Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Puing-Puing Kepercayaan
Udara di ruang tamu terasa dingin, menusuk hingga ke tulang Raya, bukan karena suhu, melainkan kekosongan yang ditinggalkan Arlan. Pintu itu, baru beberapa menit lalu tertutup dengan debaman yang menggelegar di hatinya, kini seolah mengolok-olok keheningan yang mematikan. Ia masih meringkuk di lantai, air mata mengering di pipi, meninggalkan jejak perih. Suaminya pergi. Rumah tangganya di ambang kehancuran. Dan kebenaran itu… kebenaran itu baru saja merobek hati mereka berdua.
“Arlan…” Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia mencoba bangkit, setiap sendi terasa kaku, berat, seolah baru saja menopang beban dunia. Langkahnya gontai menuju ponselnya yang tergeletak di meja kopi. Jemarinya gemetar saat mencari nama Arlan di daftar kontak. Panggilan pertama… tidak diangkat. Kedua… tidak juga. Ketiga… langsung masuk kotak suara. Sebuah pesan singkat ia kirim, beruntun, memohon agar Arlan kembali, memohon penjelasan, memohon kesempatan untuk bicara.
*”Kumohon, Arlan. Jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan baik-baik. Langit butuh kita.”*
Tidak ada balasan. Hatinya mencelos. Seberat itukah kebenaran yang baru saja ia sampaikan? Ia tahu. Ia tahu itu lebih dari sekadar berat. Itu adalah pengkhianatan yang tak termaafkan di mata seorang suami, meskipun Raya sendiri adalah korban. Rasa bersalah menghimpitnya. Ia telah menyembunyikannya begitu lama, mencoba mencari tahu kebenaran tanpa menyakiti Arlan, tapi justru cara itulah yang kini menghancurkan segalanya.
Bayangan wajah Arlan yang terluka, marah, dan kecewa tadi masih jelas di benaknya. Mata pria itu… mata yang selalu memandangnya penuh cinta dan kepercayaan, kini memancarkan rasa sakit yang mendalam. Arlan telah mempercayainya dengan seluruh hatinya, dan kini kepercayaan itu hancur berkeping-keping di tangan sebuah rahasia yang ia simpan. Langit bukan darah dagingnya. Fakta itu saja sudah cukup untuk menghancurkan segalanya, apalagi jika Arlan mulai menghubungkan titik-titik tentang Damar.
Damar. Nama itu melesat ke benaknya seperti panah beracun. Mantan suaminya. Ayah biologis Langit, kemungkinan besar. Sebuah skema keji, penyalahgunaan teknologi reproduksi, atau kecurangan apa pun yang telah ia lakukan, itu kini menghantui Raya dan menghancurkan keluarganya. Kebencian membakar dadanya. Damar telah merenggut begitu banyak darinya di masa lalu, dan kini ia kembali dengan cara yang paling keji, merenggut kebahagiaannya bersama Arlan dan Langit.
“Tidak… tidak akan kubiarkan,” gumam Raya, suaranya sedikit menguat, diselipi amarah. Ia tak bisa menyerah begitu saja. Langit… Langit adalah putranya, jiwanya, terlepas dari darah atau kebohongan apa pun yang melatarbelakanginya. Ia tak akan membiarkan Damar merusak kehidupan anaknya lagi. Ia tak akan membiarkan Arlan pergi begitu saja karena kesalahpahaman yang bukan sepenuhnya kesalahannya.
Ia beranjak dari lantai, memutuskan untuk tidak lagi tenggelam dalam kesedihan. Ada yang harus ia lakukan. Ada kebenaran yang lebih dalam yang harus ia ungkap. Ia harus mencari bukti, bukti nyata tentang keterlibatan Damar dalam proses bayi tabungnya di masa lalu. Hanya dengan begitu ia bisa membela diri di hadapan Arlan, dan lebih penting lagi, melindungi Langit dari bayangan pria itu.
Arah kakinya membawanya ke kamar Langit. Putranya masih tertidur pulas di ranjangnya, wajah mungilnya tampak damai meskipun perjuangan melawan penyakitnya tak pernah berhenti. Raya duduk di sisi ranjang, mengusap lembut rambut Langit. Air matanya kembali menetes, kali ini bukan karena kesedihan yang menghancurkan, melainkan cinta yang meluap dan tekad yang mengeras.
“Sayang… Ibu akan melindungi kamu. Apapun yang terjadi, Ibu akan selalu ada untukmu,” bisiknya, mencium kening Langit. Kata-kata itu lebih seperti sumpah yang ia ucapkan pada dirinya sendiri. Ia harus kuat. Demi Langit. Demi Arlan, jika ada harapan untuk memperbaiki semuanya.
Pukul tiga pagi, Raya masih terjaga. Ia telah mencari-cari folder-folder lama di laptopnya, kotak-kotak dokumen yang ia simpan rapi. Setiap catatan medis dari proses IVF-nya lima tahun lalu ia buka, setiap detail ia periksa ulang. Ia mengingat kembali hari-hari yang ia lalui di klinik, kelelahan, harapan, dan doa yang tak putus. Ada yang aneh. Selalu ada yang aneh. Tapi dulu ia terlalu bahagia, terlalu fokus pada impiannya untuk memiliki anak, sehingga ia mengabaikan kejanggalan-kejanggalan kecil.
Kejanggalan pertama: Persetujuan untuk donor sperma yang ia tandatangani saat itu, hanya karena Arlan khawatir cadangan spermanya tidak cukup, atau ada masalah lain. Kenapa ia tidak terlalu mendalaminya? Dokter meyakinkan bahwa itu hanya formalitas, bagian dari protokol berjaga-jaga. Tapi mengapa kemudian hasil tes DNA menunjukkan Langit bukan anak biologis Raya, dan juga bukan sepenuhnya anak biologis Arlan?
Kejanggalan kedua: Ada satu hari di mana Damar meneleponnya, menanyakan kabarnya, pura-pura peduli. Itu terjadi tepat seminggu setelah prosedur pengambilan sel telur Raya. Saat itu, ia hanya menganggapnya sebagai kebetulan atau mungkin Damar mencoba bersikap baik. Tapi sekarang, itu terasa seperti predator yang mengintai mangsanya. Apakah Damar tahu sesuatu? Apakah ia sudah merencanakan ini sejak lama?
Raya meraih album foto lama. Foto pernikahannya dengan Damar. Wajahnya dulu, begitu polos, begitu penuh harapan. Kini, ia hanya melihat bayangan kebodohan yang ia sesali. Ia benci pria itu. Ia benci dirinya yang pernah begitu mencintai pria itu. Ia merobek halaman-halaman yang ada foto Damar, dengan tangan gemetar penuh amarah. Tapi ia tak bisa merobek kenyataan bahwa Damar adalah ayah biologis anaknya.
Pagi menjelang, namun Raya tak sedikit pun merasa lelah. Rasa kantuk telah digantikan oleh adrenalin dan tekad yang membara. Ia tahu ia harus menghubungi Dr. Karina, dokter yang menanganinya dulu. Ada pertanyaan yang harus dijawab. Ada kebenaran yang tersembunyi di balik rekam medisnya yang mungkin ia lewatkan.
Ia mencoba menelepon Dr. Karina. Nomornya tidak aktif. Panik melanda. Ia mencari nama klinik di internet. Klinik Harapan Keluarga. Berita lama bermunculan. Klinik itu telah ditutup tiga tahun lalu karena kasus malapraktik dan beberapa skandal etika. Jantung Raya berdebar kencang. Ini bukan kebetulan.
