Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sandiwara di Tengah Rumah Duka
Mobil Aidan berhenti di pinggir jalan, beberapa puluh meter dari rumah duka sederhana orang tua Anita. Ambulans sudah lebih dulu tiba, dan kerumunan warga desa mulai berkumpul. Lampu remang-remang dari rumah duka menyinari wajah Anita, yang terlihat semakin pucat dan kosong.
Aidan dan Anita turun dari mobil. Anita harus menahan diri untuk tidak lari, takut jahitan di perutnya akan robek.
"Ingat," bisik Aidan dingin di telinga Anita, memastikan tidak ada yang mendengar. "Di sini, kamu adalah istriku yang berbakti, dan aku adalah suami yang menopangmu di tengah duka. Jangan membuat sandiwara lebih jauh."
Anita mengangguk lemah. Sandiwara. Itulah yang selalu ia lakukan.
Saat mereka mendekat, kerumunan warga desa, termasuk beberapa kerabat jauh, menyambut mereka dengan ucapan duka yang hangat. Mereka semua melihat Aidan, suami yang datang jauh-jauh dari kota besar, berdiri tegap di samping Anita.
Anita masuk ke dalam rumah. Ia disambut oleh tangisan dan ratapan para kerabat. Ia duduk di samping peti mati terbuka, menatap wajah orang tuanya yang kini dikelilingi bunga. Ia mengambil peran yang dituntut Aidan: istri yang berduka, yang lemah karena kehilangan.
Aidan berdiri di ambang pintu, menjaga jarak. Ia mengamati, membiarkan Anita menjadi pusat perhatian kesedihan, sambil menjaga tangannya tetap bersih dari emosi.
Namun, Aidan tahu, ini adalah kesempatan emasnya.
Ia berjalan mendekat, dan untuk pertama kalinya sejak Kevin meninggal, ia menyentuh Anita di depan umum. Ia meletakkan tangan di bahu Anita, sebuah sentuhan yang terasa berat dan palsu.
"Tabah lah, Sayang," ujar Aidan dengan suara yang sengaja dibuat bergetar, terdengar simpatik di telinga warga. "Semua adalah kehendak Tuhan. Aku di sini bersamamu."
Anita nyaris limbung. Sentuhan itu tidak menenangkan; sentuhan itu adalah pengumuman kepemilikan. Anita tahu, sentuhan itu ditujukan kepada publik, bukan kepadanya.
Seorang kerabat mendekat dan berkata, "Syukurlah masih ada suami kamu Anita, Nak Aidan. Anita pasti butuh penguatan."
Aidan tersenyum pahit, menatap Anita, dan berkata, "Tentu saja. Anita dan keluarganya kini adalah tanggung jawabku. Jangan khawatir soal biaya dan pemakaman. Semua sudah saya urus."
Kata-kata itu adalah pukulan baru bagi Anita. Semua sudah saya urus. Warga desa akan melihatnya sebagai suami yang mulia. Tetapi bagi Anita, itu berarti: Aku sudah membeli orang tuamu, dan kini kau berutang padaku.
Aidan kemudian menarik Anita sedikit menjauh dari kerumunan, berpura-pura memberikan perhatian pribadi.
"Besok, setelah pemakaman, kamu segera urus surat kuasa untuk mobilmu. Aku butuh itu sebagai jaminan pinjaman utangmu yang enam puluh juta rupiah," bisik Aidan, wajahnya kembali tanpa ekspresi. "Aku akan mengambil mobil itu saat kita kembali ke Jakarta. Dan kau, kau harus segera kembali ke toko. Toko itu satu-satunya yang bisa membayar utangmu."
Anita tidak bisa membantah. Ia hanya menatap dingin pada wajah Aidan, wajah yang sempurna menyembunyikan iblis di dalamnya. Ia kini tidak hanya berduka, tetapi juga berada dalam tekanan ekstrem untuk bekerja keras demi membayar utangnya sendiri.
[Aku akan bertahan. Aku harus bertahan. Untuk membayar utang ini dan mungkin saja aku juga harus mempersiapkan kematianku sendiri, karena saat ini aku sudah tidak mempunyai siapapun di dunia ini.]
Batin Anita kini lebih dingin dan lebih bertekad. Ia telah kehilangan alasan untuk hidup, tetapi ia mendapatkan satu tujuan baru: melunasi utang ini, dan mengungkap kebenaran di balik semua kekejaman Aidan, bahkan jika ia mati dalam prosesnya.
Malam itu, Anita tidak bisa tidur. Ia duduk di sudut kamar, mendengarkan isak tangis kerabat dan alunan doa yang dipanjatkan. Aidan tidur di ruang tamu rumah duka, jauh darinya, memastikan ia terlihat hadir tetapi tidak perlu berinteraksi.
Anita memegang bekas jahitan operasinya. Sakitnya fisik terasa tumpul dibandingkan sakit di hatinya. Ia tahu, mulai sekarang, setiap hari adalah perjuangan ganda: perjuangan untuk bertahan hidup dari sakitnya sendiri, dan perjuangan untuk membebaskan diri dari Aidan yang telah menjeratnya secara sempurna.