Cerita ini sepenuhnya adalah fiksi ilmiah berdasarkan serial anime dan game Azur Lane dengan sedikit taburan sejarah sesuai yang kita semua ketahui.
Semua yang terkandung didalam cerita ini sepenuhnya hasil karya imajinasi saya pribadi. Jadi, selamat menikmati dunia imajinasi saya😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tirpitz von Eugene, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Matahari mulai lelah untuk bersinar dan memutuskan tidur sejenak, kini rembulan mulai melaksanakan tugasnya menggantikan sang mentari. Meskipun sudah enam jam lamanya pertempuran berlangsung, para Seiren seolah tak ada habisnya! Kini para gadis mulai kehabisan amunisi dan terpaksa bergiliran pulang untuk mengisi kembali persenjataan dan bahan bakar.
Meskipun pertempuran di malam hari tak seganas siang, tapi beberapa grup tetap mengalami pertarungan sengit, salah satunya adalah grup serang pimpinan Tirpitz.
Pria itu dengan malasnya rebahan di anjungan kapal Madjapahit, sedangkan kapal torpedo yang ia gunakan sebelumnya sudah tenggelam akibat terlalu dipaksakan olehnya.
"Kapal sialan tadi menguras tenaga ku," ujar Tirpitz kesal, "beruntung ada dua gadis manis disini."
Marina hanya terdiam, meskipun bukan karna efek zirah tempur nya. Sedangkan Madjapahit tak menggubrisnya sama sekali, ia lebih memilih fokus pada radar nya untuk mencari sisa-sisa kapal musuh.
"Menurut laporan dari semua grup, total sudah tujuh ratus kapal tenggelam," ujar Madjapahit mencoba mengalihkan pembicaraan, "kalau informasi dua jam lalu terbukti benar, sekitar tiga ratus lagi berhasil berpencar dan meneror pesisir selatan Kalimantan."
"Terus? Apa yang harus kita lakukan?" ujar Tirpitz dengan malasnya.
"Shikikan-san, tolong serius barang sebentar!"
Tiba-tiba panggilan radio masuk ke anjungan kapal, tapi bukan dari grup serang lain, melainkan dari Farel!
"Disini Spelwijck! Madjapahit, apa kau mendengar ku?"
Madjapahit segera menyambungkan hubungan radio itu ke headphone Tirpitz.
"Sangat jelas, Spelwijck!"
"Kami meminta dukungan dari mu, pangkalan di kepung dan hampir tujuh puluh persen pertahanan sudah dijinakkan."
Seolah telinga mendengar letusan meriam tepat dari depan lubang laras, Tirpitz sampai terlonjak berdiri mendengar berita itu.
"Woilah, baru juga sore tadi saya tinggal."
"Kami hanya bisa bertahan beberapa jam ke depan, musuh memblokade perairan dari segala penjuru."
Setelah itu sambungan terputus, jelas bahwa Farel mengalami kesulitan disana. Tirpitz mulai dilanda dilema, di satu sisi ia harus memimpin para gadis, tapi di sisi lain pangkalan mereka membutuhkan dukungan.
Suasana di anjungan seketika menjadi sangat hening, saking heningnya sampai-sampai orang-orang di anjungan bisa mendengar suara angin yang terjepit pintu belakang seseorang. Madjapahit tak bisa berbuat banyak, ia tahu bahwa situasinya terlalu rumit baginya untuk ikut campur.
"Shikikan-sama?" ucap Singosari lewat radio, "perintah mu?"
"Bagi grup serang ini menjadi dua, kau ambil alih grup pertama! Aku akan membawa Madjapahit, Yukikaze, Isokaze dan Urakaze, Hiei dan Haruna, serta Shoukaku."
"Heee, kenapa aku dipisahkan dari onee-san?!" celetuk Zuikaku.
Shoukaku segera memukul kepala adiknya dengan seruling miliknya agar Zuikaku tidak menggangu konsentrasi Tirpitz dalam memimpin.
"Baiklah, shikikan-san," ujar Shoukaku setuju, lalu memalingkan pandangannya menghadap Zuikaku, "nah adik manis ku, kau disini saja ya."
"Okey! Grup dua, putar haluan ke arah satu-delapan-nol, melaju dengan kecepatan tiga puluh knot!"
Dengan segera kapal-kapal yang diminta berbelok menuju pulau Tunda, meninggalkan formasi dibawah pimpinan Singosari.
...****************...
Disisi lain, Farel masih memimpin pertahanan pantai yang sudah porak-poranda. Banyak bunker artileri yang sudah dinetralkan, ladang-ladang ranjau dan tambak-tambak berhasil disingkirkan, sedangkan serangan dari pihak Seiren masih gencarnya menggempur pesisir.
Meskipun teknologi yang diterapkan pada persenjataan pantai setingkat dengan Seiren berkat penelitian doktor Jansen beberapa bulan lalu, tapi tetap saja persenjataan pangkalan itu bisa dengan mudah di singkirkan.
"Ayo, cepat!" seru Farel meneriaki beberapa personil yang mengangkut kotak-kotak amunisi, "bantuan akan datang, tapi kita tidak boleh bermalas-malasan!"
Sebuah peluru dari kapal Seiren menghantam bunker tempatnya memimpin, meruntuhkan atap beton di sudut yang terkena tembakan dan menimpa beberapa personil.
"Yang seharusnya kalian bunuh ada disini! Bukan disana!" teriak Farel penuh amarah, "makanya otak manusia jangan diganti mesin!"
Seorang personil muda datang menghampirinya lalu melaporkan bahwa pintu keluar terkubur puing-puing, tapi Farel justru menendang perut orang itu dengan jengkelnya.
"Sekop ada, linggis disana, ya tinggal di buang lah tolol!" ujar Farel marah, "gitu aja masih laporan, malu sama gaji mu!"
Pemuda itu mengangguk meskipun perutnya terasa sakit akibat tendangan barusan, lalu segera pergi sambil memanggil beberapa temannya untuk mulai menyingkirkan puing-puing yang menghalangi pintu masuk bunker.
Takumi muncul dari lorong, ia segera menyodorkan secarik kertas berisi pesan dari markas pusat di Jakarta kepada Farel.
"Nih, mereka bilang kita harus tetap bertahan." ujarnya menjelaskan.
"Mereka itu tahu nya kita bermalas-malasan disini, padahal sudah banyak nyawa pamit untuk pindah rumah!" balas Farel sambil merobek kertas itu menjadi potongan kecil lalu membuangnya begitu saja.
"Ya marahnya jangan ke saya," ujar Takumi sambil beranjak pergi kembali ke lorong.
Farel terdiam sejenak, ia merenungi nasibnya yang benar-benar malang itu. Dipalingkan nya pandangan menatap orang-orang yang bekerja keras menyingkirkan reruntuhan, matanya menatap beberapa saat lamanya sebelum akhirnya ia beranjak untuk membantu mereka.
"Linggis lempar sini! Kalian geser saja puing-puing yang lebih kecil." pinta nya sambil merebut linggis dari tangan seorang pria berbadan gempal, lalu mulai menggali reruntuhan.
Beberapa saat lamanya mereka bekerjasama memindahkan puing-puing itu, hingga seruan seseorang dari bagian atas bunker menghentikan mereka.
"Bantuan tiba!!!"
Dengan cepat Farel berlari menuju lubang sempit tempat operator senapan mesin bertugas, dan dilihatnya laut di kejauhan yang mulai membara.
...****************...
"Awas!!!"
Madjapahit segera berbelok menghindari bom-bom yang berjatuhan dari langit, ia sudah kembali ke mode tempur saat Tirpitz sudah berpindah ke sebuah gun boat yang datang menjemputnya.
Di atas anjungan gun boat, Tirpitz memimpin grup penolong dengan lihainya, meskipun ia lebih nyaman berada di anjungan kapal Madjapahit karna lebih luas.
"Hiei, Haruna, beri dukungan tembakan untuk artileri pantai! Fokuskan pada target yang mereka tembaki atau mereka sorot dengan lampu!"
"Daijoubu des, shikikan-sama." balas Hiei lalu mulai membombardir posisi kapal Seiren.
Keadaan pangkalan lebih buruk dari terakhir ia tinggalkan, asap dan api terlihat dari posisi-posisi bunker yang dinetralkan, pantai yang semula indah kini berantakan akibat tembakan-tembakan meriam kapal, sedangkan bangkai-bangkai kapal Seiren memenuhi perairan dangkal di sekitarnya.
"Yukikaze, pimpin dua adikmu dan tolong beri perlindungan udara bagi kami!"
"Heh!? Sopan kah kau memerintah ku begitu?!" ujar gadis itu dengan angkuhnya.
"Ayolah! Masa harus ku beri ciuman agar kau mau melakukannya."
"Hoekk! Tidak, terimakasih!" balas Yukikaze lalu segera mengambil posisi strategis dalam formasi.
Tirpitz segera berpaling untuk memberi perintah kepada Shoukaku.
"Apa ada kendala?"
"Tidak ada, shikikan-sama. Madja-sama melindungi pesawat-pesawat ku dengan baik, kini mereka sedang bersiap kembali setelah melakukan penyerangan."
"Bagus! Teruskan!"
Ia segera berpaling memantau salah satu bunker dengan teropongnya, dan dilihatnya Farel muncul pada lubang tembak senapan mesin.
"Si bodoh malah asyik ngopi disana, bukannya bantu anak buah baku tembak." gumamnya kepada diri sendiri.