Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Degup yang Kacau
Jumat yang super sibuk, sampai detik ini Yuri belum juga sempat pindah ke kosan barunya. Dia lagi tenggelam dalam banyak hal seperti persiapan ujian, pengumpulan tugas, dan seabrek urusan kampus lainnya. Niatnya sih, kelar acara Himpunan Mahasiswa (Himpro) nanti, baru dia benar-benar angkat kaki. Kali ini harus jadi, tekadnya.
Sore ini, setelah jadwal mata kuliah yang padat di hari terakhir perkuliahan semester dua, Yuri berjalan sendirian menuju perpustakaan utama. Lumayan jauh jaraknya, bikin betis protes nggak terima jalan jauh sebelum akhirnya dia sampai di sebuah gedung tepi danau itu.
Lingkungan kampus sudah mulai sepi. Entah para mahasiswa sudah pulang atau sekadar rebahan manja di kosan. Hanya suara langkah kaki Yuri yang terdengar di lorong yang lengang. Dengan rok navy selutut dan kemeja soft pink, Yuri tampak rapi—rambut panjangnya digerai, mengikuti tiap langkahnya yang lelah.
Yuri berpapasan dengan dosennya, Pak Kenan, yang terlihat buru-buru menuju gedung rektorat. Saat mata mereka bertemu, Yuri refleks mengangguk sopan. Pak Kenan membalas dengan anggukan singkat, tanpa ekspresi.
“Ya gimana… gue bukan mahasiswa yang paling nonjol dimata kuliahnya. Belum tentu juga inget nama gue. Dan lagi… adegan di parkiran mal itu, kenapa susah banget ilangnya,” gerutunya dalam hati sambil masuk ke perpustakaan yang megah itu.
***
Yuri naik ke lantai tiga dan menyusuri rak-rak buku jurusannya. Setelah mengambil beberapa buku, dia menuju sudut dekat jendela—tempat yang tenang, adem, dan yang jelas kasih angin segar sore ini.
Lantai satu dan dua masih ramai, tapi lantai tiga… seperti dunia lain. Sepi. Terang, tapi sunyinya bikin bulu kuduk berdiri buat yang baru saja masuk kesana.
Satu, dua jam berlalu. Yuri tenggelam dalam buku bisnis dan manajemen, sibuk mencatat. Widya dan Isa? Sudah pasti memilih pulang dan tinggal menunggu salinan cacatan Yuri nanti.
Tiba-tiba…
Kepala Yuri diusap lembut. Refleks dia terlonjak, jantungnya berdetak lebih cepat. Jangan bilang setan, batinnya mulai takut.
“Bang!” Yuri melotot, nyaris melempar buku tebal ke pelakunya itu.
“Sudah lama di sini? Fokus banget, Han. Ada orang lewat juga nggak sadar,” kata Ezra sambil menurunkan tangan Yuri dan duduk di sebelahnya. Santai banget, seolah dia pemilik kursi itu sejak tadi.
Yuri langsung cek jam tangannya. Hampir tiga jam berlalu ternyata dia tenggelam dalam belajar materi. “Dari kelar jam kuliah tadi, Bang. Ternyata udah tiga jam,” ucapnya pelan dengan senyum tipis.
Bibirnya masih berkedut tipis dna pipinya terasa panas gara-gara tadi… kepalanya diusap. Nyaris saja buku bisnis melayang kena muka tampan seniornya ini.
⚡️JEDEERR!
Petir menggelegar. Langit gelap, mendung menebal dengan cepat.
“Mama!!” Yuri kaget, menutup telinga dan badannya otomatis bergerak mendekati Ezra. Wangi parfum Ezra langsung menyerbu—manly, segar… bikin otaknya nge-hang sebentar.
Ezra juga kaget, tapi posisi mereka yang dekat jendela membuat momen itu terasa intim banget sore ini. Kalau ada yang lihat dari belakang? Fix dikira keduanya sedang asik berpelukan mesra.
“Ehem… mau pindah duduk saja?” Ezra menepuk pundak Yuri pelan.
Yuri reflek berjingkat. “Nggak apa-apa, Bang. Gue suka bau hujan,” katanya, pura-pura tenang padahal detak jantungnya sudah nggak karuan dari tadi. Bang Ez, jangan baik-baik gini. Nanti gue baper beneran gimana…, rengeknya dalam hati. Ezra sibuk mengetik. Yuri kembali fokus dengan buku didepannya.
Tiga puluh menit lagi perpustakaan utama akan tutup. Punggungnya langsung terasa pegal. Yuri bangkit perlahan—dan Ezra yang melihat itu langsung ikut bergerak, seolah pekerjaannya sudah selesai.
“Bang, gue duluan ya.”
“Bareng saja. Gue juga sudah selesai.”
***
Hujan belum juga reda, yang ada semakin deras saat mereka keluar dari perpustakaan.
"Mobil lo parkir di sebelah mana?" tanya Ezra, karena saat ini mereka berjalan ke arah parkiran rektorat yang dekat dengan perpustakaan dan jalan keluar kampus.
"Parkir di bengkel," nyengir Yuri untuk pertama kalinya dengan begitu lepas di hadapan Ezra.
Ezra, yang bingung tapi juga merasa gemas melihat Yuri mulai nyaman dengannya, mencubit pipi gembul Yuri dengan pelan.
"Aw... sakit, Bang," bohongnya. Wajahnya memerah, mendadak memanas karena tingkah seniornya ini, bukan karena cubitan.
"Balik sama gue aja kalau gitu," ajak Ezra.
"NGGAK MAU! Nanti dibawa ke rumah lo lagi. Ih... serem," bisiknya sambil meledek dan langsung berlari kecil sambil ketawa, meninggalkan Ezra di belakang.
Ezra yang diledek cuma bisa senyum dan segera berlari mengejar Yuri yang masih tertawa riang dna lincah sekali di depan sana.
Di kejauhan, seseorang diam-diam melihat semua interaksi kedua mahasiswanya itu dengan jelas. Dan hal itu membuatnya nggak suka.
***
"Mau makan apa?", tanya Ezra, saat keduanya sudah di dalam mobil. Mereka sepakat buat makan malam bersama, dengan sesikit paksaan dari Ezra.
"Ehm, gue ngikut aja, Bang," jawab Yuri.
"Oke. Kalau gitu, gue makan lo aja," kata Ezra dengan senyum misterius.
"Bang Ez!" Yuri memukul pelan lengan Ezra.
Cie... udah mulai berani pegang-pegang nih Yuri.
"Makan di rumah gue aja, ya? Gue masakin," tawar Ezra. Kali ini wajahnya serius, matanya fokus menyetir, tapi sesekali melirik Yuri.
"Nggak jadi deh, Bang. Gue turun di depan situ aja. Itu kosan gue, tinggal belok," tolak Yuri sesopan mungkin.
"Nggak bakal gue apa-apain, elah..."
"PRETTT!"
"Ngeledek, ya?" Satu tangan Ezra langsung usil mengelitiki pinggang Yuri, yang ternyata memang gelian.
"Aaa... Abang! Jangan! Aaa..." teriak Yuri di dalam mobil, diselingi tawa cekikikan.
Tawa Yuri langsung terhenti saat mobil Ezra disalip oleh sebuah sedan hitam.
"Pak Kenan," lirihnya, yang masih bisa didengar jelas oleh Ezra.
"Hafal banget sama mobil dosen," kata Ezra. Ada sedikit nada cemburu yang terselip di sana.
"Temen gue kan fans berat itu Bapak. Mau nggak mau, gue jadi ngeh juga," kilah Yuri.
Mobil Pak Kenan terlihat sedikit mengebut dan belok masuk ke perumahan yang sama dengan Ezra—gerbang perumahan sudah terlihat di depan sana.
"Bang," panggil Yuri.
Rasa penasaran Yuri kembali muncul. Dia lagi kepo tingkat dewa. Sekarang dia jadi salah satu manusia paling kepo dengan apa pun yang ada di sekitarnya.
"Abang tinggal sama siapa perumahan itu? Rumah sendiri, kah?"
"Iya, rumah gue. Dibelikan bokap, sih. Gue tinggal sendiri. Kenapa? Lo mau tinggal sama gue?"
Yuri yang sibuk menatap 'ciptaan Tuhan' di sebelahnya ini mendadak tersedak ludahnya sendiri.
Buset, Bang Ez blak-blakan banget, sih!, batin Yuri.
Bang Ez… bisa nggak sih nggak bikin gue kena serangan jantung dadakan gini?!