Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,
"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."
“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”
“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.
Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Dengan wajah lesu, Maura keluar dari ruangan dosen, disusul oleh Megan yang masih saja menunjukkan ekspresi puas. Lorong kampus siang itu cukup ramai, bisik-bisik mahasiswa terdengar menusuk telinga.
Megan mendekati Maura dan membisikkan ejekan kejam,
"Kamu pikir bisa bertahan di sini? Lihat saja nanti. Kampus ini bukan buat orang sepertimu."
Maura hanya diam. Matanya mengabur, tapi ia tahan. Ia tidak mau menangis di depan mereka.
Tak jauh dari situ, Laila sudah menunggu dengan wajah khawatir. Begitu melihat Maura, Laila langsung menghampiri dan menggenggam tangan sahabatnya erat-erat.
"Maura, kamu nggak apa-apa?" tanya Laila lembut.
Maura menggeleng, memaksakan senyuman tipis.
Saat itu, seorang staf kampus mendekat dan berkata dengan sopan, "Maura, kamu dipanggil ke ruangan pemilik kampus. Sekarang."
Ucapan itu terdengar jelas di antara kerumunan. Megan langsung tertawa keras,
"Hahaha! Udah deh, Maura. Siap-siap dikeluarkan!"
Beberapa mahasiswa lain ikut tertawa, membuat Maura makin ingin menghilang dari tempat itu.
Laila menggenggam tangan Maura lebih erat. "Aku mau ikut kamu," ucapnya cepat.
Namun tiba-tiba, suara dosen Laila memanggil dari arah lain, "Laila! Kamu ada kelas sekarang, ayo masuk!"
Laila mendesis kecil, bingung.
Maura langsung menggeleng cepat.
"Nggak usah, Lai. Aku sendiri aja. Kamu ke kelas, jangan kena masalah gara-gara aku," katanya, mencoba terdengar tegar.
Laila menggigit bibir bawahnya, merasa berat melepas Maura.
"Tapi Maura..."
"Aku nggak apa-apa. Serius," potong Maura sambil tersenyum kecil.
Setelah menatap satu sama lain beberapa detik, Laila akhirnya menghela napas berat dan mengangguk.
"Kalau ada apa-apa, langsung kabarin aku, ya," pesan Laila.
Maura mengangguk. Mereka melepaskan genggaman tangan dengan berat hati.
Dengan langkah perlahan, Maura mengikuti staf kampus, menyusuri lorong panjang menuju ruangan Shaka. Pikirannya kalut. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang akan terjadi dengannya?
Setelah menaiki tangga ke lantai dua, mereka tiba di depan sebuah pintu besar berwarna gelap. Maura menelan ludah, menenangkan diri sejenak, Saat staf mengetuk pintu, suara berat Shaka dari dalam langsung terdengar,
"Masuk."
Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan Maura yang sedikit gugup namun berusaha tampil berani. Staf kampus masuk bersamanya, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, Shaka sudah melambaikan tangannya malas.
"Kamu boleh keluar”. Perintah shaka.
Ruangan itu terasa begitu mewah dan berwibawa. Rak buku besar, aroma kayu, kursi kulit hitam—semua membuat Maura merasa semakin kecil. Di balik meja besar, Shaka duduk dengan postur santai tapi berwibawa, kedua lengannya bertumpu di atas meja.
Tatapan dinginnya langsung menembus pertahanan Maura.
Shaka bersandar santai di kursinya, menatap Maura dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah menilai gadis itu. Ada kilatan geli dan gemas di matanya. Sementara Maura berdiri tegak, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, menatap Shaka tanpa gentar.
"Apa?" sergah Maura, suaranya terdengar tajam. "Kamu mau mengeluarkan aku dari kampus, iya kan?"
Shaka nyengir, tak menduga Maura akan sefierce itu. Ia malah mendongakkan kepala dan tertawa lepas.
"Hahaha... gadis kecil ini berani juga!" katanya sambil mengusap dagunya, memperhatikan Maura dengan tatapan semakin gemas.
Maura menyipitkan matanya penuh kecurigaan,
"Ketawa aja sana. Aku nggak takut. Kalau kau berani menindas aku..." ia menunjuk Shaka dengan gaya mengancam, "Aku akan laporin kamu ke Oma Margaret! Baru tau rasa kamu!"
Begitu mendengar nama Oma Margaret, tawa Shaka langsung berhenti. Ia mendadak kaku seperti patung. Wajah santainya berubah panik.
"Eh, eh... jangan bawa-bawa Oma segala!" sahut Shaka cepat sambil berdiri dari kursinya.
Maura melipat tangan di dada, ekspresi puas.
"Hah! Takut, kan? Aku tau kok, kamu itu nggak ada apa-apanya di depan Oma," kata Maura sambil sengaja menghentakkan kakinya pelan, seperti anak kecil yang menang debat.
Shaka mendekat, wajahnya panik tapi berusaha tetap cool. Ia menunduk sedikit mendekati Maura.
"Ssst! Jangan keras-keras ngomongnya. Dinding disini bisa mendengar, tahu!" bisiknya sambil melirik takut ke arah pintu.
Maura hampir saja tertawa melihat Shaka, pria yang selama ini kelihatan garang, bisa sebegitu paniknya hanya karena mendengar nama Oma Margaret.
"Jadi gimana,tuan ? Mau ngeluarin aku atau nggak, nih?" tanya Maura, sengaja memancing.
Shaka menghela napas panjang, pura-pura mengelus dadanya seperti habis kena serangan jantung.
"Gila ini anak," gumamnya setengah bercanda. Lalu dengan tangan di pinggang, Shaka menunjuk Maura seolah mau menghukum.
"Aku gak akan ngeluarin kamu dari kampus , tapi Mulai sekarang kamu harus nurut sama aku, ngerti? Kalau tidak... aku bakal... bakal..."
Dia berhenti, mencari-cari ancaman yang cukup kuat,
"... bakal ngasih tahu Oma kalau kamu ….suka bikin masalah di kampus!".
Maura melongo sebentar, lalu tertawa kecil.
"Yaelah, ancaman macam apa itu?!" ejek Maura sambil menahan tawa.
Shaka ikut tersenyum, akhirnya mengakui kekalahannya.
"Udahlah, balik ke kelas sana. Jangan bikin masalah lagi," kata Shaka sambil mengacak-acak rambut Maura sekilas, membuat rambut gadis itu berantakan.
"Hei!"
Saat Maura dengan kesal mengibas tangan Shaka yang mengacak rambutnya, wajahnya merengut lucu seperti anak kecil kehilangan permen.
Shaka menahan tawanya.
Gemas bukan main melihat ekspresi Maura yang seperti itu. Bibir mungilnya sedikit manyun, matanya menyipit marah-marah tak berdaya. Dan di momen itu, sebuah ide nakal melintas di kepala Shaka.
Saat Maura masih sibuk merapikan rambutnya sambil mengomel pelan, Shaka melangkah mendekat tanpa suara.
"Eh, Maura..." panggil Shaka dengan suara menggoda.
Maura mendongak cepat, mau membalas omelan, tapi sebelum sempat membuka mulutnya—
Shaka sudah menunduk cepat dan mencuri satu kecupan kilat di bibir maura.
“Cup!”
Maura membeku. Matanya membelalak, mulutnya membentuk huruf 'O' besar.
Sedangkan Shaka, dengan wajah sok polos, bersandar santai di meja seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Apa-apaan kamu Shaka …?!" seru Maura, pipinya langsung memerah seperti tomat matang.
Shaka mengangkat bahunya santai.
"Itu denda karena kamu sudah berani melawan aku," katanya sambil tersenyum nakal.
Maura mengepalkan tangan, gemas sendiri, namun tidak benar-benar bisa marah. Rasa malu lebih menguasainya sekarang.
"Kamu... kamu nggak sopan!" pekik Maura.
Shaka malah tertawa kecil,
"Kalau nggak sopan, kamu mau lapor Oma juga?"
Mendengar nama Oma Margaret lagi, Maura mendengus keras, lalu berbalik dan melangkah cepat ke pintu. Tapi sebelum keluar, ia sempat menoleh sebentar, menatap Shaka dengan wajah merah padam.
"Dasar pria ... mesum!" gerutunya sebelum menutup pintu dengan sedikit keras.
Shaka hanya terkekeh di tempatnya, memandangi pintu yang baru saja ditutup Maura.
Dengan suara kecil, ia bergumam sendiri,
"Gadis kecil itu... makin lama makin lucu."
Begitu pintu tertutup sepenuhnya, Shaka masih berdiri di tempatnya. Senyuman nakal masih tersisa di wajah tampannya. Ia mengusap dagunya sambil mengingat kembali ekspresi Maura—marah, malu, tapi tetap saja terlihat menggemaskan di matanya.
Namun beberapa detik kemudian, kesadarannya perlahan kembali. Shaka menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah jendela besar di ruangannya. Tangannya menyilangkan dada, dan ekspresinya perlahan berubah menjadi serius dan dingin, seperti sosok yang dikenal banyak orang.
"Apa yang barusan aku lakukan?" gumamnya pelan, menatap keluar jendela, memandangi halaman kampus yang ramai.
Shaka menggelengkan kepala, merasa kesal dengan dirinya sendiri.
Ia bukan pria yang impulsif. Ia selalu dikenal sebagai sosok dingin, penuh perhitungan, tidak mudah terbawa emosi apalagi bertindak ceroboh seperti tadi.
Tapi bersama Maura...
Semua prinsip itu seolah runtuh. Ada sisi lain dalam dirinya yang muncul—sisi yang lebih hidup, lebih spontan, dan lebih... manusiawi.
"Aneh..." bisik Shaka.
Ia menekan jarinya ke pelipis, mencoba menyusun kembali pikirannya. Tapi bayangan Maura terus menari-nari di dalam kepalanya—senyum manisnya, mata bulatnya yang bersinar, bahkan caranya mendengus marah.
Shaka mengepalkan tangan.
Ia benci merasa tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Itu bukan dirinya!
Dengan langkah berat, ia kembali ke meja kerjanya, mengambil berkas-berkas rapat yang harus dipelajari. Namun berkali-kali ia mendapati dirinya malah melamun, bukannya membaca.
Shaka menatap kosong ke arah pintu, seolah berharap gadis kecil itu akan masuk lagi.
Sadar akan pikirannya sendiri, Shaka mengumpat pelan.
"Dasar gadis kecil pengacau..." gumamnya, tapi kali ini dengan nada yang entah kenapa terdengar hangat.
Lalu, ia menarik napas dalam-dalam, membekukan kembali seluruh emosinya, mengembalikan sosok dingin yang biasa ditampilkan.
Maura melangkah cepat menuju kelas, masih dengan raut muka jengkel. Pipinya sedikit memerah, bukan hanya karena malu, tapi juga karena kesal setengah mati dengan apa yang baru saja terjadi di ruangan Shaka.
"Kurang ajar!" gumamnya pelan, mengingat bagaimana Shaka dengan seenaknya mencuri ciuman darinya.
Saat sampai di depan pintu kelas, Maura menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia mengetuk pintu perlahan.
Pak Dimas, dosen muda yang sedang mengajar di dalam, menoleh dan tersenyum ramah.
"Silakan masuk, Maura. Saya sudah dapat kabar kalau kamu baru dipanggil Pak Shaka."
Maura membungkukkan badan sopan sebelum berjalan masuk.
Semua mata mahasiswa di kelas itu sempat melirik ke arahnya, beberapa bahkan berbisik-bisik.
Namun Maura pura-pura tidak mendengar. Ia hanya menunduk sedikit dan cepat-cepat mengambil tempat duduk di deretan tengah, di sebelah Laila yang sudah lebih dulu menunggunya.
Laila menoleh dengan ekspresi penasaran.
"Kenapa lama banget, ra?" bisiknya.
Maura hanya mendesah keras, membuat Laila makin penasaran.
"Eh, kenapa mukamu merah begitu? Panas, ya?" goda Laila sambil menahan tawa.
"Aku ceritain nanti," gumam Maura cepat, lalu fokus membuka bukunya, mencoba menyimak pelajaran.
Namun pikirannya masih berputar tak tentu arah. Bukannya memperhatikan materi, Maura malah sibuk mengingat wajah Shaka yang menyebalkan itu—tatapan matanya, senyumnya, dan... tindakan lancangnya.
‘Kalau bukan karena Oma Margaret, sudah kuhabisi kau, Shaka prawira !’ gerutu Maura dalam hati.
Sesekali, Maura menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, membuat Laila semakin curiga.
Namun Laila memilih diam. Ia tahu, nanti saat jam kuliah selesai, Maura pasti akan menceritakan semuanya dengan penuh ekspresi seperti biasa.
Sementara itu, tanpa Maura sadari, dari kejauhan, Megan yang duduk beberapa bangku di belakang, memperhatikan Maura dengan sorot mata licik.
"Menarik..." bisik Megan dengan nada sinis. "Kita lihat sampai sejauh mana kau bertahan, si gadis kampungan."