Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Telat menyadari
Malam itu, setelah pelayan membereskan meja makan mereka, suasana restoran semakin hening. Lampu gantung temaram memantulkan cahaya hangat di wajah Velora yang masih menunduk, menyibukkan diri dengan makanan penutup. Arvenzo, yang sejak tadi lebih banyak diam, menatap istrinya cukup lama, seolah mengumpulkan keberanian untuk bicara.
“Vel,” panggilnya akhirnya, suara baritonnya rendah tapi serius.
Velora menoleh, sedikit terkejut karena intonasinya berbeda dari biasanya. “Hmm? Kenapa?” tanyanya lembut.
Arvenzo menghela napas perlahan, lalu bersandar ke kursi. “Aku sadar, aku bukan suami yang mudah untuk dihadapi. Aku dingin, keras kepala, dan kadang terlalu fokus sama pikiranku sendiri. Aku tahu itu.”
Velora menatapnya dalam, namun memilih diam, membiarkannya melanjutkan.
“Aku cuma ingin kamu tahu,” ucap Arvenzo lagi, matanya sesaat menunduk sebelum kembali menatap Velora. “Aku sedang mencoba... berusaha membuka hatiku buat kamu. Aku nggak janji semuanya akan cepat, tapi aku ingin berusaha. Dan aku juga berharap kamu bisa membuka hati untukku. Bukan cuma karena kewajiban kita sudah menikah, tapi karena kamu benar-benar mau.”
Velora sempat terdiam, bibirnya sedikit terbuka tapi tak langsung bersuara. Dadanya terasa hangat campuran haru dan lega mendengar pengakuan itu. Ia menunduk sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Ar...” Velora berkata pelan, suaranya bergetar halus. “Jujur, aku sudah coba membuka hatiku untukmu sejak kamu datang ke Desa Cemerlang waktu itu dengan wajah khawatir dan cemas hanya untuk memastikan aku baik-baik saja dan membawaku pulang. Dan perasaan itu makin kuat, saat kamu rela mempertaruhkan nyawamu waktu aku diculik.”
Tatapan Arvenzo melunak, ada kilatan rasa bersalah sekaligus kagum. Perlahan, tangannya bergerak di atas meja, mendekati tangan Velora. Ia tidak langsung menggenggam, hanya menyentuh jemarinya ringan, memberi ruang jika Velora tak nyaman.
Velora sempat tertegun, namun akhirnya balas menyentuhnya. Sentuhan sederhana itu terasa berarti, seolah ada dinding yang selama ini memisahkan mereka mulai runtuh.
“Terima kasih sudah bertahan sejauh ini sama aku,” ujar Arvenzo lirih. “Aku nggak janji jadi sempurna, tapi aku janji aku akan berusaha.”
Velora menatapnya, matanya sedikit berkaca-kaca, senyum tipis mengembang. “Itu aja udah cukup, Ar. Aku cuma butuh kamu mencoba, bukan jadi sempurna.”
Arvenzo terdiam cukup lama setelah mendengar jawaban Velora. Kata-kata itu menusuk, membuatnya berpikir ulang tentang dirinya sendiri. Selama ini ia selalu berdalih kalau perhatian yang ia berikan hanyalah bentuk tanggung jawab sebagai suami.
Tapi kalau diingat lagi ketika Velora sakit, ia sampai tidak tenang bekerja. Saat Velora terlambat pulang, pikirannya penuh kecemasan, bahkan sampai menyuruh orang untuk memastikan keadaan istrinya. Dan saat Velora diculik, ia benar-benar hilang kendali, seolah tak peduli lagi dengan nyawanya sendiri.
Kalau semua itu hanya kewajiban, kenapa rasanya sesakit itu?
Arvenzo menarik napas pelan, menunduk sebentar sebelum kembali menatap Velora yang sedang menunggu jawabannya. Mungkin, aku sudah punya perasaan ini dari lama. Aku cuma terlalu keras kepala buat mengakuinya, batinnya.
Mereka sama-sama terdiam, hanya terdengar musik lembut yang sedang dimainkan. Arvenzo akhirnya melirik jam tangannya, lalu berdiri. “Ayo pulang,” ucapnya singkat.
Velora mengangguk, ikut bangkit. Saat mereka keluar restoran, angin malam langsung menyergap. Velora refleks merapatkan kedua lengannya.
Arvenzo sempat menoleh, melihat gerakan kecil itu. Tanpa banyak bicara, ia membuka jas yang dikenakannya, lalu menyampirkannya ke tubuh Velora. “Pakai ini.”
Velora sempat kaget, matanya menatap Arvenzo sejenak sebelum buru-buru menunduk. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Terima kasih, Ar.”
Arvenzo hanya mengangguk kecil, lalu berjalan di samping Velora menuju mobil.
...****************...
Malam itu kamar terasa tenang, hanya diterangi lampu tidur kecil di sisi ranjang. Velora sudah berbaring di sebelah Arvenzo, selimut menutupi tubuh mereka.
Velora memiringkan tubuhnya menghadap ke dinding, sementara Arvenzo masih terjaga, menatap langit-langit dengan pikiran yang berputar. Ia sudah beberapa kali menarik napas panjang, hingga akhirnya Velora menyadari.
“Kenapa belum tidur?” tanya Velora pelan, matanya masih terpejam.
Arvenzo menoleh sekilas padanya, lalu bersuara rendah, “Aku kepikiran sesuatu.”
Velora membuka mata dan ikut menoleh, menunggu Arvenzo melanjutkan ucapannya.
“Aku lagi mikirin gimana kalau nanti kita liburan ke Jepang?” ucap Arvenzo akhirnya. “Ada resort di Hakone, Fuji Serenity Resort. Katanya pemandangan langsung ke Gunung Fuji, suasananya tenang banget.”
Velora terdiam beberapa detik, matanya membulat pelan. “Liburan? Tiba-tiba banget, tapi kan luka kamu belum sepenuhnya sembuh,” ucapnya agak kaget.
Arvenzo menghela napas, lalu tersenyum tipis. Kali ini ia menatap Velora lebih serius. “Luka aku jangan dipikirkan, aku yakin beberapa hari lagi akan kering, apalagi istri aku seorang Dokter yang bantu penyembuhan. Aku cuma pengen kita punya waktu berdua. Jauh dari kerjaan, jauh dari masalah. Aku pengen lebih dekat sama kamu.”
Ucapan itu membuat Velora tak bisa langsung menjawab. Pipinya memanas, hatinya berdebar tak karuan. “Kamu serius ngajak aku, Ar?” tanyanya ragu, seakan takut berharap.
“Serius,” jawab Arvenzo mantap. “Anggap aja liburan sekaligus honeymoon kita yang sebenarnya. Karena selama ini, kita belum pernah benar-benar punya waktu buat itu.”
Velora tertegun, tak menyangka ia akan mendengar kata honeymoon keluar dari bibir Arvenzo. “Kalau itu yang kamu mau, aku nggak keberatan,” balasnya akhirnya, dengan senyum tipis.
Arvenzo menatapnya lekat, seolah ingin memastikan jawaban itu nyata. “Bukan cuma aku yang mau, Vel. Aku harap kamu juga mau. Aku janji, nggak akan bikin kamu nyesel.”
Velora menunduk sebentar, lalu mengangguk kecil. “Aku mau, Ar.”
Senyum Arvenzo mengembang, kali ini lebih lega. “Bagus,” katanya lirih. “Aku udah atur semuanya. Dua minggu lagi, kita berangkat. Jadi kamu bisa siap-siap dari sekarang.”
Velora sempat kaget. “Dua minggu lagi? Cepat sekali.”
“Kenapa? Kamu nggak siap?” tanya Arvenzo, nada suaranya lembut, berbeda dari biasanya.
“Bukan nggak siap, cuma nggak nyangka aja kamu udah mikirin sampai sejauh itu,” jawab Velora jujur.
Arvenzo tersenyum. “Aku mungkin terlihat lambat dalam banyak hal, Vel. Tapi kali ini, aku nggak mau buang waktu lagi.”
Velora menunduk, jantungnya berdetak makin kencang mendengar ketegasan itu. Ia kemudian berbalik memunggungi Arvenzo, mencoba menyembunyikan senyum yang tanpa sadar muncul di wajahnya.
Namun, baru saja ia menarik napas, sebuah tangan kekar tiba-tiba melingkar ke perutnya. Velora tersentak kecil, tubuhnya menegang seketika.
“A-Ar...” panggilnya pelan, hampir berbisik.
“Diem Vel,” suara Arvenzo terdengar lirih di belakang, begitu dekat hingga hangat napasnya terasa di leher Velora. “Aku cuma pengen kayak gini. Nggak ada maksud apa-apa.”
Velora terdiam, tubuhnya kaku beberapa saat sebelum perlahan melunak. Ia bisa merasakan hangatnya pelukan itu, kejujuran yang tak terucap lewat kata-kata, tapi tersampaikan lewat genggaman erat di pinggangnya.
Perlahan, ketegangan di tubuhnya hilang. Senyum kecil akhirnya terbit di wajahnya. “Kalau gini terus, aku bisa-bisa nggak bisa tidur,” gumamnya lirih, mencoba menutupi debaran jantungnya.
Arvenzo hanya terkekeh pelan, suaranya rendah di telinga Velora. “Kalau begitu, biar aku yang jagain kamu sampai tidur.”
Malam itu, tanpa banyak kata lagi, mereka larut dalam kehangatan yang sederhana. Untuk pertama kalinya, Velora merasa jarak di antara mereka benar-benar mulai memudar.
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