Om Duda Genit

Om Duda Genit

Awal Baru Di Kontrakan Baru

Naya akhirnya tiba di kontrakan barunya. Mobil pickup yang ia sewa berhenti tepat di depan pagar besi sederhana, catnya sudah agak mengelupas, khas rumah kontrakan yang tidak baru lagi.

“Bawa masuk semua ya, Pak,” ucap Naya sambil merapikan rambutnya yang tertiup oleh angin.

“Baik, Neng,” jawab bapak-bapak pengangkut barang dengan senyum ramah. Mereka segera mengangkat tumpukan kardus, koper, dan beberapa perabot sederhana milik Naya. Suara gesekan kardus dengan lantai teras terdengar bersahutan, menambah riuh suasana siang itu.

Naya berdiri di depan pintu kontrakan, matanya menelusuri tiap sudut halaman kecil itu. Rumputnya agak liar, dindingnya bercat putih kusam, tapi entah kenapa hati Naya terasa hangat setidaknya ini miliknya sekarang, tempat yang bisa ia sebut rumah.

Beberapa barang masih tersisa di teras, termasuk koper besar berwarna biru dan satu kardus yang isinya pakaian.

“Udah, ini biar saya aja yang bawa, Pak,” kata Naya cepat, melangkah mendekat sebelum para bapak itu sempat mengangkatnya lagi.

Bapak-bapak itu mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya dengan bercanda ringan sesama mereka. Naya menghela napas pelan, lalu jongkok untuk meraih gagang koper. Ia sempat bergumam pada dirinya sendiri, “Ya ampun, baru pindah aja udah kayak jadi tukang angkut.”

Tangannya sempat gemetar sedikit karena berat, tapi ia bertekad kuat menyelesaikan semuanya. Keringat mulai membasahi pelipisnya, meski angin sore agak sepoi-sepoi.

Sambil menyeret koper ke dalam rumah, Naya menyunggingkan senyum tipis. “Well, selamat datang di rumah baru, Nay.”

Setelah selesai menyeret koper biru masuk, Naya kembali ke teras. Masih ada satu kardus besar yang menunggu untuk diangkut. Ia meraih kardus itu, menahannya di pelukan, lalu berjalan sedikit terhuyung karena beratnya.

Begitu hendak melangkah masuk, matanya tanpa sengaja melirik ke arah seberang pagar ke rumah yang ada di samping kontrakannya. Rumah itu mewah sekali. Cat putihnya masih mengilap, pagar tinggi dengan ornamen elegan, bahkan halamannya luas lengkap dengan taman kecil. Kontras banget dengan kontrakannya yang sederhana dan agak kusam.

“Wih, tetangga gue sultan, nih,” gumam Naya setengah kagum, setengah minder.

Tapi kekaguman itu cuma sebentar, karena pandangannya tiba-tiba menangkap sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang.

Di halaman rumah megah itu, seorang laki-laki sedang olahraga. Badannya tinggi, tegap, dengan otot yang jelas terbentuk. Dan, yang bikin Naya kaget, dia sama sekali nggak pakai baju. Keringatnya berkilau diterpa cahaya matahari, membuat otot-ototnya makin terlihat jelas.

Mata Naya langsung melebar. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena kardus berat di pelukannya, tapi karena pemandangan tak terduga itu.

Kemudian Naya buru-buru masuk ke dalam rumah. Baru melangkah dua tapak, tiba-tiba ia malah tersandung kakinya sendiri. Tubuhnya oleng ke depan, nyaris saja jatuh menabrak tumpukan kardus di dekat pintu.

Ia cepat-cepat berdiri tegak, menutup pintu, lalu menyandarkan punggungnya sebentar di sana. Pandangannya menyapu ruangan kontrakan sederhana itu dua kamar kecil, kardus masih menumpuk, plastik belanjaan berserakan di lantai.

Meski berantakan, ada sedikit rasa hangat yang merambat di dadanya. Rumah ini akan jadi tempat barunya, tempat ia mulai menata ulang hidup.

“Oke, sekarang tinggal beres-beres,” ucap Naya sambil menepuk-nepuk tangannya yang berdebu. Ia lalu merenggangkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan ke atas sampai terdengar bunyi krek kecil dari punggungnya. “Aduh… ini badan udah kayak nenek-nenek.”

Dengan sisa tenaga, ia mulai membuka kardus-kardus yang menumpuk di ruang tengah. Suara robekan lakban menemani setiap gerakannya. Satu per satu, barang-barangnya keluar: pakaian, buku-buku kuliah, rak lipat, sampai bantal guling yang sudah agak kempes.

Kontrakan itu sederhana. Ruang tamunya tidak terlalu luas, tapi cukup untuk ditaruh sofa kecil nanti. Dindingnya putih kusam, ada bercak sedikit di pojok, tapi menurut Naya masih oke. Yang penting, ada dua kamar tidur.

“Lumayan, bisa jadi kamar pribadi sama kamar tamu,” gumamnya sambil melirik pintu kayu yang berjejer di sisi kanan. Sesaat, ia membayangkan kalau suatu saat orang tuanya atau sahabatnya main ke sini, mereka bisa menginap dengan nyaman.

Naya lalu menyeret koper ke kamar pertama, yang ukurannya sedikit lebih besar. “Ini pasti jadi kamar gue. Nggak mungkin gue ngalah sama… siapa coba?” ujarnya sambil tertawa kecil pada dirinya sendiri.

Ia menepuk-nepuk kasur tipis yang sudah dibentangkan, kemudian mulai menyusun lemari lipat di sudut kamar. Tangannya sibuk, tapi pikirannya terus melayang. “Rasanya kayak mimpi. Akhirnya punya tempat tinggal sendiri. Meski sederhana, tapi ini punya gue. Bukan numpang lagi.”

Setelah beberapa saat, Naya kembali ke ruang tengah. Masih ada beberapa kardus yang harus dibongkar. Ia jongkok, membuka salah satunya yang penuh berisi piring plastik, mug favorit, dan wajan kecil.

“Aduh… kalau masak pakai ini, kira-kira bisa nggak ya jadi chef dadakan?” katanya sambil mengangkat wajan itu tinggi-tinggi, lalu terkekeh sendiri.

Keringat mulai menetes di pelipisnya, tapi Naya tetap semangat. Ia menyalakan kipas angin kecil yang dibawanya dari rumah lama, lalu duduk sebentar di lantai sambil menatap seisi kontrakan yang mulai lebih rapi.

“Not bad, Nay. Not bad at all,” ujarnya bangga, meski masih ada banyak barang berserakan di sekitarnya.

“Oke, sekarang tinggal buka kardus selanjutnya” ucap Naya sambil menepuk-nepuk kedua tangannya.

Dengan semangat setengah kendor, Naya mulai membuka kardus yang selanjutnya. Isinya? Ternyata pakaian yang asal dilipat. Celana jeans nyempil di antara daster, hoodie ketindihan handuk.

“Ya Allah, Nay… gaya packing lo tuh bener-bener kayak orang dikejar debt collector,” omelnya pada diri sendiri, sambil menumpuk baju-baju itu di atas kasur tipis di ruang tengah.

Ia lalu berjalan ke kamar pertama, kamar yang lebih besar. Cat putihnya sudah agak pudar, tapi jendelanya lebar dan cahaya sore bisa masuk dengan lembut. Naya berdiri sebentar, tangannya bertolak pinggang. “Oke, ini fix jadi kamar gue. Harus, nggak bisa ditawar.”

Dengan susah payah, ia menyeret kasur ke dalam kamar. Bunyi gesekan kasur dengan lantai membuatnya meringis. “Kalo ada CCTV di sini, pasti gue keliatan kayak gladiator adu kuat sama kasur.”

Setelah kasur beres, ia merakit lemari lipat di sudut kamar. Sekali dua kali, jarinya kejepit besi rangka. “Aww! Ih, sakit banget sumpah. Nih lemari kayaknya dendam deh sama gue.” Tapi begitu lemari berdiri tegak, Naya menepuknya bangga. “Yess! Lemari pertama di rumah baru, resmi milik gue!”

Puas dengan kamar, ia kembali ke ruang tengah. Masih ada empat kardus tersisa. Kardus berisi alat dapur: piring plastik warna-warni, mug dengan gambar kartun yang udah agak pudar, serta wajan kecil.

“Kitchen set minimalis ala mahasiswa mandiri,” ujarnya sambil mengangkat piring plastik seperti mempersembahkan harta karun. Ia bawa semua itu ke dapur kecil yang menempel di ruang belakang. Dapurnya sederhana, cuma ada kompor satu tungku dan wastafel mungil. Tapi Naya tersenyum. “Oke, setidaknya cukup buat bikin indomie… eh, nggak boleh indomie. Oke, cukup buat bikin tumis kangkung.”

Kardus ketiga penuh dengan buku-buku kuliah. Naya mengangkatnya pelan-pelan karena lumayan berat. “Ya ampun, kenapa sih gue nggak jadi anak jurusan tari aja? Biar bawaan cuma baju latihan.” Ia menaruh semua buku itu di meja kecil dekat jendela, niatnya jadi pojok belajar.

Sementara kardus terakhir ternyata berisi barang-barang kecil: boneka beruang lusuh pemberian sahabatnya, bingkai foto lama, dan beberapa hiasan dinding. Begitu melihat boneka itu, wajah Naya langsung melunak. “Kamu ikut juga ya, BiBi,” katanya sambil menaruh boneka di atas kasur.

Setelah hampir dua jam berkutat, kontrakan kecil itu mulai tampak lebih hidup. Kamar sudah tertata, dapur lumayan rapi, dan ruang tengah tidak lagi penuh kardus.

Naya akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke kasur. “Hufttt…” napasnya keluar panjang. Ia menatap langit-langit, membiarkan kipas angin kecil meniup wajahnya.

“Selamat datang di babak baru hidup lo, Nay,” gumamnya pelan. Senyumnya muncul, tipis tapi tulus. Meski lelah, ada rasa bangga yang tidak bisa ia jelaskan.

Malam itu, di kontrakan sederhana dengan dua kamar dan cat dinding kusam, Naya merasa seolah baru membuka lembaran baru yang penuh kemungkinan.

Terpopuler

Comments

Lembayung Senja

Lembayung Senja

ceritanya mulai seru... semangat buat novelnya.....😍

2025-10-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!