Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
demi imbalan
"Aku enggak mau tahu, mulai hari ini kamu harus pergi dari rumah ini!" bentak Bagas sambil menunjuk lurus ke arah jalan.
Kedua matanya menyala penuh kebencian, menancap pada sosok Arga yang masih berdiri dengan senyum tipis. Senyum itu bukannya mereda, justru semakin membuat darah Bagas mendidih.
"Baik," jawab Arga datar, nada suaranya tenang meski situasi mencekam. "Lagian aku juga sudah tidak butuh lagi kasih sayang dari seorang paman yang tidak tahu diri seperti Anda."
Ucapan itu membuat udara di halaman terasa semakin berat. Ratna yang berdiri di balik pintu tersenyum miring, puas melihat Arga diperlakukan seperti itu. Sementara dari balik tirai, Rindi hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat menahan isak, tubuhnya bergetar menyaksikan arga diusir dengan cara hina.
Sebelum Arga melangkah pergi, Bagas menoleh ke belakang, tepat ke arah pintu rumah yang masih terbuka lebar.
"Ma! Cepat bawa ke sini pakaiannya dia!" bentaknya, nadanya seperti perintah seorang penguasa.
Ratna segera melangkah masuk ke dalam, tak menunggu lama. Tak lama kemudian ia kembali dengan sebuah koper usang dan beberapa baju yang tampak dilempar begitu saja ke tanah di depan Arga. "Ini pakaian mu!" ucap Ratna ketus.
Koper itu jatuh keras, debu berhamburan. Arga menatapnya sekilas, lalu kembali mendongak menatap Bagas. Senyum tipis itu masih bertahan, kali ini lebih dingin, penuh sindiran.
“Terima kasih Om… Tante. Karena kalian, aku bisa belajar arti keluarga sebenarnya,” ucapnya pelan namun jelas, setiap kata seperti menampar harga diri mereka.
Bagas mengepalkan tangannya, wajahnya memerah, ingin kembali melayangkan pukulan. Tapi tatapan mata Arga membuatnya terhenti—tatapan tajam yang seolah berkata bahwa satu langkah salah bisa berakhir penyesalan.
Dengan tenang, Arga meraih kopernya, lalu menoleh sekilas ke arah pintu rumah. Ia tahu Rindi ada di sana, meski bersembunyi. Bibirnya melengkung tipis, seakan memberi pesan halus: jangan khawatir.
Setelah itu, ia melangkah keluar gerbang dengan langkah mantap, meninggalkan halaman rumah yang sejak tadi hanya menjadi panggung penghinaan.
Tepat di depan gerbang, Arga berhenti sejenak. Koper usang itu masih tergenggam erat di tangannya. Ia menoleh ke belakang, menatap lurus ke arah Bagas dan Ratna yang berdiri tegak dengan wajah dingin.
“Suatu saat kalian pasti akan merengek minta pengampunan,” ucap Arga tegas, nada suaranya dalam dan penuh keseriusan. “Dan di saat itu terjadi… aku tidak akan pernah menganggap kalian sebagai keluargaku lagi.”
Ucapan itu menggema, menusuk langsung ke dada Bagas dan Ratna. Namun alih-alih gentar, Bagas justru terkekeh tipis, lalu melipat kedua tangannya di dada. Senyum meremehkan mengembang di wajahnya.
“Ingat ini baik-baik,” balas Bagas lantang, matanya menyipit penuh kebencian. “Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah sudi merengek di hadapanmu.”
“Cuih!” Bagas meludah ke samping, gerakannya kasar, penuh penghinaan.
Arga menatapnya sebentar, lalu bibirnya melengkung sinis. “Kita lihat saja nanti. Waktu yang akan membuktikan nya.”
Tanpa menunggu jawaban lagi, Arga membalikkan badan, melangkah keluar dari gerbang dengan langkah tegap. Raut wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya menyimpan bara yang belum padam.
Di balik jendela, Rindi menutup mulutnya rapat-rapat agar tangisnya tidak terdengar. Air mata jatuh tanpa henti, hatinya tercabik melihat sepupunya benar-benar diusir seperti orang asing.
Ratna tersenyum puas di samping suaminya, seolah kemenangan sudah ada di tangannya. Namun, di mata Arga, yang semakin menjauh dengan koper di tangan, kemenangan itu hanyalah semu.
Setelah Arga benar-benar menghilang di ujung jalan, Bagas menarik napas panjang lalu merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan ponsel, menyalakannya, dan jempolnya segera menggulir layar mencari sebuah nama yang sudah lama tersimpan.
Begitu menemukannya, ia menekan panggilan. Suasana di halaman depan masih sepi, hanya suara deru angin yang menemani.
“Halo,” ucap Bagas, nadanya serius dan penuh tekanan.
Dari seberang, terdengar suara berat dan amat seram—suara yang mampu membuat bulu kuduk berdiri.
“Aku sudah melakukan apa yang kamu minta. Sekarang mana imbalan yang kamu janjikan?” tanya Bagas, nada suaranya terdengar rakus bercampur tak sabar.
Terdengar tawa rendah dari seberang, tawa dingin yang membuat Ratna yang masih berdiri di dekat pintu sempat melirik penasaran.
“Bagus,” jawab suara itu perlahan. “Sebentar lagi aku akan berikan apa yang sudah ku janjikan.”
Senyum puas muncul di wajah Bagas. Baginya, mengusir Arga dengan cara hina tadi bukanlah kerugian—justru keuntungan besar yang akan segera ia petik.
“Aku maunya sekarang juga,” tekan Bagas, nada suaranya tegas, hampir seperti ancaman.
Tawa dari seberang tiba-tiba terhenti. Hening sesaat, sebelum suara serak itu kembali terdengar, lebih berat dan lebih menusuk.
“Baik… sekarang juga akan ku transfer,” jawabnya datar. Setelah itu, sambungan telepon terputus begitu saja.
Bagas menatap layar ponselnya, senyum puas kian mengembang. "akhirnya…” gumamnya, matanya berbinar dengan keserakahan yang tak mampu ia sembunyikan.
Ratna mendekat, menatap suaminya penuh rasa ingin tahu. “Apa mereka benar-benar akan menepati janji?” tanyanya pelan.
Bagas menoleh dengan tatapan tajam, lalu terkekeh singkat. “Tentu saja. Mereka itu butuh aku. "
Sementara itu, Arga terus melangkah menjauh dari rumah. Setiap langkah terasa berat, bukan karena koper usang yang ia bawa, melainkan karena beban hati yang menyesakkan.
Di pinggir jalan, ia berhenti dan memilih berteduh di bawah pohon besar. Angin sore berhembus pelan, seolah ikut merasakan luka yang ia pendam.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang…” gumam Arga pelan, sebelum ia mengeluarkan ponselnya. Jemarinya menggulir layar, mencari sebuah nama yang selalu memberinya kekuatan. Nama itu: Bara.
Ia menekan tombol panggil. Tak lama, sambungan terhubung.
“Halo Paman… sekarang aku sudah diusir oleh Bagas,” ucap Arga lirih, mencoba terdengar tegar meski hatinya hancur.
Dari seberang, terdengar helaan napas panjang. Bara terdiam sesaat, lalu menjawab dengan nada tenang, meski jelas terdengar ada amarah yang ia tahan.
“Sabar. Jalani terus semua prosesnya. Jangan biarkan emosi menguasaimu.”
Arga terdiam, matanya menatap jalanan sepi di depannya. Hatinya bergolak, namun ia tahu, hanya Bara yang bisa memahami dirinya.
“Baik…,” ucap Arga akhirnya, suaranya berat. “Tapi satu hal yang ku mau setelah semua ini selesai.”
Bara yang tadinya berusaha tenang kini mulai serius. Nada suaranya berubah lebih dalam.
“Kalau boleh tahu, apa yang kamu mau setelah semua ini selesai?”
Arga mengepalkan tangannya, jemarinya menggenggam koper erat. Senyum tipis yang penuh dendam perlahan muncul di wajahnya.
“Di awal… aku mau kasih hadiah kejutan untuk semua kebaikan yang sudah Bagas berikan.”
Nada suaranya tenang, tapi matanya menyala dengan bara amarah yang tak terbendung lagi.
Di seberang, Bara terdiam cukup lama. Lalu ia berkata pelan, tegas, dan penuh makna.
“Kalau itu jalan yang kamu pilih… pastikan kamu siap dengan segala akibatnya.”
