(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Dosa dan Tanggung Jawab
Kami sampai di rumah sekitar waktu maghrib. Beruntung waktunya belum benar-benar habis. Bergegaslah aku mandi kilat, bersuci, lalu menunaikan kewajibanku sebagai seorang wanita muslim. Setelahnya, aku menyiapkan makan malam yang sudah ku masak sebelumnya untuk kami semua.
Ibuku tidak bertanya sama sekali. Dia hanya menerima piring yang ku berikan dan makan. Mungkin baginya, melihatku bersama dengan Mas Hendra saja sudah cukup menjadi jawaban. Jadi meski dia tahu aku sempat ingin bercerai dari Mas Hendra, dia memilih diam.
Sama seperti ibu, anak-anakku pun begitu. Mereka tidak bertanya apapun dan hanya fokus menghabiskan makan malam mereka. Mas Hendra sesekali mencoba memecah keheningan dengan menawarkan lauk kepada anggota keluarga yang lain, dan begitulah makan malam kami berlangsung sampai semuanya selesai.
Setelah selesai shalat isya, semua anggota di rumah ini kembali ke kamar mereka masing-masing. Anak-anak belajar, sedang ibuku memilih untuk tidur lebih cepat.
Aku dan Mas Hendra pun begitu. Mungkin karena dia ingin berbaikan denganku, karena itu dia memilih untuk tidak keluar rumah dan berkumpul bersama teman-temannya malam ini. Dia memilih untuk quality time denganku.
"Dik, terimakasih ya. Karena sudah bersedia memberi kesempatan kedua untuk Mas." Kata suamiku.
Aku menghentikan gerakan tanganku yang sedang membersihkan wajah dengan kapas saat mendengar ucapannya, namun lekas kembali melanjutkan.
"Kesempatan ketiga, Mas. Kan sebelumnya aku sudah kasih kesempatan kedua, tapi kamu malah makin enggak pulang sama sekali ke rumah ini selama sebulan penuh." Sindirku.
Mas Hendra terlihat ingin menjawab, namun akhirnya mengurungkan. Mungkin dia pun menyadari kesalahan yang dia lakukan padaku.
Aku membuang kapas bekas pakai milikku tadi ke tong sampah. Kugeser tempat duduk ku agar aku bisa melihat langsung ke wajahnya.
"Sebulanan ini... apa kamu benar-benar enggak ingat dengan anak istrimu, Mas? Sampai-sampai enggak pulang, tanya kabar lewat telepon pun enggak." Kataku.
Mas Hendra syok, dia menatap wajahku dengan panik.
"Enggak, bukan gitu. Ehm..."
Dia menggaruk tengkuk lehernya.
"Gini, dik. Mas minta maaf. Mas juga sebenarnya bingung."
“Bingung? Pria macam apa yang merasa bingung untuk memilih di antara tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah dengan dosa dan cinta terlarangnya pada sang wanita simpanan? Kamu pasti bisa menilainya sendiri, kan?” potongku menyindirnya.
Mas Hendra menghela napas kasar.
"Mas akui, Mas melakukan kesalahan lagi. Mas datang temui dia untuk memutuskan hubungan kami waktu itu. Lalu dia nangis. Mas merasa enggak tega ngeliat dia begitu, karena bagaimanapun kan Mas udah ngambil sesuatu yang berharga dari dia." Katanya.
Aku mengangkat alis.
"Sesuatu yang berharga? Apa?"
Dia tampaknya merasa tak enak untuk mengatakannya.
"Itu... kamu kan tahu kalau kami sudah..."
Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Merasa malu, mungkin. Dan aku pun hanya bisa terkekeh. Sakit, sebenarnya. Tapi aku memilih untuk tidak mempertunjukkan hal itu.
"Oh, jadi kamu merasa enggak enak karena kamu udah 'tidur' dengan dia? Kamu merasa enggak enak kalau setelah semua itu kamu tinggalkan dia? Jadi benar dong, kalau kamu mau menikahi dia?"
"Dik..."
Mas Hendra menatapku seolah memintaku untuk berhenti. Mungkin dia khawatir jika pembicaraan kami akan kembali meletuskan pertengkaran seperti sebelum-sebelumnya.
Aku menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya. Mencoba untuk menenangkan diri. Tenang, Inara. Lagipula kamu sudah tahu semuanya. Jadi, tidak perlu emosi lagi.
Aku terus mengulangi kata-kata itu di dalam hati, seolah itu adalah mantra untuk menguatkan hati.
"Mas... Mas cuma sadar kalau Mas udah melakukan banyak kesalahan dan kejahatan. Mas udah nyakitin kamu, dan Mas enggak mau mengulanginya lagi. Mas benar-benar ingin melepaskan hubungan kami. Tapi waktu melihatnya menangis saat Mas meminta perpisahan setelah dia memberikan semuanya untuk Mas, Mas---"
Aku terkekeh pelan, membuatnya berhenti bicara dan menatapku dalam bingung.
"Mas, kamu sadar enggak, sih? Yang make dia bukan cuma kamu." Kataku.
Mas Hendra membuka mulutnya, syok.
"Dik, Mas udah bilang sama kamu sebelumnya. Dewi memang bukan perempuan shalihah, tapi dia enggak pernah jual diri. Dia---"
"Dia itu pelac*r, Mas! Pelac*r terkenal. Dia bahkan sudah menjadi mami bagi beberapa anak yang baru berkecimpung di dunia malam. Dan bisa-bisanya kamu percaya kalau hanya kamu yang dia layani?" Ungkapku padanya.
Mas Hendra tampak semakin syok saat menerima fakta itu.
"Tapi dia bilang, dia enggak begitu. Dia terpaksa jadi LC karena punya tanggungan Ibu serta anaknya yang SMA. Dia butuh dana banyak, sedangkan untuk mencukupi itu semua sangat sulit. Mantan suaminya pun tidak mau membantu biaya sekolah putri mereka. Karena itu, dia..."
Mas Hendra terdiam, seolah mulai mencerna kata-kataku. Aku pun terkekeh pelan untuk menyindirnya.
"Mas, Mas. Kamu ini ya, bisa-bisanya dibodohi wanita seperti itu. Tapi, cocok lah. Kamu mengejar selangkangan, dan dia mengejar uang. Itu karma. Aku enggak mau tahu, besok kita cek ke dokter. Takutnya kamu tertular penyakit pula dari wanita itu." Kataku.
Mas Hendra semakin tak bersuara. Entah karena malu, atau karena sadar akan kebodohannya sendiri. Aku sendiri pun heran. Dia sudah memutuskan hubungannya dengan wanita itu, tapi mengapa sulit sekali baginya menerima fakta yang ku berikan padanya ini? Seolah hal ini adalah pukulan telak bagi dirinya.
Apa hanya karena dia merasa dibohongi? Atau dia sebenarnya ada rencana untuk kembali?
Aku menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan semua praduga yang hanya akan membuat kepalaku bertambah sakit.
Kembali, aku melanjutkan kegiatanku untuk memakai skincare.
"Kamu tahu semua info itu darimana, Dik?"
Sepertinya dia masih penasaran tentang wanita itu.
Aku mendengus pelan.
"Ada, lah. Kamu pikir aku wanita lemah yang hanya akan diam sambil menangis, berharap suamiku kembali? Oh, tidak. Aku sudah selidiki dia. Wajar kan kalau aku tahu hal-hal penting dari musuhku? Dan kalaupun kamu tetap ngotot memilih dia, terserah. Tapi aku sih lebih memilih pisah daripada menerima wanita lain milik suamiku."
"Kamu kejam sekali, Dik." Katanya nelangsa.
Aku menggelengkan kepala pelan. Sebelumnya, kehilangannya benar-benar terasa menyakitkan. Aku tidak berselera makan, sulit tidur, juga terus mempertanyakan mengapa suamiku memperlakukan diriku seperti itu.
Tapi setelah aku mengikuti kata-kata Meira untuk menenangkan diri, aku benar-benar jadi lebih tenang. Sakit tetap sakit, tapi... setidaknya aku lebih siap jika aku benar-benar harus kehilangannya yang mengkhianatiku. Meski, yah, agak sulit juga karena terhalang tentang anak.
"Mas selalu sulit untuk meninggalkan dia karena dia mengancam akan menyakiti kamu kalau Mas melakukan itu. Mas tahu ini kesalahan Mas, jadi Mas enggak mau kalau kamu akhirnya jadi korban. Makanya selama ini Mas tetap bertahan meski dia sering juga membuat Mas kesal dan marah."
"Harusnya Mas bilang sama aku. Kalau aku tahu ada yang berniat jahat sama aku, aku kan bisa lebih hati-hati. Tapi kalau Mas diam begini, bisa saja dia cari-cari kesempatan disaat aku lengah karena aku enggak tahu apa-apa." Kataku.
Mas Hendra terdiam lagi. Tampaknya dia sedang merenungi apa saja yang sudah dia lakukan. Sejujurnya, Mas Hendra bukan tipe pria yang lola, alias loading lambat. Dia gesit dalam mengambil kesempatan dan cepat dalam menangkap informasi. Tapi kali ini, aku merasa tidak menemukan hal ini darinya. Apa pengaruh wanita itu sudah membuat suamiku benar-benar menjadi tumpul akalnya?
Ponselku berdering.
Aku membuka pesan yang baru saja masuk, dari Joko.
[Mbak, aku baru saja lihat status EFBE wanita itu. Lihat sendiri, deh.]
Sebuah tangkapan layar turut serta dikirimkan padaku. Dewi memang sudah memblokir akunku sehingga aku tidak bisa melihat isi EFBE nya. Jadi, sengaja aku menyuruh Joko untuk menyelinap sebagai salah satu pengikutnya agar bisa memata-matai dirinya.
[Meski dagingku tercabik dan tulangku diremuk, aku akan balas semua yang kamu lakukan padaku!]
Aku mengernyit membaca tulisan dalam tangkapan layar itu. Apa-apaan dia ini? Sudah jelas dia yang merebut suami orang lain. Tapi kini dia justru ingin membalas dendam padaku karena mengambil kembali suamiku.
Aku hendak membalas pesan yang Joko kirim, saat sebuah bola cahaya tiba-tiba muncul seolah jatuh dari langit-langit. Suara bedebumnya terdengar keras saat jatuh diatas ranjang, sebelum akhirnya bola itu terbang kembali dan menembak foto keluarga kami yang kebetulan memang terpajang di dinding kamar.
Fotoku, Mas Hendra, Aldo, dan Gita.
"Apa itu?!"
Mas Hendra juga ikut terkejut. Dia langsung berdiri dari posisi duduknya dikasur, wajahnya tampak memucat. Kami sama-sama melihat jelas saat bola cahaya itu tiba-tiba muncul entah darimana, lalu...
Ya Allah... Apalagi ini?
***
Haduuuh... gimana nih, guys?
Inara ternyata tahu kalau “wanita itu” bukan sekadar selingkuhan, tapi juga pelac*r beneran!
Mas Hendra pun mulai sadar kalau dia udah dibodohi. Tapi, ya... terlambat juga, ya nggak?
Menurut kalian, gimana sikap Inara barusan?
Tegas banget atau masih terlalu lembut sama Mas Hendra yang “sok bingung” itu? 😤
Terus... kalau kalian di posisi Inara, bakal maafin suami yang kayak gini atau langsung ceraikan aja?
Dan yang paling bikin penasaran...
itu bola cahaya apa, sih?! 😨
Tulis pendapat kalian di kolom komentar, ya! 🩶
See you ~
Semangat berkarya ya Thor