Dengan tangan gemetar, ia mencari nama Dr. Karina secara daring. Sebuah artikel berita dari setahun lalu muncul. Judulnya membuat darah Raya berdesir dingin:
*“Mantan Dokter IVF Terlibat Skandal Penipuan Identitas Bayi: Dr. Karina Suryadi Ditahan.”*
Napas Raya tercekat. Penipuan identitas bayi? Mungkinkah… mungkinkah ini terkait dengan Langit? Apakah ini cara Damar? Ia terus membaca, setiap kata menghantamnya seperti palu godam. Artikel itu menjelaskan bagaimana Dr. Karina dituduh menukar sampel sperma dan melakukan manipulasi data untuk membantu beberapa klien yang memiliki masalah kesuburan serius, atau bahkan untuk memenuhi keinginan pihak tertentu yang menginginkan anak dengan genetik spesifik. Beberapa donor tidak diinformasikan sepenuhnya, dan beberapa klien bahkan tidak tahu bahwa anak mereka bukan hasil dari materi genetik suami mereka.
Sebuah firasat buruk melilit perutnya. Firasat yang kini berubah menjadi keyakinan mengerikan. Damar pasti terlibat. Ia pasti tahu tentang skandal ini. Atau, lebih buruk lagi, ia adalah otak di baliknya, menggunakan Dr. Karina sebagai pionnya. Raya merasa seperti sedang jatuh ke jurang gelap yang tak berdasar. Semua kepingan puzzle kini mulai tersambung, membentuk gambaran yang sangat mengerikan.
Kepalanya pening, namun ia tak bisa berhenti. Ia mencari nama Damar di internet, bersamaan dengan kata kunci ‘Klinik Harapan Keluarga’ atau ‘Dr. Karina’. Tidak ada hasil yang langsung menghubungkan. Damar terlalu cerdik. Tapi ia yakin, sangat yakin, ini bukan kebetulan.
Ia perlu seseorang. Seseorang yang bisa membantunya menggali lebih dalam, seseorang yang punya koneksi ke dunia hukum atau penyelidikan. Ia memikirkan nama-nama. Siapa yang bisa ia percaya dengan rahasia sebesar ini? Arlan? Tidak, Arlan sedang terluka. Ibunya? Ia tak ingin ibunya khawatir.
Kemudian, sebuah ide muncul. Sebuah ide yang berisiko, tapi mungkin satu-satunya jalan. Ia tahu ada seseorang di kepolisian yang pernah membantunya secara tidak langsung di masa lalu, terkait kasus kecil yang menimpa kantornya. Pria itu adalah detektif muda yang cerdas, yang kebetulan mengenal beberapa orang yang pernah bekerja di klinik yang sama.
Ia mengambil ponselnya lagi, jemarinya mengetik cepat. Ia harus bertindak. Ini bukan lagi soal dirinya dan Arlan. Ini soal Langit. Ini soal keadilan. Ini soal melawan Damar yang keji.
*”Halo, Bisakah saya berbicara dengan Pak Bima?”*
Suaranya terdengar lebih mantap, lebih kuat dari yang ia duga. Tekadnya telah kembali, meskipun hatinya masih berdarah. Ia akan menemukan Damar. Ia akan mengungkap kebenaran. Ia akan memperjuangkan Langit, apapun risikonya.
Telepon tersambung. “Dengan siapa ini?” suara wanita di ujung sana bertanya.
“Ini Raya. Raya Adhisti. Saya butuh bantuan penting. Ini tentang… kasus lama yang terkait dengan Klinik Harapan Keluarga.”
Ada jeda di ujung telepon, sebuah keheningan yang panjang dan mencurigakan. Lalu, suara wanita itu kembali, kali ini terdengar lebih serius, “Tunggu sebentar, Bu Raya. Akan saya sampaikan pada Pak Bima. Sepertinya… ada seseorang yang juga sedang mencari Anda terkait kasus yang sama.”
Jantung Raya berpacu kencang. Seseorang? Siapa? Apakah itu… Damar? Atau justru orang lain yang juga menjadi korban? Bayangan Damar kini bukan lagi sekadar bayangan. Ia telah melangkah keluar dari kegelapan, mendekat, dan Raya tahu, pertempuran sesungguhnya baru saja dimulai. Dan ia sama sekali tidak siap untuk apa yang akan datang. Sama sekali tidak. Ini bukan pertanda baik. Ini adalah alarm bahaya. Ia merasa terjerat, diintai, dan sendirian dalam badai yang akan menerjangnya.