Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 Dua Dunia, Satu Medan
Udara di ruang server kini begitu dingin hingga napas siapa pun yang ada di dalamnya terasa berembus berat. Namun di balik dinginnya temperatur itu, ada sesuatu yang jauh lebih panas berdenyut di udara — adrenalin, logam, dan ketegangan yang nyaris bisa disentuh.
Suara kipas pendingin berputar terus-menerus, menciptakan dengung rendah yang bergema di seluruh ruangan. Setiap monitor di sepanjang dinding memancarkan cahaya tajam berwarna biru dan hijau, berbaur dengan lampu indikator merah yang berkedip cepat. Cahaya-cahaya itu memantul di wajah para teknisi yang fokus di meja kerja mereka, menciptakan bayangan bergerak di dinding baja yang dingin — seolah ruangan itu sendiri sedang bernafas dalam irama cemas.
Deretan kode berwarna merah dan hijau menari di layar, bergerak cepat, berganti setiap sepersekian detik, seperti medan perang digital yang tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Setiap huruf, setiap angka, setiap garis di layar bukan lagi sekadar bahasa mesin —
melainkan dentuman senjata dalam pertempuran yang sunyi.
Aroma khas ruangan server memenuhi udara: bau logam panas yang tersentuh listrik, debu tipis dari sirkulasi udara yang terlalu kering, dan samar-samar wangi parfum lembut milik seseorang yang berdiri di tengahnya, menjadi satu-satunya hal yang mengingatkan bahwa di tengah sistem dingin dan data steril ini… masih ada manusia.
Rembulan Adreyna duduk di kursinya, postur tubuhnya tegak dan fokus. Jari-jarinya menari di atas keyboard, cepat, efisien, tanpa ragu. Di belakangnya, staf Global dan tim IT Arjuno berlarian menuruti setiap instruksinya.
Ketika pintu ruang server terbuka, suara langkah sepatu berat memotong hiruk pikuk itu seperti pisau. Semua kepala menoleh.
Bhumi Jayendra masuk — tinggi, tegap, dengan jas hitamnya yang kini tampak kontras di bawah cahaya putih mesin. Sorot matanya tajam, tapi di dalamnya ada sesuatu yang lain, kekhawatiran yang tertutup rapi oleh ketenangan khas seorang pemimpin besar.
Ia berhenti beberapa langkah di belakang Bulan, melihat langsung bagaimana perempuan itu bekerja: cepat, jenius, dan tanpa rasa panik sedikit pun.
Jari Bulan terus menekan tombol-tombol laptopnya, matanya fokus pada data yang terus berganti.
“Aktivitas anomali di port 8066. Mereka masih nyoba masuk lewat backdoor SMTP,” katanya cepat tanpa sadar bahwa Bhumi kini berdiri di belakangnya.
Suara tenangnya menusuk di tengah kekacauan itu — lembut, tapi penuh wibawa.
“Bu Rembulan,” panggil Pak Mario pelan, “sinyal serangan ketiga udah muncul.”
Bulan mengerutkan kening. “Mereka gak nyerah juga rupanya…” Tangannya mengetikkan baris perintah tambahan, matanya tak pernah lepas dari layar.
Bhumi melangkah lebih dekat, hingga jarak mereka hanya beberapa langkah.
“Situasi terakhir?” suaranya tenang tapi tegas.
Bulan menoleh sekilas —dan dalam satu tatapan, dunia yang tadinya dipenuhi layar dan kode seakan berhenti. Ia tak menyangka CEO Arjuno Group turun langsung ke basement, sementara Bhumi… tak menyangka betapa nyata dan hidup sosok itu di depannya sekarang, bercahaya oleh pantulan layar biru.
“Pak Bhumi,” ucap Bulan cepat, suaranya stabil meski napasnya masih berat,
“sepertinya ini bukan hacker amatir. Gaya serangannya berubah-ubah, seperti tahu betul sistem internal Arjuno. Ini bukan orang luar biasa. Saya curiga—”
“—mantan orang dalam,” potong Bhumi pelan.
Tatapan mereka bertemu. Ada kesepahaman sunyi di sana, cepat tapi dalam.
Bulan mengangguk kecil. “Iya. Kalau bukan lawan bisnis, ya mantan karyawan yang tahu celah data. Gerakannya terlalu efisien untuk orang baru.”
Bhumi menatap layar besar yang menampilkan jejak IP yang berpindah-pindah.
“Arsen,” ucapnya cepat tanpa menoleh, “cek semua daftar mantan pegawai bagian IT dua tahun terakhir. Lacak siapa yang punya akses cadangan atau akun lama.”
Arsen yang baru tiba di ambang pintu langsung mengangguk dan berlari kecil keluar ruangan.
Di ruang server, situasi makin memanas. Lampu indikator di server utama mulai berkedip merah, suara kipas meningkat.
“Bu, koneksi ke database hotel hampir tembus!” seru salah satu staf Arjuno dengan panik.
Bulan berdiri cepat. “Jaga server utama! Jangan sampai mereka tembus data tamu!”
“Pak Mario!” panggilnya. “Ambil alih sisi kanan layar, tangani log root utama!” Mario mengangguk cepat, menyalakan laptopnya dan langsung ikut menulis baris kode.
Bhumi berdiri di belakang mereka, mengamati dengan rahang mengeras. Tangan kirinya mengepal pelan di dalam saku celana — bukan karena marah, tapi karena tegang. Melihat seseorang mempertaruhkan ketenangan dengan kepala setenang itu… membuat dadanya terasa sesak dengan rasa yang tak ia mengerti.
Lima menit kemudian, suara langkah cepat terdengar dari lorong.
Pintu terbuka keras.
“AKU DATENG! AKU DATENG! JANGAN PANIK!”
Semua orang menoleh — dan di sana berdiri Liora Larasmita, rambutnya acak-acakan, napasnya terengah, sepatu haknya nyaris copot satu.
“Tolong bilangin siapa pun di atas untuk bikin parkiran lebih deket ke lift!” gerutunya sambil menurunkan tas laptop.
Bulan menatapnya sambil menahan tawa kecil di tengah situasi genting.
“Lo lari?”
“Dari parkiran sampai basement! Lo pikir gampang lari lari pake heels?!”
Bhumi sempat menatap adegan itu sekilas — ekspresi antara heran dan kagum bagaimana dua perempuan ini masih bisa bercanda di tengah krisis.
Liora langsung duduk di kursi kosong di sebelah Bulan, menyalakan laptop.
“Oke, tunjukin ke gue jalur IP-nya. Gue cari alamat aslinya. Pak Mario, anda jagain database. Bulan, lo siapin tembakan balik.”
“Siap,” jawab keduanya bersamaan.
Suasana ruang server berubah jadi simfoni cepat: Mario mengetik di kiri, Liora di kanan, dan Bulan di tengah — tiga kepala brilian dalam satu garis depan yang sama. Bhumi berdiri di belakang, matanya tak lepas dari layar besar yang kini penuh angka berkedip.
“IP-nya pindah lagi, tapi masih dalam subnet lokal. Ini bukan orang luar negeri,” ujar Liora cepat.
“Temuin koordinatnya,” jawab Bulan tanpa menoleh, jari-jarinya sudah siap di atas keyboard.
“Gue dapet!” Liora berseru, matanya membulat. “Surabaya. IP-nya static. Servernya pribadi. Dia bukan operator liar — ini studio kecil, tapi sistemnya kuat banget.”
“Bagus.” Bulan mengetik cepat.
Di layar laptopnya, muncul kode berwarna merah tua — bukan perintah pertahanan, tapi serangan balik. Virus miliknya sendiri.
“Dark Lamp aktif.”
“Dark apa?” tanya Liora cepat.
“Dark Lamp. Sistem serangan balik milik Global Teknologi.”
Bhumi yang dari tadi diam, menatap layar Bulan dengan ekspresi sulit dijelaskan.
Di depan matanya, sosok itu tampak begitu fokus, begitu yakin.
Setiap gerak tangannya adalah perpaduan kecerdasan dan keberanian.
“Target locked,” ucap Bulan pelan. “Eksekusi.”
Layar laptopnya bergetar ringan, lampu indikator berubah warna — dan dalam hitungan detik, seluruh sistem menampilkan notifikasi bersamaan:
DARK LAMP ACTIVE
[HOST CONNECTION LOST]
[EXTERNAL SERVER FAILURE DETECTED]
[THREAT NEUTRALIZED]
Liora berseru girang, menatap layar Bulan.
“MELEDAK DAH TU SERVER HACKER!” katanya sambil tertawa lega, separuh kagum, separuh masih ngos-ngosan.
Pak Mario menegakkan tubuh, menghela napas berat. “Sistem Arjuno aman. Data terselamatkan.”
Ruang server kembali hening — tapi bukan hening karena panik, melainkan hening penuh kelegaan.
Bulan menutup laptopnya perlahan, mengembuskan napas panjang. Beberapa helai rambut jatuh menutupi wajahnya, dan Bhumi baru sadar betapa dalam dirinya… ada rasa kagum yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
Mata mereka bertemu. Hanya sebentar. Tapi cukup untuk menyalakan sesuatu yang bahkan lebih kuat dari ledakan digital tadi.
Bhumi akhirnya bersuara pelan, “Tugas yang sempurna, Bu Rembulan.”
Bulan tersenyum kecil, mengangguk sopan.
“Cuma melakukan kewajiban saya, Pak Bhumi.”
Namun dalam diam, keduanya tahu — itu bukan sekadar kerja sama profesional.
Itu awal dari sesuatu yang jauh lebih kompleks, dan mungkin… sama berbahayanya dengan perang digital yang baru saja mereka hentikan.
**
Beberapa menit setelah sistem dinyatakan aman, ruang server perlahan mulai tenang. Suara kipas mesin masih berdengung lembut, tapi sudah tak lagi mencekam. Lampu indikator yang semula be rwarna merah kini berganti hijau, dan monitor besar di dinding menampilkan satu tulisan sederhana:
[ALL SYSTEMS SECURE]
Udara yang tadi tegang kini berganti dengan hembusan napas lega dari semua orang di ruangan itu. Beberapa staf IT dari Global Teknologi dan Arjuno Group saling tos pelan, sebagian bersandar di kursi, sebagian hanya tertawa kecil — kelelahan bercampur kelegaan.
Liora memegangi dadanya sambil tertawa pendek. “Sumpah ya… baru kali ini kerja sambil lari maraton. Gila, hacker-nya gak bisa santai apa?”
Pak Mario yang duduk di kursinya meneguk air mineral dari botol. “Serangan kayak gini butuh koordinasi tinggi. Kalau bukan orang yang tahu sistem kita dari dalam… gue gak yakin dia bisa nyusup secepat itu.”
Bulan berdiri di dekat meja utama, melipat lengannya. Ia menatap layar besar yang kini stabil, tapi pikirannya tidak. Ada sesuatu di balik serangan itu yang masih mengganjal.
“Pak Mario,” ucapnya pelan. “Saya setuju. Ini bukan kerjaan hacker acak. Mereka tahu kapan server backup aktif, tahu waktu shift IT berubah. Terlalu banyak kebetulan.”
Bhumi yang berdiri tak jauh dari sana ikut menatap layar. Wajahnya tenang, tapi matanya gelap dan tajam.
“Kalau begitu,” katanya datar tapi pelan, “mereka gak cuma tahu sistem. Mereka tahu ritme kerja internal kita.” Suara rendahnya membuat semua kepala sedikit menoleh. Tak ada yang berani memotong kalimatnya — bahkan Liora yang biasanya tak tahan diam.
Bulan memandangnya sebentar, lalu mengangguk. “Berarti kemungkinan besar… ini orang dalam. Atau seseorang yang disewa untuk menargetkan Arjuno.”
Bhumi menatapnya lagi — kali ini lebih lama. “Dan Anda yakin itu bukan kebetulan?”
Tatapan mereka bertemu. Di antara cahaya biru redup monitor, kedua sosok itu berdiri seperti dua poros berbeda dari dunia yang sama: Bulan dengan kecerdasan digitalnya, Bhumi dengan kekuatan kontrolnya. Dan entah kenapa, di antara baris kode dan napas yang berat, ada sesuatu yang terasa terlalu pribadi di udara.
Arsen kembali masuk beberapa menit kemudian, membawa tablet di tangannya. “Pak, saya udah cross-check daftar mantan pegawai IT dua tahun terakhir. Ada tiga nama mencurigakan. Dua di antaranya udah pindah ke luar kota, tapi satu…”
Bhumi menatapnya. “Satu?”
“Masih di Surabaya. Pernah terlibat proyek uji sistem internal, keluar tahun lalu tanpa surat keterangan lengkap.”
Bulan dan Liora saling pandang.
Liora bersandar di kursinya. “Bukan kebetulan, Bul.”
“Gue tahu,” jawab Bulan pelan. “Dia tahu pintu masuknya dari mana.”
Bhumi menyandarkan tangan ke meja, nadanya kembali tegas. “Arsen, kirim data lengkapnya ke email saya dan Pak Mario. Saya mau tahu siapa dia, siapa yang dia temui, dan siapa yang bayar dia.”
“Baik, Pak.”
Begitu Arsen keluar lagi, Bhumi menghela napas dalam. Ia menatap Bulan yang masih fokus menatap layar laptopnya, wajahnya pucat oleh lelah tapi matanya tetap jernih. Ada sesuatu dalam cara perempuan itu berdiri — tangguh tapi tenang, seolah baru saja menaklukkan badai.
Bhumi berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi pasti. “Terima kasih, Bu Rembulan. Anda dan tim Anda menyelamatkan kami dari kekacauan besar.”
Bulan menoleh, memberi senyum tipis yang sopan. “Sama-sama, Pak Bhumi. Kami hanya melakukan bagian kami.”
“Tidak,” Bhumi membalas dengan nada lebih rendah, nyaris seperti bisikan, “...Anda melakukan lebih dari itu.”
Tatapan mereka bertaut — lagi. Kali ini tidak dalam suasana genting, tapi setelahnya. Dalam ketenangan ruang server yang perlahan mendingin, mereka berdiri hanya beberapa langkah terpisah, terbungkus oleh rasa lega yang belum sempat diucapkan.
Beberapa menit kemudian, Bhumi memberi instruksi singkat. “Kita pindah ke ruang meeting di atas. Saya mau bahas langkah lanjutan dan rencana pelacakan. Semua yang terlibat, ikut.”
“Baik, Pak,” jawab Bulan. Ia menutup laptopnya, lalu menoleh sebentar ke arah Liora.
“Lo siap naik lagi?”
“Udah, asal liftnya gak mogok. Gue gak kuat lari lagi,” jawab Liora sambil memegangi lututnya.
Bulan tertawa kecil — tawa ringan yang akhirnya pecah setelah sejam ketegangan. Bhumi menatap sekilas, ekspresinya melunak tanpa ia sadari.
Dan entah kenapa, di antara langkah-langkah mereka meninggalkan ruang server, ia masih bisa merasakan gema dari suara Bulan barusan — lembut, tapi menenangkan, seperti cara seseorang menyebut namanya dengan benar untuk pertama kalinya.
**
Ruang meeting utama di lantai dua puluh tujuh kini hening. Cahaya dari langit-langit dibuat redup, menyorot meja panjang berlapis kaca yang tampak dingin dan mengilap. Di luar jendela besar, langit Surabaya mulai bergeser ke jingga pucat — sore menjelang malam, dan kota perlahan menyalakan lampunya.
Di atas meja, berjejer cangkir kopi dan air mineral. Tumpukan dokumen, tablet, dan laptop terbuka. Suasana yang seharusnya tegang terasa… sunyi. Tapi bukan sunyi yang kosong — melainkan sunyi penuh sisa detak dari kejadian yang baru saja mereka lalui.
Bhumi duduk di kursi utama, jas hitamnya masih terpasang rapi meski dasinya sudah longgar.
Di sisi kanan meja duduk Bulan, membolak-balik file laporan awal dari tim IT Arjuno. Di sisi lain, Liora, Pak Mario, dan dua staf dari tim keamanan internal tengah berdiskusi pelan sambil menatap layar di tengah meja.
Namun di antara suara lembut kertas dan ketikan, ada diam yang berbeda — diam yang hanya terjadi antara dua orang yang belum tahu bagaimana harus bicara setelah mereka melewati sesuatu bersama.
“Jadi,” suara Bhumi memecah keheningan, rendah tapi tegas, “analisis sementara menunjukkan bahwa serangan kemarin berasal dari server pribadi di Surabaya Barat.” Ia menatap layar yang menampilkan grafik jaringan. “Arsen sedang melacak siapa pemilik IP-nya. Kemungkinan besar—”
“—mantan staf Arjuno bagian sistem keamanan,” potong Pak Mario sambil menggeser laptopnya. “Kita sedang bandingkan pola log-nya dengan arsip lama. Ada kemiripan, Pak.”
Bhumi mengangguk pelan. “Teruskan. Saya mau nama, alamat, dan siapa pun yang ada di belakangnya sebelum minggu depan.”
Liora menyandarkan tubuh ke kursi, memutar bolpoin di jarinya. “Kalau bener ini orang dalam, berarti dia gak cuma punya dendam. Mungkin juga… disewa.”
Tatapan matanya berpindah ke Bulan.
“Ya kan, Bul?”
Bulan yang sedari tadi menulis sesuatu di tablet berhenti. Ia menatap layar di tengah meja, lalu berkata dengan nada pelan tapi pasti, “Orang ini tahu waktu cadangan sistem Arjuno diaktifkan, tahu celah waktu shift pergantian operator. Itu bukan informasi publik. Kalau dia disewa… maka orang yang nyewa dia tahu persis kapan harus menyerang.”
Ruangan kembali hening. Kata-kata itu menggantung di udara — berat tapi benar.
