ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 : Amplop Putih dan Keputusan Sunyi
Sore itu, udara mulai terasa lembap. Hujan belum turun, tapi langit sudah berwarna kelabu. Elina duduk di meja kecil ruang tengah, dikelilingi tumpukan kertas, tagihan, dan satu amplop putih yang tergeletak tenang di samping secangkir teh yang sudah tak lagi hangat.
Ia menatap angka-angka di layar kalkulator dengan mata yang lelah. Telunjuknya bergerak menghitung kembali, memastikan semuanya tepat.
Cek itu masih utuh, tak tersentuh. Lipatannya rapi. Nominal yang tertera cukup untuk menutup seluruh tunggakan listrik, air, bahkan tunggakan sewa yang sudah hampir memaksanya kehilangan atap di atas kepala.
Dan yang terpenting... cukup untuk melunasi utang yang dibayar Adrian beberapa waktu lalu.
Tangannya meraih amplop itu. Ia menyelipkan cek ke dalamnya, lalu menuliskan sesuatu di sudut kiri atas:
"Untuk semua yang telah Anda bantu selesaikan... bukan karena saya tidak tahu terima kasih, tapi karena saya tahu harga diri saya."
Elina menarik napas panjang. Jantungnya berdetak cepat, tetapi bukan karena gugup. Lebih kepada... keteguhan. Malam tadi, ia bergulat hebat dengan logikanya. Dan pagi tadi, dua anak kecil yang tertawa di pelukannya membuat semuanya menjadi terang.
Kalau ia harus menikah, maka itu bukan karena terpaksa. Tapi karena dia sudah memutuskan untuk berdiri. Bukan jatuh.
Ia meraih ponselnya, lalu mulai mengetik pesan singkat.
Tuan Adrian, bisakah kita bertemu malam nanti? Saya ingin mengembalikan sesuatu. Dan... saya juga punya jawaban untuk tawaran Anda.
Pesan itu terkirim. Elina memejamkan mata sebentar. Mungkin ini bukan jawaban yang diimpikan oleh seorang pria kaya dan berkuasa sepertinya, tapi ini satu-satunya yang bisa ia berikan: dirinya yang utuh, tidak setengah-setengah.
Ia tak mau menjalaninya dengan rasa rendah diri.
Dan jika ia harus menjadi "istri" dalam kontrak, maka ia akan melakukannya dengan kepala tegak, dengan syarat hatinya tetap miliknya sendiri... sampai Adrian bisa membuktikan bahwa ia pantas masuk ke sana.
...****************...
Kafe itu lengang di malam hari. Aroma kopi hangat bercampur cahaya yang menyelinap lembut lewat jendela besar dari lampu pinggir jalan. Adrian sudah duduk di salah satu sudut ruangan saat Elina datang dengan langkah tenang, meski sorot matanya menunjukkan malam yang panjang.
Ia duduk di hadapannya. Tak ada senyum, tapi juga tak ada kemarahan.
"Terima kasih sudah datang," Elina memulai.
Adrian mengangguk. "Kau bilang ingin memberiku sesuatu."
Elina membuka tas kecilnya, mengeluarkan amplop putih yang sedikit tertekuk di sudutnya.
"Ini...," ia mendorongnya ke tengah meja, "...Untuk utang yang Anda bayarkan. Dan untuk membalas semua bantuan Anda waktu itu."
Adrian tak menyentuh amplop itu.
"Aku tidak pernah menganggap itu sebagai pinjaman."
Elina menghela napas. "Tapi saya menerimanya sebagai utang. Saya tidak mau hidup dari belas kasihan siapa pun."
Tatapan Adrian mengeras. Bukan karena marah, tapi lebih pada frustrasi yang tak bisa dijelaskan.
"Kau tahu aku tidak menaruh iba padamu, Elina. Kalau ada... aku justru menaruh respek."
Elina menegakkan tubuhnya, berusaha mengendalikan perasaan yang meletup diam-diam di dalam dada.
"Saya sudah memikirkan tawaran Anda. Soal pernikahan kontrak itu."
Adrian menajamkan tatapannya.
"Saya akan melakukannya. Tapi bukan karena uang. Saya butuh ruang untuk hidup, dan Anda butuh alasan untuk membungkam tekanan keluarga. Kita bisa sepakat atas dasar itu."
Adrian menyandarkan punggung, ekspresinya sulit diterjemahkan.
"Tidak ada sandiwara di luar batas. Saya tetap akan bekerja. Dan saya tidak akan menuntut apa pun dari Anda sebagai suami, karena saya tahu ini hanya... kesepakatan."
"Kau ingin kontrak yang kaku?" tanyanya datar.
"Saya ingin batas. Dan kebebasan untuk tidak bergantung."
Beberapa detik berlalu tanpa suara. Sampai akhirnya Adrian mengangguk pelan.
"Baik. Aku akan minta pengacara menyiapkan dokumennya."
Elina hanya mengangguk, sebelum bangkit dari kursinya. Ia tak menoleh ke belakang saat melangkah pergi, dan Adrian tak memanggilnya.
Dan malam itu, tanpa genggaman tangan, tanpa janji cinta, dua orang dewasa yang sama-sama terdesak oleh hidup memulai sesuatu yang akan mengikat mereka, dengan benang-benang tak terlihat, yang pada akhirnya... bisa menjerat lebih dari yang mereka duga.
...****************...
Udara malam di kawasan Leonhart Estate terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya karena gugup yang menyelinap di dada Elina. Ia berdiri beberapa detik di depan pintu besar bergaya klasik itu, menarik napas dalam-dalam sebelum menekan bel pintu.
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka dan Adrian menyambutnya, dengan wajah datar seperti biasa, tapi matanya menunjukkan ketenangan yang sulit dijelaskan.
"Masuklah. Claire sudah menunggumu," katanya, lalu memberi jalan.
Elina masuk, langkahnya perlahan saat ia menatap interior rumah yang terasa hangat, jauh dari kesan dingin sang pemiliknya. Di ruang tengah, Claire berlari kecil begitu melihatnya.
"Miss Elina!" seru gadis kecil itu, memeluk pinggang Elina dengan manja. "Aku pikir kamu nggak jadi datang!"
Elina tersenyum, mengusap rambut Claire yang lembut. "Tentu aku datang. Kamu sudah makan malam?"
Claire mengangguk cepat. "Tapi aku mau makan puding nanti. Kamu suka puding, Miss Elina?"
Sebelum Elina sempat menjawab, Adrian berjalan mendekat, lalu berlutut di samping putrinya. Tatapan seriusnya bertemu dengan mata anak kecil itu yang bening dan polos.
"Claire," katanya lembut, "Daddy mau bicara sesuatu. Penting."
Claire menoleh penuh perhatian. Adrian menatap mata kecil itu dalam-dalam.
"Bagaimana kalau Daddy menikah dengan Miss Elina?"
Claire tampak kaget sejenak, lalu pipinya memerah dengan cepat. Ia menoleh ke Elina, lalu kembali menatap Adrian.
"Beneran?" gumamnya pelan, seolah tak percaya.
Adrian mengangguk, bibirnya sedikit melengkung. "Tapi Daddy harus tanya kamu dulu. Boleh?"
Claire langsung mengangguk kuat, pelukannya kini beralih ke Elina. "Aku mau! Aku suka Miss Elina! Dia baik, dan cantik, dan... dia seperti ibu di cerita-cerita!"
Hati Elina mencelos. Tangannya gemetar, tapi ia balas memeluk Claire dengan erat.
Adrian berdiri perlahan, menyembunyikan sesuatu yang tak ingin terlihat di matanya. Senyum tipisnya lebih tulus malam itu. Bukan karena rencana berjalan lancar, tapi karena, di satu titik hidupnya, ada bagian yang terasa hangat, lebih dari sebelumnya.
Dan malam itu, mereka bukan sekadar menyepakati pernikahan. Mereka sedang membangun awal dari sesuatu yang belum punya nama... tapi terasa nyata.
...****************...
Mobil hitam itu meluncur perlahan melewati jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan menyapu wajah Elina dari sisi, menimbulkan bayangan samar di pipinya yang tampak lebih tenang malam ini.
Adrian mengemudi dengan satu tangan, sementara tangan lainnya bersandar di kemudi. Tak banyak kata yang terucap sepanjang perjalanan. Namun justru keheningan itu terasa nyaman, seperti mereka berdua tahu bahwa diam pun bisa jadi bahasa.
"Claire senang sekali malam ini," kata Elina akhirnya, menatap keluar jendela.
Adrian meliriknya sekilas. "Dia menyukaimu sejak awal."
"Aku juga menyukainya." Elina tersenyum tipis. "Dia manis. Dan penuh imajinasi."
"Dia butuh seseorang yang sabar," ucap Adrian, suaranya tenang namun ada sesuatu di balik nada itu. "Seseorang yang bisa mendengarkan tanpa perlu menjelaskan semua hal. Seperti kamu."
Elina tidak langsung membalas. Ia menggenggam tas di pangkuannya lebih erat.
"Dan kamu?" tanyanya pelan. "Apa kamu butuh seseorang seperti itu juga?"
Adrian tak menjawab seketika. Ia menarik napas panjang, lalu mengurangi kecepatan saat memasuki jalan kecil menuju rumah Elina.
"Aku belum tahu," jawabnya jujur. "Tapi aku tahu apa yang tidak kuinginkan. Dan aku tahu aku tidak ingin Claire tumbuh tanpa kehangatan. Itu cukup untuk sekarang."
Mobil berhenti perlahan. Elina menoleh, melihat wajah pria itu di bawah cahaya dashboard yang lembut. Ada kekakuan di antara mereka, tapi juga ketulusan yang tak bisa dibantah.
"Aku akan menyiapkan segalanya minggu ini. Kontrak, dokumen, pengacara jika perlu," ujar Adrian sambil menoleh padanya.
Elina mengangguk kecil. "Baik."
Saat ia membuka pintu, Adrian menambahkan, "Dan Elina..."
Elina menoleh dari balik pintu yang sudah setengah terbuka.
"Aku tidak akan mengganggu hidupmu lebih dari yang sudah kulakukan. Kamu tetap akan jadi dirimu sendiri."
Elina menatapnya sejenak, kemudian tersenyum samar.
"Aku tahu."
Ia turun dari mobil, melangkah pelan menuju pintu rumah. Adrian menatap punggungnya sampai menghilang di balik pintu, sebelum akhirnya menarik napas panjang dan memutar balik mobil.
Hubungan mereka belum tentu tentang cinta. Tapi malam itu, keduanya sepakat untuk saling percaya, meski hanya sedikit, meski hanya cukup untuk hari ini.