nayara. Bukan karena cinta. Bukan karena godaan. Tapi karena rasa bersalah—dan kekaguman—yang perlahan tumbuh tanpa ia sadari.

“Ren…” Karina mengusap pipinya sendiri. “Aku takut kehilangan kamu, bukan karena Nayara mengambilmu… tapi karena kamu sendiri tidak sadar kamu sedang berubah.”

Ketika air mata Karina jatuh, Rendra akhirnya mendekat dan meraih tangannya.

“Aku tidak akan tinggalkan kamu,” ucapnya pelan. “Tidak pernah.”

Karina mengangguk, tapi jauh di dalam hatinya, kata-kata itu tidak sepenuhnya menyembuhkan.

Di sisi lain, Nayara menutup jurnal doanya malam itu. Ada rasa tidak enak sejak tadi, seperti udara yang berat.

Ia memandangi perutnya yang mulai terlihat bulat.

“Aku cuma numpang sebentar,” bisiknya pada diri sendiri. “Setelah ini… hidupku dan hidup mereka akan jalan masing-masing.”

Tapi entah kenapa, ia merasa semuanya semakin rumit.

Seolah ada badai besar yang sedang mendekat, perlahan tapi pasti.

1
strawberry
Karina takut Rendra berpaling darinya karena Aru mirip Rendra, Nayara takut Aru diambil Rendra dan takut akan perasaannya. Rendra takut perasaannya jatuh hati pada Nayara dan pada Aru yg mirip dengannya.
Mommy Sea: pada takut semua mereka
total 1 replies
strawberry
Dalam rahim ibu kita...
Titiez Larasaty
ikatan batin anak kembar dan ayah
strawberry
mulai ada rasa cemburu...
Titiez Larasaty
semoga rendra gak tega ambil aru dia cm mengobati rasa penasaran selama ini kasihan nayara harus semenyakitkan seperti itukah balas budi😓😓😓
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
Muhammad Fatih
Bikin nangis dan senyum sekaligus.
blue lock
Kagum banget! 😍
SakiDino🍡😚.BTS ♡
Romantisnya bikin baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!