"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Maya duduk di kursi kulit yang empuk, tapi ia merasa seperti sedang duduk di atas duri. Jantungnya berdebar kencang, suaranya terasa tersangkut di tenggorokan. Udara di ruangan itu terasa berat, dipenuhi aura dominan Arya. Matanya yang tajam menatap Maya, seolah sedang membaca setiap inci jiwanya.
"Terima kasih sudah datang, Mbak Maya," kata Arya, suaranya tenang, namun ada nada yang membuat Maya sedikit bergidik. "Bi Sumi sudah cerita banyak tentang Anda."
"Sama-sama, Tuan Arya," jawab Maya, berusaha agar suaranya tidak bergetar. "Maaf kalau mengganggu waktu Anda."
Arya tersenyum tipis. "Tidak sama sekali. Saya memang sudah menjadwalkan ini." Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat kedua tangan di depan dada. Gerakan itu memperlihatkan otot-otot lengannya yang terbentuk sempurna di balik kemeja. "Jadi, Anda tertarik dengan pekerjaan ini?"
"Iya, Tuan Arya," Maya mengangguk cepat. "Saya butuh pekerjaan. Untuk membantu suami." Ia mencoba menjaga suaranya tetap formal.
"Membantu suami?" Arya mengangkat alisnya sedikit. "Suami Anda kerja apa?"
"Suami saya montir, Tuan. Ada bengkel kecil," jelas Maya.
Arya mengangguk-angguk. "Begitu. Dan Anda ingin kerja sebagai pembantu rumah tangga di sini?" Ada penekanan pada kata 'pembantu rumah tangga', seolah ia sedang mengamati reaksi Maya.
"Iya, Tuan," Maya menahan napas. "Saya bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Saya rajin dan bersih."
"Saya tidak meragukan itu," kata Arya, matanya menelusuri wajah Maya perlahan. "Tapi saya mencari seseorang yang bisa dipercaya. Rumah ini isinya barang-barang penting dan saya sering bepergian."
"Saya jamin, Tuan. Saya orangnya jujur," sahut Maya, mencoba meyakinkan.
Arya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Senyum yang membuat Maya merasa perutnya seperti digelitiki kupu-kupu. "Saya percaya itu. Bi Sumi juga menjamin Anda. Dia bilang Anda tetangga yang baik."
"Bi Sumi juga baik sekali, Tuan," kata Maya.
"Oke, mari kita bicara soal pekerjaan dan gaji," Arya menggeser posisi duduknya, sedikit condong ke depan.
"Pekerjaan Anda di sini akan meliputi membersihkan rumah setiap hari, mencuci pakaian, memasak makanan, dan sesekali membantu saya dengan hal-hal kecil."
Maya mendengarkan dengan saksama. "Baik, Tuan."
"Untuk jam kerja, saya fleksibel. Saya tidak masalah kalau Anda pulang sore. Tapi saya ingin rumah ini selalu rapi dan bersih. Terutama ruang kerja ini, dan kamar saya," Arya menatapnya. "Dan untuk gaji..." Arya terdiam sejenak, membuat Maya menahan napas. "Saya akan memberikan tiga kali lipat dari rata-rata gaji pembantu rumah tangga di daerah ini."
Mata Maya membulat. Tiga kali lipat? Itu jauh di atas ekspektasinya. Jauh di atas apa yang Tama hasilkan dalam seminggu penuh. Gaji itu bisa mengubah banyak hal dalam hidup mereka. Impian tentang pengobatan kesuburan yang lebih baik, tabungan untuk bengkel Tama, bahkan mungkin sedikit kemewahan kecil yang sudah lama ia dambakan.
"Tuan... Tuan serius?" tanya Maya, tak percaya.
Arya terkekeh pelan. "Saya tidak pernah main-main soal uang, Mbak Maya. Saya butuh orang yang kompeten dan bisa saya percaya. Dan saya menghargai pekerjaan itu.
Anggap saja itu bonus kepercayaan."
Senyum tipis tersungging di bibir Arya, dan kali ini, senyum itu terasa... mengundang. Bukan hanya karena uang, tapi karena ada sesuatu di balik tatapannya. Sebuah tatapan yang seolah mengatakan, "Aku bisa memberimu lebih dari sekadar uang."
Maya merasakan panas menjalar di wajahnya. Ia segera menunduk, menyembunyikan ekspresi terkejutnya. "Terima kasih banyak, Tuan. Saya... saya pasti akan bekerja keras."
"Bagus," kata Arya, suaranya terdengar puas. "Anda bisa mulai kapan?"
"Kapan saja, Tuan. Saya siap," jawab Maya cepat.
Arya mengangguk. "Bagaimana kalau besok pagi? Bi Sumi akan membantu Anda membiasakan diri dengan rumah ini. Dia akan menjelaskan apa saja yang perlu
dilakukan."
"Baik, Tuan. Besok pagi saya akan datang," kata Maya, hatinya diliputi kegembiraan yang aneh.
"Ada pertanyaan lain?" tanya Arya.
Maya berpikir sejenak. "Tidak ada, Tuan. Saya rasa sudah jelas."
"Baiklah kalau begitu. Selamat datang di rumah saya, Mbak Maya," Arya tersenyum.
Maya membalas senyumnya, lalu bangkit dari kursi.
"Terima kasih banyak, Tuan Arya. Saya permisi dulu."
"Silakan," Arya mengangguk.
Maya berbalik, berjalan menuju pintu. Saat tangannya meraih kenop pintu, ia mendengar suara Arya lagi.
"Mbak Maya."
Maya menoleh. Arya sudah berdiri, bersandar di meja kerjanya, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Iya, Tuan?"
"Saya harap Anda betah bekerja di sini. Saya yakin kita akan... cocok," kata Arya, dengan penekanan samar pada kata 'cocok'. Sebuah senyum misterius terukir di bibirnya.
Maya merasakan merinding di lengannya. Kata 'cocok'
itu terasa sangat ambigu. Cocok sebagai pekerja dan majikan, atau 'cocok' dalam artian lain? Ia memaksakan sebuah senyum. "Semoga begitu, Tuan."
Ia segera keluar dari ruangan itu, jantungnya berdebar tak karuan. Bi Sumi sudah menunggu di luar, tersenyum lebar.
"Bagaimana, Mbak Maya? Sudah diterima?" tanya Bi Sumi.
Maya mengangguk, masih berusaha menormalkan napasnya. "Iya, Bi. Alhamdulillah."
"Wah, selamat ya, Mbak! Tuan Arya itu memang orangnya baik. Gajinya besar kan?" bisik Bi Sumi, matanya berbinar.
Maya hanya tersenyum mengiyakan. Ia tidak bisa menceritakan perasaan aneh yang ia rasakan saat berhadapan dengan Arya tadi.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Bi. Besok pagi saya akan datang," kata Maya.
"Iya, Mbak. Hati-hati di jalan," Bi Sumi melambaikan tangan.
Maya berjalan cepat melewati halaman depan, menuju gerbang. Begitu ia keluar dari gerbang rumah Arya, ia menarik napas lega. Udara di luar terasa lebih bebas, namun pikirannya masih terpenuhi oleh Arya. Senyum misteriusnya, tatapannya yang tajam, dan kata 'cocok' yang menggantung di udara.
Ia sudah mendapatkan pekerjaan itu. Sebuah pekerjaan yang menjanjikan stabilitas finansial. Tapi ia tahu, ini bukan hanya tentang uang. Ada sesuatu yang lebih besar yang menariknya ke sana. Sebuah daya tarik yang berbahaya, namun begitu memikat.
Setibanya di rumah, Maya langsung menuju kamar. Ia duduk di tepi ranjang, merenung. Besok. Besok ia akan mulai bekerja di rumah Arya. Berada di lingkungan yang sama dengan pria itu, setiap hari. Ia harus sangat berhati- hati.
Ia melihat sekeliling kamarnya yang sederhana. Seprai yang sudah pudar warnanya, lemari pakaian yang agak reot. Semua benda itu adalah saksi bisu dari kehidupan yang ia jalani selama ini. Kehidupan yang pas-pasan, tanpa kejutan, tanpa gairah.
Tapi besok... besok akan berbeda. Ia akan masuk ke dalam dunia Arya, dunia yang penuh kemewahan dan misteri. Dunia yang mungkin akan memberinya sesuatu yang selama ini ia rindukan. Atau justru, menghancurkan segalanya.
Ia memejamkan mata, membayangkan Arya. Mata tajam itu. Senyum menawan itu. Apakah "cocok" yang dimaksud Arya memang hanya sebatas hubungan majikan dan pekerja? Atau ada makna lain yang lebih dalam, lebih terlarang, yang baru akan ia temukan?
Maya merasakan debaran yang semakin intens di dadanya. Sebuah debaran yang bukan lagi karena kecemasan, melainkan karena... antisipasi. Antara ketakutan dan keinginan yang tak bisa ia jelaskan.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya