Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Juragan, mereka hanya anak kecil. Apa tidak bisa dilepaskan saja?" ucap Wulan, matanya yang teduh dibingkai kaca-kaca tipis yang mudah terberai kapan saja.
Juragan mengernyit, tapi kemudian tersenyum mengingat Wulan mengenalnya sebagai rumor yang tersebar. Ini hanyalah sebuah kesalahpahaman semata.
Juragan memanggil anak-anak itu untuk mendekat. Wulan memanjangkan leher, melihat sekelompok anak kecil yang mendekati tempat duduk juragan. Ia merasa cemas, takut juragan akan menyakiti mereka.
"Bagaimana mainnya?" tanya juragan dengan ramah kepada anak-anak tersebut.
Kini, giliran Wulan yang mengernyitkan dahi. Tak sesuai dengan apa yang dia pikirkan.
Kenapa? Dia tidak marah sama sekali? Kenapa Juragan sangat berbeda dengan rumor yang beredar? Apakah ini hanya tipu muslihat atau memang ada seseorang yang menyebarkan rumor tak benar?
Wulan bergumam di dalam hati. Matanya awas menelisik setiap wajah yang hampir tertutup lumpur di bawah gerobak itu. Hanya deretan gigi mereka saja yang terlihat, dan anak-anak itu tidak terlihat ketakutan sama sekali.
"Seru, Juragan! Dia kalah tadi, aku menang," celoteh anak-anak itu dengan riang.
"Aku cuma mengalah kali!" sahut yang lain tak terima.
Juragan terkekeh kecil melihat perdebatan ringan itu. Wulan tertegun melihat wajah yang selalu dingin berubah menjadi ramah dan manis di hadapan anak-anak.
Apa saya tidak salah lihat? Juragan tertawa?
Wulan bergumam, terus memperhatikan juragan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Juragan mengeluarkan beberapa uang koin, anak-anak tertawa nyaring. Apalagi saat mereka menerima uang tersebut satu per satu.
Ternyata saya salah paham terhadapnya. Oh, malunya!
Wulan menutupi wajah dengan kedua tangan saat juragan berbalik menghadapnya.
"Maaf, Wulan salah paham tadi," katanya tanpa membuka kedua tangan.
Juragan tersenyum gemas melihat tingkah istri kecilnya. Ia meminta kusir untuk melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti.
"Tidak apa-apa. Ini bukan kali pertama saya mengalami kesalahpahaman seperti ini. Saya sudah biasa, cuma anak-anak kecil itu saja yang memahami siapa saya," sahut juragan dengan tenang.
Sering? Apakah rumor itu tidak benar? Jadi, mana yang benar?
Wulan membuka tangan, menatap juragan serba salah. Ia benar-benar malu karena telah berbicara omong kosong padahal belum tentu benar.
Seharusnya saya bisa menunggu lebih lama lagi sebelum berbicara sembarangan. Ini hanya mempermalukan diri sendiri saja.
"Apakah saya di mata Wulan memang seperti itu? Kejam dan tidak berperasaan?" tanya sang juragan dengan nada sedih yang kentara.
Deg!
Jantung Wulan kembali bertalu, pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
"Terkadang seseorang hanya ingin percaya pada apa yang dia dengar. Padahal, kabar burung itu belum tentu benar adanya. Mungkin Wulan mendengar beberapa kabar buruk tentang saya di luar sana. Tidak apa-apa, saya tidak akan menyalahkan Wulan, tapi Wulan harus melihat dengan teliti sekarang. Siapa sosok juragan Nata sebenarnya?" ungkap sang juragan semakin membuat perasaan Wulan tak menentu.
Rasa bersalah mulai bersarang di hatinya, terutama karena dia lebih memilih percaya pada kabar burung yang belum tentu benar adanya.
Kenapa saya merasa bersalah kepada Juragan?
Wulan menggigit bibir bingung, tak tahu harus berkata apa untuk menimpali ungkapan juragan.
"Saya akan lebih hati-hati mulai sekarang. Tidak akan langsung mempercayai kabar burung yang datang," ucap Wulan sedikit menyesal di hatinya.
Juragan tersenyum lembut. Dia tidak masalah tentang kabar apapun di luaran, dia hanya ingin Wulan melihat siapa sebenarnya juragan Nata itu. Biarkan hatinya yang akan menuntun untuk percaya.
"Tidak apa-apa. Jangan juga mengabaikannya. Wulan bisa membandingkan kabar tersebut dengan kenyataan yang ada. Setelah itu Wulan bisa memutuskan akan percaya yang mana," ujar juragan penuh pengertian, ia tak ingin memaksa Wulan untuk percaya padanya.
"Wulan mengerti," sahut Wulan sembari mengangguk pelan.
Juragan menganggukkan kepala, tersenyum menatap sekeliling. Dahi Wulan mengernyit saat melihat jalanan.
"Ini bukan jalan pulang. Kita akan ke mana?" tanya Wulan menatap bingung pada juragan.
"Nanti Wulan juga akan tahu," jawab juragan misterius.
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa