"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Pagi itu, Maya terbangun dengan perasaan berdebar. Bukan lagi debaran hampa yang biasa mengiringi hari-harinya, melainkan debaran penuh antisipasi. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Arya. Nama itu terngiang-ngiang di benaknya, memunculkan bayangan wajah yang hanya ia lihat sekilas.
Ia menyelesaikan pekerjaan rumahnya dengan lebih cepat dari biasanya. Mencuci piring, menyapu lantai, menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri setelah Tama berangkat ke bengkel. Setiap gerakannya terasa lebih ringan, seolah ada energi baru yang mengalir dalam dirinya. Sesekali, ia melirik ke arah jendela, ke rumah di sebelah. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang mencolok. Mobil mewah berwarna hitam itu masih terparkir di carport, sebuah indikasi bahwa pemiliknya sudah ada di rumah.
Maya memutuskan untuk menyiram tanaman di teras, berharap bisa mendapatkan pandangan yang lebih jelas. Ia mengambil selang air, memutar keran, dan mulai membasahi pot-pot bunganya yang mulai layu. Matanya sesekali melirik ke arah gerbang rumah Arya.
Tiba-tiba, gerbang besi tempa itu terbuka. Seorang pria keluar dari dalam, mengenakan t-shirt abu-abu polos dan celana pendek selutut. Rambutnya sedikit acak-acakan, seolah baru bangun tidur, namun justru menambah kesan 'effortlessly handsome' pada dirinya. Ia membawa sebuah cangkir kopi di tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang ponsel, sesekali melihat ke layar.
Itu dia. Arya.
Maya berhenti menyiram, tangannya terpaku pada selang. Jantungnya berdegup lebih kencang. Ini bukan lagi bayangan samar atau bisik-bisik tetangga. Ini nyata. Arya berjalan santai di halaman, mengamati beberapa pot tanaman yang baru ditanam oleh Bi Sumi dan tukang kebun kemarin sore. Ia terlihat begitu rileks, seolah tidak ada beban dunia di pundaknya. Kontras sekali dengan Tama yang selalu terburu-buru, selalu dilingkupi aroma oli dan keringat.
Arya berhenti di dekat pagar pembatas antara rumahnya dan rumah Maya. Ia menghirup kopi dari cangkirnya, lalu menoleh ke arah Maya. Mata mereka bertemu. Kali ini, tatapannya tidak lagi sekilas atau acak. Itu adalah tatapan yang disengaja, sebuah penilaian yang cepat namun mendalam.
Maya merasakan pipinya memanas. Ia menunduk, pura-pura sibuk membetulkan letak pot bunga. Jantungnya berpacu seperti kuda. Ia bisa merasakan tatapan Arya masih tertuju padanya.
"Selamat pagi," suara Arya memecah keheningan. Suaranya rendah, sedikit serak, namun begitu berkarisma.
Maya mengangkat kepalanya pelan, menatap Arya. Sebuah senyum tipis terukir di bibir pria itu. Senyum yang membuat mata Maya tidak bisa lepas. "Pagi," jawab Maya, suaranya sedikit tercekat.
"Tetangga sebelah, ya?" Arya bertanya, melangkahkan satu kakinya ke atas dinding pembatas rendah.
Maya mengangguk. "Iya. Saya Maya. Tinggal di sini sudah lima tahun."
"Oh," Arya mengangguk. "Saya Arya. Baru pindah
kemarin."
"Saya tahu. Bi Sumi yang memberitahu," Maya menambahkan, tanpa sadar tersenyum sedikit.
Arya terkekeh pelan. Suara kekehannya pun terdengar menawan. "Sudah kenalan dengan Bi Sumi, ya? Dia memang cerewet."
Maya ikut tersenyum. "Dia baik."
Ada keheningan singkat. Arya memandangnya.
Tatapannya membuat Maya merasa tel4njang, seolah Arya bisa melihat semua kehampaan dan kerinduan di dalam dirinya. Tapi bukan dengan tatapan menghakimi. Lebih seperti tatapan... penasaran.
"Sering menyiram tanaman pagi-pagi begini?" tanya Arya, matanya beralih ke tanaman di pot.
"Iya. Sudah kebiasaan," jawab Maya. Ia merasa
canggung, namun sekaligus menikmati interaksi ini.
Tama tidak pernah bertanya tentang kebiasaan kecilnya.
"Tanaman Anda subur," puji Arya, menunjuk bunga melati yang mekar di pot dekat pintu rumah Maya. "Saya kurang pandai mengurus tanaman."
"Ah, tidak juga. Ini cuma bunga biasa," kata Maya merendah.
"Tapi tetap saja. Butuh ketelatenan," kata Arya,
Menatap Maya lagi. Ada jeda sejenak, di mana Maya merasa waktu melambat. Mata Arya menelusuri wajahnya, lalu turun ke leher jenjangnya, dan berhenti sesaat di area dadanya yang tersembunyi di balik daster. Maya merasakan blush menjalar hingga ke lehernya. Ia segera membuang pandangan.
