Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepatuhan dan Keheningan
Pagi itu, Aidan tidak turun untuk sarapan. Ia sedang menikmati hari liburnya. Anita menggunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan tugas penting yang dituntut Aidan: transfer dana.
Meskipun tangannya masih gemetar dan setiap gerakan terasa mengoyak jahitan di rahimnya, Anita menyalakan laptopnya. Dengan hati-hati, ia membuka rekening toko. Uang hasil jerih payahnya, uang yang seharusnya ia gunakan untuk kesehatan mentalnya atau untuk orang tuanya, kini harus ia kirimkan ke rekening holding Aidan.
Ia mentransfer jumlah yang diminta Aidan—sebagian besar dari omset mingguan toko. Setiap angka yang ia ketik terasa seperti palu yang memukul peti uangnya sendiri. Ia telah memenuhi tuntutan Aidan, tetapi ia tahu, ia kini benar-benar bangkrut dalam hal uang tunai. Ia tidak punya dana darurat lagi.
Setelah transfer selesai, ia mengirim pesan singkat kepada Aidan: [Sudah ditransfer. Tolong cek.]
Aidan membalas dua menit kemudian, tanpa ucapan terima kasih: [Oke.]
Kepatuhan mutlak Anita telah membeli waktu istirahat yang krusial. Setelah tugas itu selesai, Anita langsung kembali ke tempat tidur. Obat pereda nyeri yang kuat mulai bekerja, tetapi kelelahan pasca-operasi dan infeksi yang masih bersembunyi menuntut istirahat total. Ia membiarkan tirai kamarnya tertutup rapat.
Di hari libur, rumah itu seharusnya penuh dengan aktivitas Aidan: suara musik dari ruang kerjanya, suara TV di ruang keluarga, atau deringan telepon bisnis yang keras. Namun, hari itu terasa tenang.
Aidan menghabiskan paginya dengan membaca di ruang tamu. Ia menikmati keheningan itu, awalnya. Ia merasa senang karena ia telah menekan Anita, dan Anita telah patuh.
Namun, menjelang siang, keheningan itu mulai terasa aneh.
Sejak ia menerima transfer, Anita benar-benar tidak menunjukkan batang hidungnya. Tidak ada suara pintu kamar dibuka, tidak ada langkah kaki di tangga, tidak ada aroma masakan. Tidak ada interaksi sama sekali.
Aidan sudah terbiasa dengan Anita yang menghindar, tetapi ia tidak terbiasa dengan Anita yang hilang sepenuhnya. Biasanya, Anita akan setidaknya keluar untuk mengambil air atau pergi ke kamar mandi, dan Aidan bisa melihat sekilas wajah pucatnya.
"Kenapa dia bersembunyi? pikir Aidan. Apakah dia sakitnya separah itu, atau dia sedang menyembunyikan sesuatu?"
Kecurigaan halus mulai menusuk pikiran Aidan. Ia tidak peduli Anita sakit, tetapi ia peduli jika Anita sakit dan berani mencari bantuan di luar pengetahuannya, yang bisa mengungkap aib rahangnya. Ia hanya diam, menunggu Anita membuat kesalahan.
Saat sore menjelang malam, perut Aidan mulai keroncongan. Ia menunggu, mengira Anita akan muncul untuk menyiapkan makan malam.
Namun, yang datang adalah notifikasi dari kurir di pintu depan, diikuti oleh pesan singkat dari Anita.
[Makanan malam sudah tiba. Silakan ambil di depan.]
Aidan mendengus. Ia mengambil kotak makanan itu dari kurir. Ia membukanya, dan di dalamnya terdapat Steak Rib-Eye favoritnya dengan saus mushroom dan kentang wedges. Ini adalah makanan mahal dan mewah, persis seperti seleranya.
Aidan tahu Anita memesan ini dari restoran langganan mahal miliknya, menggunakan uang dari tokonya sendiri, tentu saja.
Meskipun makanan itu sesuai dengan seleranya, Aidan merasa terhina. Anita telah menunaikan kewajiban melayani suaminya yang lapar, tetapi ia melakukannya secara dingin dan jarak jauh. Ia fungsional, tetapi tidak hadir. Ia patuh, tetapi tanpa interaksi. Aidan membenci kenyataan bahwa ia menikmati makanan yang dibayar oleh wanita yang ia benci, tetapi yang kini menjauhkan dirinya sepenuhnya.
"Dia bahkan tidak punya kekuatan untuk memasak untukku, tapi dia punya uang untuk memesan makanan mahal ini." pikir Aidan kesal. Ia makan sendirian, menikmati makanan favoritnya, tetapi kesal karena ia tidak bisa meluapkan amarahnya pada Anita.
