Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 10
Pukul 10 malam, Hendro masih sibuk mencari asisten rumah tangga yang bisa ia pekerjakan di rumahnya.
"Astaga, 20 tahun aku tak pernah mengurus rumah sendiri. Baru kali ini aku merasakan betapa sulitnya mencari asisten rumah tangga," ucap Hendro sambil menghela napas panjang.
Hingga sampailah ia di sebuah pemukiman kumuh. Dengan wajah lelah namun penuh harap, Hendro menunggu dengan tidak sabar, berharap ada seseorang yang bersedia bekerja di rumahnya secepat mungkin.
Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya datanglah seorang perempuan berusia sekitar 35 tahun. Penampilannya sederhana, namun wajahnya terlalu cantik untuk ukuran seorang asisten rumah tangga. Hendro sempat tertegun, tak menyangka akan bertemu perempuan dengan pesona seperti itu di tempat seperti ini..
"Nama kamu Sinta?" tanya Hendro, menatapnya singkat.
"Iya, Pak," jawab Sinta singkat, suaranya pelan namun tegas.
"Ayo, kita berangkat," ucap Hendro, lalu segera berjalan menuju mobil, diikuti oleh Sinta yang membawa koper.
Sekilas, Hendro merasa wajah Sinta begitu familiar, seolah ia pernah melihatnya entah di mana. Tapi pikirannya belum sempat mengaitkan siapa dan kapan. Yang jelas, untuk ukuran seorang asisten rumah tangga, Sinta terlihat terlalu menarik.
Kulitnya putih bersih, wajahnya nyaris tanpa noda, dan posturnya pun anggun meski mengenakan pakaian sederhana. Hendro hampir tak percaya wanita ini berusia 35 tahun. Dalam hati, ia bergumam, “Andai dia memakai pakaian yang lebih layak dan rapi, pasti kecantikannya makin terlihat.”
Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya mereka sampai di rumah. Hendro menatap gerbang yang tertutup rapat, dan kali ini—tak ada yang membukakannya. Biasanya Zahira yang sigap menyambut dan membukakan pintu, tapi kini keheningan menyambutnya.
Hendro terdiam cukup lama di depan gerbang, menelan rasa sepi yang perlahan merayap ke dalam hatinya.
Sinta, tanpa diminta, turun dari mobil dan segera membukakan gerbang. Hendro memperhatikan gerak-geriknya, lalu bergumam dalam hati, seolah mencoba menguatkan dirinya sendiri,
"Baguslah, Zahira. Lihat sendiri… untuk sekadar membuka gerbang saja, aku sudah punya pengganti."
Namun, hatinya tahu, tak semudah itu menggantikan seseorang yang sudah menjadi bagian dari hidup selama dua dekade.
Hendro memarkirkan kendaraannya dengan tenang. Sebagai ASN yang bekerja di Dinas Perizinan dengan golongan III, ia mampu menyekolahkan anak-anaknya di universitas swasta ternama yang biayanya selangit. Di garasinya terparkir dua mobil, tiga motor, dan rumah dua lantai miliknya berdiri megah dengan halaman luas.
Tanpa usaha sampingan yang jelas, kekayaannya memang tampak tidak wajar. Namun, di lingkungannya, hal seperti itu sudah dianggap biasa. Banyak pegawai negeri dengan golongan lebih rendah darinya bahkan memiliki kekayaan yang lebih mencolok.
Dalam sistem yang sudah terbiasa dengan abu-abu, tak ada yang mempertanyakan asal-usulnya secara serius—semua seolah sudah maklum.
Hendro membuka pintu dan mempersilakan Sinta masuk ke dalam rumah. Ia lalu mengantarnya ke kamar tamu.
"Sementara kamu tidur di sini dulu. Nanti akan aku siapkan kamar khusus buatmu,"ucap Hendro sambil menunjuk ruangan.
Sinta mengangguk pelan. Ia menggenggam gagang koper dan melangkah masuk ke kamar. Lenggak-lenggok tubuhnya yang anggun membuat Hendro menelan ludah tanpa sadar.
"Kecantikan yang alami..."gumamnya pelan, matanya tak lepas dari punggung Sinta.
Hendro menggelengkan kepala, mencoba menepis pikirannya sendiri.
"Aku ini pejabat... masa jatuh hati sama pembantu,"gumamnya pelan, seolah ingin meyakinkan diri bahwa itu hanya godaan sesaat. Namun bayangan lenggak-lenggok Sinta tadi masih melekat jelas di benaknya.
Hendro melangkah menuju kamar Anggi. Dengan sedikit kesal, ia membuka pintunya—kosong. Tak ada siapa pun di dalam.
"Anak perawan, jam segini belum pulang ke rumah,"gumamnya, nada suaranya mengandung kekesalan.
