Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 — Luka yang Tidak Sengaja Terlihat
Meskipun Aira dan Dion hidup di bawah atap yang sama—bahkan berbagi kamar di malam hari sebagai hukuman—mereka menjalani pagi hari seperti dua kutub magnet yang saling tolak. Dion akan segera menghilang ke ruang kerjanya setelah sarapan, dan Aira akan tenggelam dalam perannya sebagai "pengurus" Arvan di rumah megah itu, memastikan putra mereka bahagia, tetapi tetap di luar jangkauan Dion.
Namun, pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Aira sangat lelah, bukan hanya karena tuntutan fisik Dion, tetapi karena tekanan psikologis dari Tatapan yang Tak Bisa Dilupakan—tatapan yang kini tahu kebenaran mutlak. Aira tahu Dion sedang menunggu saat yang tepat untuk menghancurkannya, dan ketidakpastian itu lebih menyakitkan daripada ancaman yang jelas.
Aira memutuskan untuk memasak sesuatu yang istimewa untuk Arvan. Meskipun penthouse itu memiliki koki pribadi, Aira ingin memberikan sentuhan kehangatan rumah bagi putranya. Di tengah dapur marmer yang berkilauan dan steril itu, Aira mengambil pisau paling tajam untuk memotong wortel.
Pikirannya melayang, kembali ke pertanyaan Dion tadi malam: “Apakah kau pernah berpikir… jika kau jujur padaku saat itu, apakah nasibmu akan berbeda?”
Aira merenung, apakah benar ia telah menghukum Dion dengan kebohongannya, ataukah ia hanya melindungi dirinya sendiri dari pria yang tidak akan pernah mau bertanggung jawab atas kesalahan satu malam.
Di tengah lamunan yang kacau itu, pisau itu bergeser.
Srekk.
Aira tersentak. Rasa sakit yang tajam menyengat jari telunjuk kirinya. Ia menarik tangannya, dan setetes darah merah pekat segera tumpah di atas talenan putih.
Aira tidak mengeluarkan suara. Ia buru-buru menekan lukanya dengan handuk, mencoba menahan darah yang mengalir deras. Ia hanya tidak ingin Dion tahu kelemahannya lagi.
Dion, yang sebenarnya sedang berada di dapur basah yang bersebelahan—ia punya kebiasaan menyesap espresso di sudut pantry—mendengar suara benturan kecil pisau di marmer.
Instingnya sebagai seorang alpha yang teritorial, atau mungkin insting lain yang baru ia sadari, tiba-tiba bereaksi. Ia berjalan cepat ke dapur utama.
Ia menemukan Aira berdiri di sudut, wajahnya pucat, mencoba menutupi tangannya yang terluka. Handuk putih yang ia genggam sudah mulai basah dan diwarnai merah tua.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Dion, suaranya tajam, tetapi kali ini, bukan karena marah, melainkan karena keterkejutan.
Aira tersentak, terkejut dengan kehadiran Dion yang tiba-tiba. “Tidak ada, Tuan Arganata. Saya hanya… sedikit tergores. Saya bisa mengurusnya.”
Dion tidak mendengarkan. Ia melangkah cepat, meraih pergelangan tangan Aira. Cengkeramannya tegas, tetapi tidak menyakitkan, dan ia memaksa Aira untuk membuka genggamannya.
Saat Dion melihat sayatan tipis namun dalam di jari Aira, ia melihat darah yang mengalir tak henti.
“Bodoh!” desis Dion, menggunakan istilah yang biasanya ia gunakan untuk kegagalan pasar saham, kini ditujukan pada kecerobohan Aira.
Ia menyeret Aira ke wastafel. Ia menyalakan keran, dan tanpa mempedulikan perlawanan Aira, ia menahan tangan Aira di bawah air dingin yang mengalir.
“Jangan bergerak,” perintah Dion, nadanya adalah perintah mutlak yang tidak bisa dibantah.
Jarak di antara mereka hilang. Aira kini terperangkap antara wastafel yang dingin dan tubuh Dion yang panas. Aira bisa merasakan napas Dion di puncak kepalanya, aroma parfumnya, dan fokusnya yang sangat intens pada lukanya.
Dion mengambil kotak P3K dari laci terdekat, yang hanya bisa diakses olehnya, dan mulai membersihkan luka itu dengan kapas dan antiseptik. Rasa perih itu membuat Aira meringis.
“Tahan,” kata Dion. “Kenapa kau ceroboh sekali? Memikirkan apa? Uang yang akan kau dapatkan dariku?”
“Saya hanya… lelah,” bisik Aira.
Dion mengabaikannya. Ia terus membersihkan luka itu dengan hati-hati yang mengejutkan. Jari-jari panjang dan kuatnya, yang biasa mengatur kekayaan, kini dengan lembut merawat jari Aira yang terluka.
Aira mendongak, matanya bertemu mata Dion. Tatapan Dion yang biasanya dingin kini tercampur dengan kekhawatiran yang tidak ia inginkan. Itu adalah momen kedekatan yang intens dan berbahaya. Dalam keheningan dapur itu, di tengah bau antiseptik, Dion tidak lagi terlihat seperti CEO yang kejam. Ia terlihat seperti seseorang yang sedang melindungi sesuatu yang berharga. Sesuatu yang menjadi miliknya.
Setelah selesai membersihkan, Dion mengambil perban. Ia membalut jari Aira dengan sangat rapi, dengan ikatan yang kuat dan simetris—sama rapinya dengan cara ia mengikatkan tali sepatu Arvan malam itu.