Di kamarnya yang gelap, Anita memeluk dirinya, bersandar di bantal. Ia berhasil menyelesaikan kewajiban melayani Aidan tanpa harus meninggalkan kamar, tanpa harus berinteraksi, dan tanpa harus menunjukkan kelemahannya. Ia telah menggunakan uangnya sendiri untuk membeli kepatuhan dan keheningan.
Ia telah menghabiskan hari itu dengan meminum antibiotik dan memulihkan diri. Hari itu adalah hadiah yang ia berikan pada dirinya sendiri, hadiah yang nyaris merenggut nyawanya.
Malam semakin larut. Aidan akhirnya naik ke atas, dan Anita mendengar suara pintu kamar Aidan tertutup keras. Keheningan kembali melanda rumah.
Anita tahu, istirahat hari ini tidaklah gratis. Ia telah memancing kecurigaan Aidan melalui keheningan yang aneh. Esok hari, ia harus kembali ke toko, harus terlihat kuat dan bekerja keras, agar Aidan tidak memiliki alasan untuk menguasai asetnya. Ia harus melanjutkan sandiwaranya, didorong oleh ketakutan dan secercah harapan yang diberikan Dr. Imelda.
Pukul 21.00. Anita terbaring di tempat tidurnya, mencoba menahan nyeri. Tiba-tiba, ponselnya berdering dengan nomor yang tidak dikenal. Ia mengangkatnya. Suara seorang pria serak, yang ternyata adalah tetangga lama orang tuanya di kampung, terdengar panik.
"Neng Anita! Bapak dan Ibu... mereka di rumah sakit sekarang, Neng! Kena tabrak lari! Kondisinya... parah, Neng!"
Berita itu menghantam Anita dengan kekuatan yang lebih besar daripada pukulan Aidan mana pun. Seluruh tubuhnya yang sudah lemah seketika menegang. Ia merasakan nyeri hebat menusuk perutnya, tempat jahitan kuretase itu masih segar.
Ia memutus telepon. Ia tidak punya waktu untuk menangis. Ia harus pergi sekarang.
Anita menyeret dirinya keluar kamar, tubuhnya gemetar hebat. Demamnya sedikit naik lagi akibat shock. Ia berjalan ke kamar Aidan dan menggedor pintu sekuat tenaga.
Aidan membuka pintu dengan raut wajah kesal. "Ada apa lagi? Kamu mau—"
"Tolong! Mas Aidan! Tolong aku!" suara Anita serak, teredam oleh kawat, penuh kepanikan yang tulus. "Ibu dan Bapak... kecelakaan. Tabrak lari. Mereka... di rumah sakit."
Anita mencengkeram lengan Aidan. "Aku mohon... aku tidak bisa menyetir sendiri ke kampung malam ini. Aku... aku tidak kuat. Aku mohon, tolong antar aku sekarang!"
Aidan melihat Anita. Ia melihat kepanikan di mata wanita itu—kepala yang berkeringat, wajah yang sangat pucat, dan yang lebih penting, cara Anita mencengkeram perutnya seolah menahan rasa sakit yang luar biasa. Pemandangan itu mengganggu Aidan, bukan karena empati, tetapi karena ia khawatir Anita akan pingsan dan menimbulkan masalah hukum jika ia meninggalkannya.
"Dasar perempuan drama! Masalahmu tidak pernah habis!" maki Aidan. "Apa urusanku dengan orang tuamu?! Aku sedang libur!"
Aidan menghela napas kasar, melihat jam. Ia tidak ingin menghabiskan malam liburnya untuk mengemudi, tetapi ia menyadari: jika Anita collaps karena sakit di rumah, itu akan menjadi masalah besar.
"Baik!" Aidan mendesis. "Hanya karena aku tidak mau dihubungi polisi kalau kau mati di sini! Ambil tasmu! Cepat!"
Lima belas menit kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil Aidan, melaju kencang meninggalkan kompleks perumahan.
Aidan mengemudi dengan agresif, luapan amarahnya karena harus mengorbankan waktu liburnya. Anita duduk di kursi penumpang, memeluk tasnya erat-erat.
Ia tidak bisa bicara. Kawat di rahangnya, rasa sakit di perutnya, dan kepanikan yang mencekik karena nasib orang tuanya membuatnya bisu.
Di dalam mobil mewah yang sunyi itu, Anita hanya memejamkan mata. Ia merapal semua doa yang ia tahu. Ia memohon keselamatan untuk Bapak dan Ibunya. Ia mencoba mengabaikan rasa sakit di perutnya yang terus menusuk.
Ia tidak peduli pada Aidan di sampingnya. Ia tidak peduli pada kebenciannya. Ia hanya fokus pada tujuannya: memastikan orang tuanya selamat. Di tengah kelemahan dan trauma, Anita kembali dipaksa menjadi wanita yang kuat dan berjuang sendirian di dalam mobil, ditemani pria yang paling ia takuti.