“Aku tidak peduli, yang jelas aku ingin dia merasakan semua akibatnya,” ucap Bagas dingin sebelum menutup telepon.
Setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, Arga kembali melangkah. Tanpa arah, tanpa tujuan, hanya mengikuti ke mana kakinya membawanya. Jalan raya yang panjang seolah tak ada ujungnya, namun Arga terus berjalan. Rasa lelah dan haus seakan tidak lagi dipedulikannya, seakan tekad di dalam dada mendorong tubuhnya untuk tetap maju.
Hingga malam menjelang, langkahnya terhenti di depan sebuah kawasan perumahan. Sunyi, gelap, dan terbengkalai—deretan rumah tampak kusam, jendela-jendelanya berdebu, pintu-pintu dibiarkan tertutup rapat, seolah tempat itu sudah lama ditinggalkan.
Arga duduk di trotoar, menatap kosong ke arah rumah-rumah tersebut. Angin malam berhembus membawa hawa dingin, membuat tubuhnya sedikit menggigil.
“Mungkin aku bisa tinggal di sini…” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Lagian, perumahan ini pasti sudah tidak ada penghuninya.”
Dengan tatapan penuh keraguan bercampur nekat, Arga menatap gelapnya perumahan itu. Untuk pertama kalinya sejak keluar rumah, ia merasa punya tempat meski hanya sekadar persinggahan.
Di saat Arga hendak melangkah mendekati salah satu bangunan kosong, tiba-tiba telinganya menangkap suara teriakan keras dari kejauhan.
“Mau lari ke mana kamu!” bentak seseorang dengan nada marah.
Arga spontan menoleh. Dari kejauhan, cahaya bulan membuat bayangan beberapa orang terlihat samar, berlari mengejar seseorang.
Alis Arga mengernyit. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi?".batinnya.
Sosok yang dikejar itu tampak kacau. Napasnya tersengal-sengal, langkahnya terseret, dan tangan kanannya menekan perut seolah menahan luka. Meski berusaha kabur, tubuhnya jelas sudah tidak kuat lagi.
Arga berdiri kaku, matanya mengikuti gerakan mereka. Kaki kanannya sedikit maju, bimbang antara tetap diam atau ikut campur.
"Ah..." desah orang itu, tubuhnya jatuh tersungkur di tanah berdebu. Nafasnya terengah-engah, kakinya sudah tak lagi sanggup melangkah setelah dipaksa berlari sekian jauh.
Suara tawa kasar bergema, semakin mendekat. Dari segala arah, bayangan gerombolan pria muncul, mengepungnya seperti kawanan serigala yang mencium bau darah.
"Mau lari ke mana lagi kau sekarang?" salah satu dari mereka melangkah maju, senyumnya menyeringai penuh ejekan.
Orang itu menunduk sejenak, menarik napas panjang. Tangannya gemetar, tapi koper hitam di genggamannya tetap ia peluk erat, seolah nyawanya sendiri tersimpan di dalamnya.
"Kalau ingin hidup, serahkan koper itu sekarang juga," ucap seorang pria lain sambil mengacungkan pedang. Ujung bilah berkilat itu kini hanya sejengkal dari wajahnya.
Namun alih-alih ketakutan, orang itu justru menegakkan tubuhnya perlahan. Senyum samar tampak dari balik topeng hitam yang menutupi wajahnya. Tatapannya menusuk, penuh tekad, seakan kematian hanyalah teman lama yang siap ia temui.
"Aku lebih memilih mati," ucapnya dengan suara mantap, "daripada hidup menanggung malu."
"Baik, kalau itu maumu. Permintaanmu akan jadi perintah bagiku," ucap pria itu dengan nada dingin, sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
Cahaya redup dari lampu jalan memantul di bilah tajam pedang, membuat suasana semakin mencekam.
Orang yang tersungkur itu menggenggam koper di pelukannya semakin erat, seolah itu adalah satu-satunya pegangan hidupnya. Nafasnya berat, tapi tatapan di balik topeng tetap tenang, seakan sudah siap menerima apa pun yang akan terjadi.
Gerombolan pria lain di sekelilingnya hanya tertawa rendah, menunggu momen eksekusi.
nunggu banget nih lanjutannya