Bhumi menatap Bulan lama. Tatapan yang seolah ingin menelusuri lebih dalam, bukan hanya kata-kata, tapi cara Bulan berpikir, menimbang, memutuskan. Ada sesuatu yang membuatnya sulit berpaling.
Liora yang duduk di seberang hanya bisa melirik mereka berdua dengan dagu bertumpu di tangan. “Ya Tuhan,” gumamnya pelan, “mereka berdua kalau diam aja udah kayak scene slow motion di film Netflix.”
Pak Mario menahan senyum kecil. “Fokus, Bu Liora.”
“Fokus, iya… tapi gimana kalau auranya dua orang itu aja udah bikin ruangan panas?”
“Bu Liora,” ulang Pak Mario pelan tapi dengan nada geli.
“Oke, oke. Fokus.”
Bulan mengetik cepat di tabletnya, lalu menatap Bhumi. “Kalau boleh saran, Pak. Kita sebaiknya aktifkan sistem keamanan lapis tiga — tapi untuk sementara, jangan dihubungkan ke cloud dulu. Saya bisa bantu tim IT Arjuno untuk rebuild protokol pengawasan, supaya gak ada lagi celah login dari luar.”
Bhumi mengangguk, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Kalau begitu, buat rencana detailnya. Saya ingin semua langkah keamanan berikutnya disusun oleh tim Anda — langsung di bawah pengawasan Anda.”
Bulan sempat menatapnya, sedikit kaget. “Langsung di bawah saya, Pak?”
“Ya.” Nada Bhumi datar tapi matanya hangat. “Saya percaya Anda.”
Kalimat itu sederhana. Tapi cara ia mengucapkannya membuat ruang yang tadinya dingin terasa hangat seketika.
Bulan terdiam beberapa detik. Matanya menatap pria itu, mencari-cari apakah itu sekadar sopan profesional, atau… sesuatu yang lain. Tapi Bhumi sudah kembali menunduk ke dokumen, wajahnya seperti semula: tenang, dingin, tak tersentuh. Hanya saja jemari tangannya yang memegang pena… tampak sedikit gemetar.
Liora bersuara pelan, mencoba mencairkan suasana. “Wah, kalau kerja bareng lagi, bisa-bisa tim Arjuno dan Global ini malah bikin gebrakan baru.”
Bhumi menatap sekilas ke arah Liora, lalu ke Bulan. “Kalau hasilnya seefisien tadi… saya tidak keberatan.”
Bulan menunduk kecil, menahan senyum samar. Ia tahu Bhumi bukan tipe orang yang mudah mengucapkan pujian. Jadi, bagi seseorang seperti dia, satu kalimat itu sudah lebih dari cukup untuk membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Rapat berakhir menjelang malam. Para staf mulai berkemas, membawa laptop dan dokumen.
Liora sempat meregangkan bahu sambil berkata, “Gue butuh kopi, atau boba ukuran galon.”
Bulan tertawa kecil. “Minum air putih aja dulu, Li.”
“Air putih gak bisa nyembuhin stres!”
Bhumi yang baru berdiri menahan tawa tipis di sudut bibirnya — pertama kalinya ia terlihat benar-benar rileks.
Begitu semua orang keluar, tinggal Bhumi dan Bulan yang masih membereskan dokumen di meja. Hening. Suara jam dinding terdengar jelas.
Bulan menunduk, memasukkan laptop ke dalam tasnya. Bhumi hanya berdiri di sisi lain meja, menatapnya diam-diam. Ada sesuatu tentang ketenangan perempuan itu yang membuatnya…
sulit beranjak.
“Bu Rembulan,” panggilnya pelan.
Bulan mengangkat wajah, mata mereka bertemu. “Ya, Pak?”
“Terima kasih.” Nada suaranya kali ini benar-benar lembut. Tidak seperti CEO yang berbicara ke kolega, tapi seperti seseorang yang benar-benar bersyukur.
Bulan tersenyum tipis. “Sama-sama. Saya cuma ingin semuanya aman.”
Bhumi menatapnya beberapa detik — lama, tapi tak mengganggu. “Dan sekarang aman,” ujarnya. “Untuk sementara.”
Tatapan mereka kembali bertaut. Di luar ruangan, langit sudah gelap. Cahaya lampu dari gedung-gedung sekitar menembus kaca, jatuh ke wajah keduanya, menyisakan siluet samar di antara bayangan panjang meja rapat.
Untuk pertama kalinya sejak pagi, Bhumi merasa ruang meeting itu tidak lagi hanya berisi suara laporan, strategi, atau data. Ada sesuatu yang jauh lebih tenang — dan jauh lebih berbahaya.
**
tbc