“Selesai,” kata Dion, suaranya rendah. Ia melepaskan tangan Aira, tetapi tatapannya tidak lepas dari Aira.
“Kenapa kau tidak berteriak?” tanya Dion, matanya meneliti wajah Aira.
“Apa?”
“Ketika kau terluka,” jelas Dion. “Kau tidak mengeluarkan suara. Kau selalu menahan rasa sakit.”
Aira tersenyum pahit. “Saya sudah lama belajar, Tuan Arganata, bahwa rasa sakit yang sesungguhnya tidak perlu diteriakkan.”
Dion mengangguk perlahan. “Aku tahu.”
Dion kemudian menyandarkan tubuhnya di meja, mengambil jeda yang tidak biasa dari jadwalnya yang padat. Ia menggunakan waktu jeda ini untuk menyerang Aira dari sisi yang berbeda.
“Dulu,” kata Dion, pandangannya beralih ke wajah Aira, mencari jawaban yang tersembunyi. “Bagaimana kau bisa bertahan hidup, setelah Ayah Arvan meninggalkanmu? Kau harus membesarkan anak sendirian. Itu pasti sulit.”
Aira merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia tahu, setiap pertanyaan dari Dion kini mengandung jebakan.
“Sulit,” jawab Aira, mencoba terlihat tegar. “Tapi saya punya Ibu saya. Dan saya… saya bekerja keras. Saya bekerja serabutan. Saya tidak mau bergantung pada siapa pun.”
“Pekerjaan serabutan?” Dion menyeringai tipis, ekspresi menghina. “Wanita sepertimu? Dengan penampilan sepertimu, aku yakin ada banyak jalan pintas yang ditawarkan. Kau tidak mengambilnya?”
Aira merasa tersinggung, tapi ia tahu ia harus menjaga citra dirinya. “Saya tidak pernah mengambil jalan pintas, Tuan Arganata. Saya hanya pernah mengambil satu risiko besar dalam hidup saya.”
“Risiko apa?”
Aira menatap mata Dion. “Malam itu. Malam di ‘La Nuit’ empat tahun lalu. Itu adalah risiko terbesar saya, dan saya membayarnya. Sisanya, saya bekerja keras.”
Dion menatapnya lekat-lekat. Ia sudah tahu bahwa risiko malam itu menghasilkan Arvan.
“Apa yang membuatmu yakin Ayah Arvan tidak akan pernah kembali?” desak Dion. “Apakah kau yakin dia tidak mencari tahu? Apakah kau yakin dia tidak menyesali perbuatannya?”
Aira menggeleng kuat-kuat. Ia harus berbohong lagi. Ia harus meyakinkan Dion bahwa Ayah Arvan sudah mati secara emosional.
“Saya yakin,” kata Aira, suaranya dipenuhi keyakinan palsu. “Dia adalah pria yang pengecut. Dia bahkan tidak tahu Arvan lahir di mana. Dia tidak tahu apa-apa. Saya memastikan dia tidak tahu apa-apa.”
Kebohongan kecil. Aira berbohong tentang ketidakpedulian Dion. Ia menutupi fakta bahwa Dion, Ayah Arvan, bahkan tidak tahu ia memiliki anak, apalagi tempat kelahirannya.
Dion tersenyum, senyum penuh pengetahuan yang membuat Aira merinding. “Mengesankan. Kau sangat pandai menyembunyikan sesuatu. Kau bahkan tahu bagaimana menyingkirkan semua jejak.”
Ia melangkah mendekat, tangannya kini menyentuh perban di jari Aira. Sentuhan itu ringan, tapi membawa beban pengkhianatan yang sangat besar.
“Tapi, Aira,” bisik Dion. “Bagaimana jika… ada seseorang yang lebih pintar darimu? Seseorang yang, meskipun kau berusaha menyingkirkan jejaknya, memiliki naluri yang lebih kuat dari dirimu?”
“Saya tidak mengerti,” Aira berbisik, panik.
Dion mencondongkan tubuhnya. “Naluri itu,” kata Dion, tatapannya menyapu seluruh wajah Aira, dari dahi hingga ke bibir. “Naluri itu yang membuatku menarik tanganmu tadi. Naluri itu yang membuatku bertanya tentang masa lalumu. Dan naluri itu yang akan mengungkap semua kebohonganmu, satu per satu.”
Dion menarik tubuhnya menjauh. Peran suami yang merawat telah usai. Kini kembali ke peran tiran.
“Pergi,” perintah Dion. “Rawat lukamu. Dan jangan pernah lagi kau membuatku melihat ada luka di rumah ini. Baik di tubuhmu, maupun di fondasi pernikahanku.”
Aira tidak menunggu dua kali. Ia berbalik dan segera meninggalkan dapur, meninggalkan Dion yang kini berdiri sendiri, menatap jari-jari tangannya yang baru saja menyentuh darah Aira.
Darah itu… itu adalah darah yang sama dengan darah Arvan, dan darahnya sendiri.
Dion menyeringai. Aira telah memberinya kebohongan kecil: Ayah Arvan bahkan tidak tahu Arvan lahir di mana.
Dion kini tahu persis apa langkah selanjutnya. Ia akan membuktikan bahwa ia tahu segalanya, bahkan detail kelahiran yang coba disembunyikan Aira. Permainan psikologis telah berakhir. Saatnya untuk tindakan nyata.
semoga cepet up lagi