"Anda sudah sarapan?" tanya Arya, mengubah topik.
Maya menggeleng. "Belum. Nanti saja."
"Saya baru mau buat kopi lagi. Mau bergabung?" tawar Arya.
Maya terkejut. "Oh, tidak perlu, terima kasih. Saya... harus menyelesaikan pekerjaan rumah."
"Begitu? Padahal saya baru mau mengajak ngobrol," kata Arya, suaranya sedikit menggoda.
Maya tersenyum kaku. "Lain kali saja mungkin."
"Baiklah kalau begitu," Arya mengangguk. Ia mengangkat cangkirnya sedikit. "Sampai jumpa lagi, Maya."
"Sampai jumpa," balas Maya.
Arya kembali ke dalam rumahnya, meninggalkan Maya di teras dengan selang air yang masih menetes. Maya menunggu sampai gerbang tertutup rapat, lalu ia mematikan keran air. Tangannya gemetar.
Ia melangkah masuk ke dalam rumah, langsung menuju cermin di ruang tamu. Ia melihat pantulan dirinya. Daster rumahan yang biasa ia kenakan, rambut yang hanya diikat seadanya. Tidak ada yang istimewa. Tapi mengapa tatapan Arya tadi begitu intens? Mengapa ia merasa seolah ada sesuatu yang berkelebat di mata pria itu saat menatapnya?
Pesona Arya tidak seperti pesona yang biasa ia lihat pada pria lain. Bukan sekadar tampan atau kaya. Ada aura misterius, sedikit berbahaya, namun sangat menarik. Cara Arya memandang, cara ia berbicara, semuanya terasa begitu berbeda. Ada sebuah janji tersirat dalam tatapan itu, janji akan sensasi yang belum pernah ia rasakan.
Maya berjalan ke kamar tidur, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdebar. Ia berbaring telentang di tempat tidur, menatap langit-langit. Pikiran tentang Arya memenuhi benaknya. Ia membandingkan Arya dengan Tama. Jauh sekali. Tama adalah rutinitas. Arya adalah ketidakpastian. Tama adalah keamanan yang membosankan. Arya adalah bahaya yang memikat.
"Maya!"
Suara Tama memanggil dari luar. Maya tersentak. Ia segera bangkit, menuju ruang tamu.
"Sudah pulang, Mas? Kok cepat sekali?" tanya Maya, sedikit kaget.
Tama menggeleng. "Bukan. Ini Mas mau titip beli rokok sama kopi di warung Pak Jaja. Mas buru-buru, ada servis mendadak." Tama menyerahkan beberapa lembar uang. "Sekalian nanti sore kalau ada waktu, tolong ke bengkel ya, bawakan makan siang. Hari ini kayaknya ramai sekali."
"Oh, iya, Mas. Nanti aku ke sana," kata Maya, menerima uang itu.
"Makasih ya, Yank. Mas berangkat lagi," kata Tama,
Mencium kening Maya sekilas, lalu bergegas pergi.
Maya menatap uang di tangannya. Ia harus ke warung Pak Jaja, yang letaknya cukup jauh. Ia melewati beberapa rumah dan kios. Saat ia sampai di tikungan gang menuju warung, sebuah pemandangan menarik perhatiannya.
Di depan sebuah kios pulsa, Pak Jaja sedang menempelkan sebuah kertas pengumuman. Kertas itu tampak baru, dengan tulisan tercetak rapi. Maya melangkah mendekat, rasa penasaran yang tak bisa ditahannya menuntunnya.
DICARI: PEMBANTU RUMAH TANGGA
Untuk rumah besar di Jl. Kenanga No. 12 (sebelah bengkel Makmur Jaya)
Gaji menarik, diutamakan yang jujur dan rajin.
Minat hubungi: (nomor telepon tertera jelas)
Maya membaca tulisan itu berulang kali. Jl. Kenanga No. 12. Itu adalah alamat rumah Arya. Ia melihat nama kontak di bawahnya. Bukan nama Arya, melainkan sebuah nomor telepon.
Jantung Maya kembali berdesir. Ini kesempatan.
Kesempatan untuk mendapatkan uang tambahan, yang sangat mereka butuhkan. Tapi juga... kesempatan lain. Kesempatan untuk berada lebih dekat dengan Arya. Untuk memasuki dunianya.
Ia tahu ini berbahaya. Ia tahu ia sudah punya suami. Tapi kekosongan yang ia rasakan selama ini, ditambah dengan pesona tak terbantahkan dari Arya, seolah mendorongnya. Sebuah ide gila terlintas di benaknya. Ini bisa jadi jalan keluar dari rutinitas yang mencekiknya.
Atau justru, menjerumuskannya ke dalam jurang yang lebih dalam?
Maya meremas uang di tangannya. Ia menatap pengumuman itu lagi. Sebuah tarikan kuat terasa dari dalam dirinya, menariknya untuk mengambil langkah berani yang belum pernah ia bayangkan.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya