Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengawas Kecil Siap Mengintai
Nayla berjalan ke arah dapur dengan langkah cepat, wajahnya penuh kekesalan. “Sumpah ya, masa iya cuma garam aja nggak punya. Padahal garam tuh cuma dua ribu doang di warung. Beli seratus bungkus juga nggak bakal bikin dia miskin,” omelnya sambil membuka lemari dapur.
Tangannya meraih satu bungkus garam baru yang masih utuh. Ia menatap bungkus itu beberapa detik, lalu mendengus sebal. “Nah, ini… gue kasih satu bungkus sekalian! Biar nggak ada alasan lagi bolak-balik ke sini. Jangan-jangan ini cuma modus doang biar bisa nongol terus di depan pintu gue.”
Dengan ekspresi penuh kecurigaan, Nayla melangkah kembali ke depan. Setiap langkahnya seperti penuh drama, sandal rumahnya berdecit kesal di lantai. Begitu tiba di ruang tamu, ia langsung menyodorkan bungkus garam itu ke tangan Arga.
“Nih ya, satu bungkus. Lengkap, masih segel, bukan cuma secubit. Jadi abis ini jangan ada alasan lagi mampir cuma buat garam!” ucap Nayla, nadanya ketus, matanya menatap tajam penuh waspada.
Arga menerima bungkus garam itu dengan senyum tenang. Alih-alih merasa tersinggung, dia malah tampak makin menikmati reaksi Nayla. “Wah, makasih banyak, ya. Baik banget sampe ngasih satu bungkus penuh. Kalau gitu… mungkin besok saya bisa minta gula ya? Atau kecap? Sekalian sambel botol mungkin.”
Nayla langsung mendengus keras, hampir terbatuk saking kesalnya. “Astaga, Om! Serius, ya? Nih orang apa niat bikin dapurnya lengkap di rumah gue aja?”
Arga hanya terkekeh, ekspresinya cool tapi ada kilatan nakal di matanya. “Nggak salah kan kalau saya sering mampir? Tetangga yang baik itu kan harus saling tolong-menolong.”
Nayla menepuk jidat dengan tangan kosong, lalu menghela napas panjang. Ya Allah, cobaan macam apa sih ini? Tetangga genit yang nggak tau malu. Mana ganteng pula. Ih!
Nayla masih berdiri di ambang pintu, wajahnya jelas menunjukkan campuran kesal dan bingung. Separuh pengen ngamuk, separuh lagi nggak ngerti harus gimana menghadapi tetangganya yang satu ini.
“Om, serius deh,” katanya dengan nada setengah nyolot sambil melipat tangan di dada. “Jangan tiap hari ada alasan. Ntar lama-lama dapur saya jadi cabang minimarket.”
Arga, dengan gaya tenangnya yang khas, hanya menatap sebentar. Senyum tipis terukir di bibirnya, seakan ucapan Nayla barusan hanyalah angin lalu. “Ya namanya juga tetangga. Kalau nggak saling tolong, siapa lagi? Lagi pula…” ia sengaja berhenti, matanya melirik dari atas ke bawah dengan santai, “…kamu kan kelihatan seneng kalau saya mampir.”
Nayla langsung melotot, hampir menjatuhkan kepalanya ke kusen pintu saking kagetnya. “Seneng apanya?! Yang ada saya stress tiap kali denger ketukan pintu malem-malem!”
Arga malah nyengir lebih lebar, tatapannya jahil. “Kalau gitu, mungkin saya harus bikin jadwal aja. Besok sore jam lima, saya mampir minta gula. Lusa, kecap. Terus minggu depan… mungkin utang budi.”
Alis Nayla mengerut dalam. “Utang budi?”
“Iya.” Arga menjawab dengan nada santai seolah sedang membicarakan hal normal. “Soalnya kamu udah terlalu baik sama saya. Jadi saya berhutang. Dan katanya, cara bayar utang budi itu… harus dengan hati.”
Deg! Nayla langsung menegang. Wajahnya memanas, matanya membulat tak percaya. “Hati apaan, Om! Jangan ngaco deh. Saya nggak jual ginjal, nggak jual hati, nggak jual apa-apa!”
Arga tertawa kecil, suara baritonnya dalam dan santai, tapi justru bikin bulu kuduk Nayla merinding aneh. “Tenang aja. Saya juga nggak beli apa-apa. Saya cuma… nitip rasa terima kasih.”
“Terima kasih model gini bikin orang nggak bisa tidur, Om!” Nayla buru-buru menutup pintu setengah badan, menyisakan celah kecil saja. Ia sengaja menahan daun pintu dengan tubuhnya, seolah itu satu-satunya tameng.
Arga menunduk sedikit, mencoba menembus celah itu dengan tatapan lembut tapi tetap genit. “Kamu lucu kalau lagi marah, tahu nggak?”
Nayla spontan menoleh ke arah dalam rumah, berharap ada alien yang bisa menculik nya detik itu juga. “Oke, makasih ya, Om, udah mampir. Sekarang pulang gih. Masakan nya keburu gosong!”
Arga terkekeh pelan, lalu melangkah mundur dengan gaya santai. “Baiklah, tuan rumah. Selamat malam.”
Pintu pun tertutup pelan. Hening.
Nayla langsung bersandar di baliknya, wajahnya merah padam seperti tomat rebus. Tangannya menepuk pipinya sendiri berkali-kali. “Ya ampun… tetangga macam apa sih ini. Modusnya nggak ketulungan.”
Ia menjatuhkan diri ke lantai, memeluk kaki nya. “Astaga, Nayla… jangan-jangan besok dia beneran balik jam lima sore minta gula. Ya Tuhan, tolong cabut aja pintu rumah gue!”
Di luar sana, suara langkah Arga terdengar menjauh. Tapi entah kenapa, di telinga Nayla justru gema tawanya masih terngiang jelas, bikin jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Arga berjalan santai ke arah rumahnya, tangan kirinya memainkan sebungkus garam yang tadi ia pinjam. Dengan gaya seenaknya, ia melempar-lempar garam itu ke udara lalu menangkapnya lagi, seolah sedang memainkan bola kecil.
Senyum tipis terukir di wajahnya, semakin lebar ketika ia mengingat ekspresi Nayla barusan. Wajah marah, mata membelalak, pipi memerah campuran antara kesal dan gugup yang justru membuatnya terhibur.
“Lucu banget,” gumam Arga pelan, matanya berkilat nakal. “Semakin marah, semakin keliatan manis.”
Dengan langkah tenang, ia masuk ke halaman rumahnya sendiri. Namun di balik ketenangan itu, jelas terlihat satu hal: Arga sama sekali nggak berniat berhenti menggoda tetangga barunya itu.
Sesampainya di rumah, Arga langsung membuka pintu dengan santai, senyum tipis terukir di wajahnya. Ia menepuk bahu seolah sedang menyapa udara di sekitarnya, lalu menghela napas ringan.
“Ehem" deheman seseorang.
“Rakaaa…” panggil Arga sambil melangkah ke ruang tamu.
Di sofa, Raka sudah duduk dengan santai, tangan disilangkan di dada, satu kaki menyilang di atas kaki lainnya, menatap Arga dengan ekspresi setengah mengernyit, setengah geli.
“Wah, wah… ternyata sekarang Papa Genit nya minta garam ya?” sindir Raka sambil mengangkat alis. Suaranya terdengar nakal, tapi ada nada menggodanya.
Arga tersenyum tipis, berjalan lebih dekat ke dapur sambil menjawab, “Papa cuma minta sedikit garam, lagi habis aja. Nggak lebih kok.”
Raka mengerutkan alisnya, mencondongkan tubuh ke depan, seolah baru saja menemukan kejanggalan besar di dunia. “Habis? Sejak kapan Papa harus periksa bahan dapur? Lagian, kan tiap bulan Mbak-mbak belanja kebutuhan dapur lengkap. Nggak mungkin sampai kehabisan!”
Arga berhenti sebentar, menahan tawa melihat ekspresi serius anaknya. “Ya, namanya juga manusia… bisa lupa. Lagian, garam itu cepat banget habisnya kalau dimasak terus-terusan.” Ia mengangkat bahu santai, menatap Raka dengan tatapan nakal.
“Udah, sana… kamu tidur. Ini udah malam,” ucap Arga sambil menepuk bahu Raka perlahan, nada suaranya tegas tapi hangat.
Raka menoleh sebentar, matanya berbinar nakal. “Oke, aku bakal tidur… tapi ingat ya, Papa. Ada aku yang selalu mengawasi, biar nggak genit-genit lagi sama kakak itu!” katanya sambil menunjuk ke arah pintu, nada serius tapi jelas ada gurauan di baliknya.
Arga mengangkat alis, menahan senyum. “Hah, papa diawasi sama pengawas kecil? Wah, hebat nih. Besok-besok Papa harus lebih hati-hati nih.”
Raka menepuk dada sambil berjalan ke arah kamar, melangkah santai tapi tetap penuh gaya percaya diri. “Tenang aja, Papa. Aku nggak akan tidur sebelum yakin Papa udah aman. Pokoknya jangan sampai modus genitnya muncul lagi!”
Arga terkekeh pelan, menatap Raka yang menjauh, lalu bergumam sendiri sambil tersenyum tipis, “Huh… anak Papa ini, dari kecil sampai sekarang, selalu bikin Papa nggak bisa santai.”
Raka sudah sampai di kamar, pintu hampir ditutup. Tapi dari balik pintu, terdengar suaranya lagi. “Papa… jangan pikir bisa lolos begitu aja ya!”
Arga cuma tertawa kecil, menepuk dadanya sendiri sambil menatap pintu kamar. “Hahaha… iya-iya, Papa mengerti. Siap diawasi sama pengawas kecil ini.”