Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ironi di Terminal
Pukul 22.00 WIB. Pintu toko kue Senyum Tiramisu ditutup. Lampu dimatikan, dan aroma manis yang mengisi hari kerja kini menghilang, digantikan oleh hawa malam yang dingin. Anita menghela napas, sebuah tindakan yang langsung memicu rasa nyeri di rahangnya. Rasa sakit di perutnya juga kembali tajam setelah seharian ia paksa bekerja.
Ia tidak bisa kembali langsung ke rumah. Rumah berarti Aidan. Dan jika ia di toko sampai selarut ini, itu artinya tidak ada makan malam buatan istri di rumah.
Aidan tidak peduli. Ia sudah memutus nafkah bulanan Anita, dan karena itu, ia juga memutus kewajiban untuk makan di rumah. Malam seperti ini, Aidan biasanya akan makan di restoran mahal langganannya, atau mungkin minum-minum di bar favoritnya, menghabiskan uang yang dulu seharusnya menjadi milik mereka.
Anita memilih transportasi umum. Ia tidak ingin Aidan curiga ia menggunakan uang taksi terus-menerus. Ia berjalan kaki perlahan ke terminal bus terdekat. Udara malam yang dingin terasa menusuk di kulitnya, menembus pakaian tipisnya dan mengenai tubuhnya yang lemah. Rasa sakit kini adalah konstanta, sahabat yang menemani setiap langkah.
Ia duduk di kursi plastik di terminal yang sepi. Di sekelilingnya, lampu jalan yang kuning berkedip-kedip. Ia merogoh tas, mengambil obat pereda nyeri yang diberikan Bidan Bu Yani, dan mencoba menelannya dengan sedikit air. Menelan saja sudah menyakitkan karena kawat di mulutnya.
Saat Anita duduk, menunduk, dan mencoba menahan rasa sakit, ponselnya bergetar. Sebuah nama muncul di layar: Mama Ibu Aidan.
Rasa panik bercampur kebingungan muncul. Ibu Aidan tidak pernah menelepon selarut ini.
Anita mengangkatnya, suaranya tercekat dan serak karena rahangnya. "Halo, Ma..."
"Anita, sayang. Kamu sudah tidur, Nak?" Suara Ibu Aidan terdengar hangat dan penuh kasih sayang, tetapi juga sedikit bersemangat.
"Belum... Ma," bisik Anita, menahan dirinya agar tidak bicara banyak.
"Mama hanya ingin telepon kamu. Mama mau berterima kasih banyak, Nak. Terima kasih karena kamu sudah mengizinkan Aidan tetap memberikan uang bulanan untuk Mama dan adik-adiknya."
Kata-kata itu menghantam Anita seperti palu godam, menembus mati rasa di hatinya. "Uang bulanan?."
Aidan sudah enam bulan tidak memberinya sepeser pun. Semua kebutuhan rumah tangga, semua makanan mewah semalam, bahkan biaya rumah sakit dan kawat di rahangnya—semua dari uangnya sendiri. Tetapi Aidan, dengan kepiawaiannya berakting, tetap memberikan tunjangan bulanan kepada orang tuanya dan membuatnya seolah-olah Anita yang mengizinkan.
Ironi itu menusuknya hingga ke ulu hati. Aidan membiarkan istrinya menderita dan keguguran, tetapi menggunakan uangnya sendiri untuk mempertahankan citra sebagai putra berbakti.
Mama Aidan: "Kamu memang menantu yang baik. Mama tahu Aidan sempat ragu karena kita sedang dalam duka, tapi kamu bilang tidak apa-apa. Mama janji, uang itu akan Mama pakai dengan baik, Nak. Kasihan Aidan, dia pasti capek bekerja, kamu juga sebagai istri masih mau mencari uang tambahan padahal kan kamu bisa saja jadi nyonya Aidan nak."
Anita tidak bisa menjawab. Kawat di mulutnya menyelamatkannya dari keharusan berbohong lagi. Ia hanya bisa mengangguk ke ponselnya, air mata panas mulai menggenang di matanya. Ia adalah korban ganda: korban kekerasan dan korban pengorbanan finansial yang tak diakui.
Mama Aidan: "Sayang, suara kamu serak sekali. Pasti rahangmu sakit ya? Dokter bilang kamu harus istirahat, jangan banyak bicara. Mama mengerti. Kamu hebat, Nak. Kamu yang paling kuat di rumah itu."
"Aku... baik... Ma," bisik Anita, kata-kata yang keluar terasa penuh kepalsuan.
Mama Aidan yang tulus itu akhirnya menyerah karena kasihan mendengar suara Anita.
"Sudah, Nak, istirahat ya. Jangan terlalu capek. Mama doakan kamu cepat sembuh. Salam untuk Aidan. Kami bangga padamu dan semoga toko kue kamu semakin besar ya sayang."
Telepon terputus. Anita tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia membiarkan air mata mengalir, air mata yang tidak bersuara karena kawat di rahangnya. Pukulan fisik sudah tidak terasa, tetapi pukulan dari ironi dan pengkhianatan emosional ini benar-benar menghancurkannya.
"Aidan menggunakan uangnya untuk membeli nama baiknya sendiri."
Ia merasa jijik, bukan hanya pada Aidan, tetapi juga pada dirinya sendiri karena masih bertahan. Ia adalah sumber keuangan bagi Aidan untuk mempertahankan sandiwara keluarga.
Saat itu, ia melihat bayangan transparan Kevin lagi, duduk di sampingnya di kursi terminal. Kevin kecil menatapnya dengan wajah sedih, lalu menyentuh perut Anita yang sakit.
"Mama, pulang." Bisikan halusinasi itu terasa nyata.
Tiba-tiba, lampu bus jarak jauh menyorot. Busnya datang.
Anita buru-buru menyeka air matanya, meraih tasnya. Ia naik ke bus dan berjalan ke kursi bagian belakang yang kosong. Di sana, ia bisa bersembunyi.
Ia duduk, menyandarkan kepala di jendela yang dingin. Di dalam bus yang gelap dan sunyi, ia sendirian. Rasa sakit di perutnya mengingatkannya pada kehilangan yang tak terucap.
Rasa sakit di rahangnya mengingatkannya pada ancaman yang menunggu di rumah.
Ia menutup mata, membiarkan bus itu membawanya kembali ke sangkar emas tempat ia harus kembali mengenakan topengnya. Di luar jendela, malam tampak gelap dan dingin, sama seperti masa depannya.