Ia menghela napas panjang, lalu berjalan menuju kamar Angga. Pintu kamar itu pun dibukanya, dan hasilnya sama—kosong. Angga juga tidak ada di sana.
Setelah memastikan kedua anaknya tidak ada di rumah, Hendro melangkah cepat menuju kamar ibunya. Dengan perasaan tidak tenang, ia membuka pintu kamar itu.
Matanya terbelalak.
Ibunya tergeletak di lantai, tubuhnya lunglai tak sadarkan diri.
Tanpa pikir panjang, Hendro berlari menghampirinya. Panik menyergap. Ia segera meraih tangan ibunya dan memeriksa nadinya.
Masih berdetak.
"Bu! Ibu, bangun Bu!"teriaknya, mengguncang tubuh renta itu dengan gemetar.
"Zahira!"teriak Hendro panik. Namun detik berikutnya ia terdiam—ia lupa, Zahira sudah pergi dari rumah ini. Padahal selama ini, Zahira-lah yang paling perhatian dan rewel soal obat-obatan untuk ibunya.
"Sinta!"panggil Hendro dengan suara gemetar.
Sinta segera berlari menuju sumber suara.
"Ada apa, Tuan?"tanyanya cemas.
"Ibuku, Sinta..."isak Hendro, matanya berkaca-kaca saat menunjuk tubuh ibunya yang tergeletak di lantai.
Sinta menatap cepat kondisi sang ibu, lalu menegaskan dengan nada tenang namun tegas,
"Jangan panik, Pak. Cepat, bawa Ibu ke rumah sakit sekarang juga!"
Hendro belum pernah mengalami situasi seperti ini. Dulu, setiap kali ibunya drop, ia selalu mendapat kabar dari Zahira—itu pun setelah ibunya sudah berada di rumah sakit. Zahira selalu sigap, tenang, dan tahu apa yang harus dilakukan. Tapi kini, saat ia harus menghadapinya sendiri, panik justru menguasai dirinya.
Tanpa pikir panjang, Hendro membopong tubuh ibunya menuju mobil.
"Ayo, ikut denganku!"ucapnya tegas kepada Sinta.
Sinta tak banyak bertanya. Ia segera masuk ke kamar Rini dan membereskannya dengan cekatan. Di sana, ia melihat pil-pil berserakan di meja. Sepertinya Rini sempat kebingungan—tak tahu harus minum obat yang mana. Selama ini, Zahira-lah yang selalu menyiapkan semuanya dengan rapi dan teratur.
Sinta menghela napas panjang, lalu mengunci pintu rumah. Ia segera menyusul Hendro yang sudah berdiri gelisah di samping mobil. Tangannya gemetar saat mencoba memasukkan kunci ke lubang kontak, namun selalu meleset.
“Ah, sial!”teriak Hendro frustrasi, wajahnya penuh keringat meski malam terasa dingin.
“Tenang, Pak. Jangan panik,”ucap Sinta lembut dari bangku belakang, sambil mengusap pelan pundak Ibu Rini yang tak sadarkan diri.
Akhirnya, mesin mobil menyala. Hendro langsung menginjak gas, membuat mobil melesat. Gerbang rumah dibiarkan terbuka lebar.
“Pak! Pintunya tutup dulu, nanti ada maling! Mobil Bapak yang satu masih di dalam!”seru Sinta dengan panik.
“Ah, sial… ayo cepat turun dan tutup gerbangnya!”perintah Hendro kasar.
Sinta buru-buru turun, menutup gerbang dengan napas tersengal. Ia kembali masuk, dan mobil langsung melaju kencang.
“Pak, hati-hati!”teriak Sinta saat mobil hampir menyambar pejalan kaki. Hendro tak menjawab, wajahnya tegang, matanya liar.
“Pak, saya saja yang bawa mobil,”usul Sinta.
Hendro meliriknya sekilas. Sinta mengangguk, yakin. Mereka bertukar tempat.
Kini Sinta yang menyetir. Tangannya mantap, tenang, namun cekatan saat menyalip kendaraan. Hendro duduk di belakang, memeluk ibunya erat.
“Ibu... tolong bertahanlah, Bu,”lirihnya penuh harap.
Lalu, suaranya berubah menjadi amarah.
“Zahira… ini salah kamu!”desisnya. “Harusnya kamu bertahan! Jangan pergi! Gara-gara kamu semua jadi berantakan. Setelah ini aku akan menyusul kamu, aku akan cabut talak itu!”
Sinta mengerenyit. Ia belum mengerti banyak soal Zahira, tapi dari semua yang ia dengar dan lihat, satu hal jelas: Zahira adalah sosok penting. Tanpa Zahira, rumah itu langsung runtuh dalam sekejap.
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.